blank

JAKARTA (SUARABARU.ID) – Mayoritas (84,4 persen) pengguna media sosial di Indonesia menolak gagasan penundaan pemilihan umum 2024. Hal ini disampaikan oleh Prof. Saiful Mujani pada program Bedah Politik yang tayang di kanal Youtube SMRC TV, 17 Maret 2022. Data itu diambil dari survei nasional SMRC, September 2021.

Saiful Mujani menanggapi pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, bahwa menurut big data, ada 110 juta rakyat Indonesia yang menginginkan penundaan Pemilu. Sebenarnya, kata Saiful, pernyataan Luhut tidak langsung, tapi menyebutkan bahwa rakyat bawah lebih memperhatikan persoalan ekonomi, bukan Pemilu. Kemudian disimpulkan bahwa 110 juta rakyat itu tidak menginginkan Pemilu dilaksanakan segera.

Saiful menyatakan bahwa angka 110 juta rakyat itu, jika dibandingkan dengan keseluruhan populasi orang dewasa atau pemilih Indonesia, adalah lebih dari 50 persen. Pemilih Indonesia saat ini sekitar 200 juta orang. Itu artinya, mayoritas warga Indonesia, menurut klaim ini, menginginkan Pemilu ditunda.

Saiful menyampaikan bahwa klaim data 110 tidak jelas. “Kita ingin, sebenarnya, mendengar, terutama dari Pak Luhut, mengenai bagaimana angka 110 juta itu diperoleh. Hanya sampai hari ini kita belum memeroleh.” Kata Saiful.

Cuma ketika dikejar oleh wartawan, kata Saiful, “mana data itu?” Pak Luhut menjawab, “adalah, pasti.” Tapi dia tidak menjelaskan adanya itu bagaimana dan bagaimana data itu diperoleh. Dia menyebut bahwa banyak data itu bersandar pada data media sosial, seperti Facebook, Youtube, Tiktok dan sebagainya. Pertanyaannya, lanjut Saiful, berapa banyak orang yang menggunakan media sosial?

Saiful menilai LBP kurang hati-hati dalam menganalisis data yang dia punya.

“.. (pada) big data yang disebutkan Pak Luhut, kita tidak mendapatkan informasi dari data itu mengenai informasi khusus bahwa dari perbincangan 110 juta orang itu positif menginginkan agar Jokowi lanjut,” kata Saiful.

Lebih jauh Saiful juga menyoroti pernyataan Luhut bahwa aspirasi yang dia sebutkan berasal dari masyarakat bawah, sementara pengguna media sosial bukan dari masyarakat kelas bawah itu, melainkan kelas menengah ke atas.

Karena itu, menurut Saiful, apa yang dikatakan oleh Luhut sebetulnya adalah bentuk penafsiran atas data. Sementara menurut analis big data yang lain, jumlah pengguna media sosial yang membicarakan persoalan Pemilu sangat sedikit.

Lebih jauh, Saiful mengingatkan bahwa big data karakteristiknya sebenarnya adalah populasi. Karena itu, dia bisa bias untuk kelompok tertentu. Jadi kurang representatif.

Sementara dalam sample yang representatif, lanjut Saiful, bisa diketahui seberapa banyak masyarakat yang menggunakan media sosial. Pada survei SMRC, Desember 2021, yang mengaku pernah menggunakan media sosial dalam pelbagai bentuk sekitar 59 persen dari orang dewasa (umur 17 tahun ke atas). 59 persen ini sekitar 118 juta.

Berdasarkan survei ini, menurut Saiful, angka 110 juta yang dikemukakan Luhut itu masuk akal. Tapi kita kekurangan data apakah 110 juta itu menginginkan atau tidak penundaan Pemilu. LBP tidak mendemonstrasikan itu. Sementara data SMRC bisa mendemonstrasikan apakah pengguna media sosial itu ingin penundaan Pemilu atau tidak.

Menurut Saiful, untuk mengetahui pandangan pengguna media sosial mengenai isu penundaan Pemilu pasti tidak mudah karena terkait dengan pandangan personal. Sementara dalam survei, kata Saiful, responden bisa langsung ditanya apakah mereka setuju atau tidak setuju dengan ide itu. Karena itu, menurut dia, Analisa pada data media sosial adalah tafsir dan belum tentu penafsiran itu sesuai dengan yang dimasuk pengguna media sosial tersebut.

Guru Besar Ilmu Politik UIN Jakarta ini menguraikan bahwa pada survei SMRC bulan September 2021, terdapat pertanyaan yang spesifik, apakah Pemilu itu harus ditunda atau tetap dilaksanakan sesuai dengan keputusan yang sudah dibuat dalam UU. 82,5 persen menyatakan Pemilu tetap saja, tidak perlu ditunda.

Saiful menyatakan bahwa survei dengan pertanyaan yang sama tidak hanya sekali, melainkan dilakukan berulang-ulang. Survei dengan pertanyaan yang serupa juga dilakukan oleh lembaga-lembaga lain, seperti Indikator Politik Indonesia, Lembaga Survei Indonesia dan Lingkaran Survei Indonesia. Hasilnya kurang lebih sama. Meyoritas pemilih menolak ide bahwa Pemilu 2024 itu ditunda.

Secara umum, dari temuan survei yang dilakukan beberapa kali oleh pelbagai lembaga survei, termasuk survei LSI pada Maret 2022, mayoritas publik tidak menginginkan penundaan Pemilu dan menolak perpanjangan periode presiden.

Saiful menambahkan “dari survei-survei ini terlihat bahwa semakin kencang kampanye tentang perlunya tiga periode atau penundaan Pemilu, resistensinya juga makin naik.”

Mengenai masa jabatan presiden tiga periode, SMRC juga memiliki data dari dua kali survei, yakni bulan Mei dan September 2021. Dua survei ini menunjukkan publik yang menolak ide tiga periode presiden naik dari 74 menjadi 84 persen. Sementara yang menyatakan ingin mengubah periode kekuasaan presiden sebesar 13 pada Mei dan 12 persen pada survei September 2021. Dan yang menyatakan ingin diubah sebenarnya terpecah karena tidak mesti tiga periode, malah sebagiannya ingin satu periode saja. Ada yang menyatakan cukup satu periode untuk masa jabatan delapan tahun.

“Sangat kecil sebenarnya di masyarakat yang menginginkan Pak Jokowi menjadi presiden untuk ketiga kalinya. Demikin pula dengan yang menginginkan penundaan Pemilu.” tegas Saiful.