Oleh: Trimanah MSi
PANDEMI covid-19 telah mendorong percepatan perubahan perilaku masyarakat, dalam kesehariannya. Bekerja, belajar, bersosialisasi, mendapatkan hiburan, dan lain-lain.
Covid-19 telah mempercepat terjadinya revolusi informasi, yang melahirkan teknologi digital, dan mengubah cara orang dan lembaga dalam melakukan bisnis, mengubah sifat dan layanan suatu produk, mengubah makna waktu dalam suatu pekerjaan, sampai kepada mengubah proses pembelajaran.
Siapa yang cepat beradaptasi dan melihat peluang, mereka bisa jadi pemenangnya. Siapa yang lambat, lengah dan hanya mengikuti arus perubahan tanpa tahu dengan pasti apa yang mesti dilakukan.
Maka jangan kaget bila kelak tersadar, tenyata arus yang diikuti terlalu deras atau salah arus, dan membawa kepada kemandegan bahkan mungkin kehancuran. Sudah banyak contohnya. Di antaranya Nokia, Blackberry, Yahoo!.
Kejamnya revolusi informasi tidak hanya dirasakan perusahaan-perushaan teknologi canggih seperti Nokia, Blackberry dan Yahoo!. Tetapi juga menghempaskan banyak lembaga-lembaga pendidikan, baik di luar maupun dalam negeri. Mereka secara bergantian tumbang, karena tidak mampu mengikuti arus yang sangat deras, dan akhirnya tenggelam. Hilang.
Sepanjang tahun 2015-2019 saja, ada 130 lembaga pendidikan tinggi swasta yang tutup. Di Jawa Tengah saja contohnya, di tahun 2021 yang lalu, sudah ada lima PTS yang tutup, 91 dalam pengawasan, dan ada 13 lagi yang siap-siap ditutup. Umumnya PTS-PTS itu ditutup karena alasan yang sangat klasik, kurangnya jumlah mahasiswa.
Dan kita tahu semua, minimnya jumlah mahasiswa tentunya berbanding lurus dengan kemampuan lembaga dalam mengantisipasi dan menyongsong perubahan.
Oleh sebab itu, perubahan lingkungan harus direspon dengan tepat, agar terhindar dari ketersesatan arah organisasi yang dapat berakibat pada penutupan izin operasinya.
Untuk itu, organ-organ yang ada dalam organisasi harus memiliki motivasi dan motif yang kuat untuk berkembang, berubah, dan beradaptasi dengan perubahan itu sendiri.
Motivasi dan motif acapkali digerakkan, tidak muncul dengan sendirinya. Ini adalah proses psikologikal dalam diri individu-individu dalam organisasi. Lebih tepatnya adalah, proses leadership yang mendorong setiap organ di dalam organisasi untuk memiliki kesadaran, keinginan, dorongan untuk berfikir, bereaksi, dan bertindak sesuai dengan perkembangan.
Motivasi dan motif itu sendiri hanya akan dapat tumbuh, pada mereka yang memiliki gen yang adaptif dengan perubahan. Sebagus apa pun leadership yang dimiliki, tanpa SDM yang adaptif, kreatif dan inovatif, maka yang ada adalah frustasi. Begitu pun sebaliknya.
* * * * *
Revolusi informasi telah mendorong orang-orang dengan gen adaptif, mengembangkan bisnis “jenis baru”, yang sebelumnya tidak ada. Semuanya memanfaatkan revolusi informasi.
Di bidang jasa transportasi dan pesan antar misalnya, ada Gojek dan Grab. Di bidang marketplace ada Bukalapak dan Tokopedia. Di bidang pertanian ada IGrow dan TaniHub. Di bidang pendidikan non formal ada Ruang Guru dan Educourse.
Selain itu, ada banyak lagi aplikasi yang menawarkan kelas-kelas pelatihan dan seminar. Semuanya menjanjikan keuntungan bagi masyarakat.
Mereka bergerak dan berkembang dengan memanfaatkan data-data digital. Perilaku dan kecenderungan berperilaku manusia ini sudah dapat diketahui, sehingga sudah bisa memperhitungkan kedepannya harus bagaimana, dan seperti apa.
Setiap hari orang melakukan apa? Pada jam berapa melakukannya? Terhubung dengan siapa saja? Apa saja yang disukai dan tidak disukainya? Apa saja kebutuhan dan keinginannya? Data digital telah membuat semuanya terang benderang.
Plus, hadirnya teknologi Artificial Intelligence (AI), telah memudahkan banyak pekerjaan. Saat ini, banyak organisasi yang tidak perlu meng-hire banyak tenaga manusia untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan tertentu, tapi cukup memerintahkan komputer, semua bisa selesai.
Para pebisnis dengan gen adaftif ini, dapat bekerja dengan efektif dan efisien. Dengan AI misalnya, bisnis tidak memerlukan SDM yang banyak. Dari segi waktu, bisnis dapat dikerjakan dengan cepat dan akurat.
Singkatnya, revolusi informasi telah disongsong dengan cukup baik oleh dunia bisnis, meski harus ada yang tumbang. Tetapi tentunya lebih banyak yang tumbuh. Lalu bagaimana dengan bisnis di bidang pendidikan formal?
Start-up University
Lebih dari 10 tahun yang lalu, ada perguruan tinggi swasta di Semarang yang mendeklarasikan diri sebagai ‘Cyber University’, dimana mahasiswa di kampus ini dapat melakukan proses pembelajaran secara digital, layanan akademik dan non akademik juga dapat dilakukan secara digital.
Kampus ini melakukan migrasi data secara besar-besaran, dari data analog ke data digital. Masyarakat Jawa Tengah pada saat itu kaget, apa iya ada kampus yang bisa seperti itu?
Rektornya pada saat itu, Prof Dr Laode Masihu Kamaluddin, sudah memiliki pemikiran jauh kedepan. Dia sudah memprediksi, cepat atau lambat, dunia pendidikan akan bergerak kearah digital, sama dengan pergerakan bisnis-bisnis lain.
Teknologi digital yang diadopsi kampus ini adalah teknologi Terrestrial Digital Multimedia Broadcasting (TDMB) dari Korea Selatan. Dengan teknologi ini, mahasiswa nantinya dapat mengikuti perkuliahan dimana pun mereka berada, tanpa batasan ruang dan waktu.
Sejauh masih dalam coverage teknologi ini yang dipancarkan melalui gelombang radio oleh antena televisi, mahasiswa dapat mengikuti perkuliahan. Secara teknologi, kampus ini relatif sudah siap menjadi pioner kampus digital, lengkap dengan studio pembuatan konten-konten pembelajaran, stasiun dan antena pemancarnya.
Sayangnya, Prof Dr Laode hanya memimpin selama satu periode, sehingga belum semua rencana dan konsep ‘Cyber University’ yang digagasnya, dapat direalisasikan. Tetapi paling tidak, kampus ini telah diwarisi budaya digital yang cukup baik.
Civitas akademika yang pernah dipaksa migrasi dari pekerjaan-pekerjaan analog ke digital, lebih mudah dengan adanya perubahan-perubahan teknologi informasi yang mengikutinya dibelakang hari.
Pada tanggal 17 Januari 2022 yang lalu, sebuah universitas baru yang sejak awal berdirinya mendeklarasikan diri sebagai ‘Digital Start-up University’, merayakan miladnya yang pertama.
Universitas Insan Cita Indonesia (UICI) namanya. Siapa sangka, Rektor pertamanya adalah Prof Dr Laode Masihu Kamaluddin. Universitas ini lahir dari rahim Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) yang anggotanya jutaan, tersebar di seluruh pelosok Indonesia dan luar negeri.
* * * * *
Potensi para anggota KAHMI yang banyak menduduki posisi-posisi strategis di berbagai lembaga pemerintahan, BUMN-BUMD, sebagai akademisi dan praktisi, entrepreneur, pekerja sosial dan lain-lainnya, menjadikan UICI memiliki jejaring yang luar biasa kuat.
Hal itu dibutuhkan, untuk pengembangan kelembagaan dan kurikulum kekinian yang sesuai dengan kebutuhan lulusan era sekarang. Yaitu lulusan yang tidak hanya berorientasi pada pekerjaan tertentu, tetapi lulusan-lulusan yang dapat melihat celah dan peluang bisnis, serta habit manusia di era digital.
Konsep yang digagasnya kurang lebih sama, dengan apa yang dulu digagasnya di Semarang. Yakni memberikan akses pendidikan murah kepada siapa saja, dan memberikan kemudahan bagi para pembelajar untuk mengakses layanan pendidikan tanpa harus datang ke kampus, dan duduk berjam-jam di ruang kelas mendengarkan dosen mengajar.
Teknologi tidak lagi mengharuskan mahasiswa dan juga dosen, datang secara fisik ke kampus. Mereka dapat belajar dan mengajar kapan saja dan dimana saja, sepanjang ada jaringan internet.
Teknologi yang dipakai UICI sebagai saluran pembelajarannya adalah, Digital Simulator Teaching Learning System (DSTLS). Teknologi ini tidak diimpor dari negara mana pun. Teknologi ini di-develop sendiri oleh UICI, dengan dimotori Wakil Rektor 1-nya. Dan kabarnya, teknologi itu sedang diproses hak patennya di Kemenkumham.
Seperti namanya, teknologi ini akan menggunakan mesin simulator, yang dapat mengajak mahasiswa dan dosennya berinteraksi layaknya sedang bermain game. Dalam program itu juga ditanamkan teknologi AI.
Kunci penggunaan teknologi ini, terletak pada kesiapan teaching materials. RPP-RPS, sesuai dengan capaian pembelajaran progam studi dan capaian pembelajaran mata kuliah, bahan ajar, bahkan sampai pada kesiapan soal-soal untuk tugas, latihan dan ujian.
Semua sudah harus diinput dalam DSTLS, sebelum proses pembelajaran dimulai pada awal semester. Mesin AI pada DSTLS akan bekerja untuk merespon umpan balik mahasiswa, dapat mendeteksi lokasi dimana dan kapan mahasiswa mengakses layanan pendidikan, dapat melihat tingkat keaktifan dalam proses pembelajaran, dapat memberikan score otomatis pada setiap tugas, latihan, maupun ujian.
Artinya, dosen tidak perlu lagi sibuk mengoreksi tugas, latihan dan jawaban ujian dari mahasiswanya.
* * * * *
Program DSTLS juga tidak mengharuskan dosen mengajar sekian jam, untuk setiap mata kuliah menggunakan aplikasi meeting. Dosen cukup menyiapkan video pendek berisi konten pembelajaran yang sifatnya informatif, inspiratif dan instruksional.
Selebihnya mahasiswa dapat belajar secara mandiri, melalui materi pembelajaran yang telah disediakan ataupun melalui sumber-sumber lain yang dapat diakses.
Singkatnya, DSTLS akan sangat memudahkan mahasiswa dan dosen dalam menjalankan proses belajar-mengajar. Dosen akan memiliki lebih banya waktu untuk mengerjakan tugas-tugas lain, seperti melakukan riset, pengabdian dan pengembangan kapasitas diri. Di sisi lain, belajar akan menjadi sebuah kegiatan yang tidak membebani mahasiswa.
Saya bahkan sempat melakukan beberapa kali diskusi panjang mengenai konsep ‘Start-up University’ ini, dengan Prof Laode. Paling tidak, ada empat kesimpulan dari konsep universitas era baru ini.
Yang pertama, UICI melakukan konektivitas jaringan sendiri, yang memungkinkan tingkat interaksi dosen-mahasiswa dengan model yang belum pernah ada sebelumnya.
Kedua, UICI juga secara tidak langsung melakukan pemberdayaan mahasiswa, agar mereka mampu membuat keputusan tentang pembelajarannya sendiri, dan memutuskan bagaimana mereka ingin belajar.
Ketiga, UICI juga mengatasi hambatan spasial dan temporal, yang memungkinkan mahasiswa untuk memutuskan kapan dan di mana harus belajar, tanpa batasan jarak, ruang dan waktu, termasuk menentukan kapan proses belajarnya akan diselesaikan.
Dan yang terakhir, UICI juga berasumsi, terkadang ada pembelajaran yang tidak disadari, informal, tidak terlihat, dan seolah diam tidak melakukan apa-apa. Ini dapat memungkinkan mahasiswa untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan dasar yang dapat diterima. Inilah salah satu bentuk metamorphosis pendidikan tinggi yang telah dikembangkan UICI.
Di ulang tahunnya yang pertama, tentunya banyak doa-doa kebaikan yang dipanjatkan oleh segenap civitas akademika UICI, dan juga seluruh keluarga besar KAHMI. Usianya boleh saja baru satu tahun, tetapi ide dan gagasannya telah melampaui usianya.
Semoga perubahan mendasar dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan tinggi model baru ini, dapat menginspirasi dan memotivasi kampus-kampus lain untuk ber-fastabiqul khairat- demi terwujudnya pendidikan tinggi Indonesia yang lebih baik.
Semoga lahir generasi-generasi penerus yang akademis, pencipta, dan pengabdi, yang bertanggungjawab berlandaskan keislaman dan keindonesiaan yang kuat.
Happy milad UICI. Yakin Usaha Sampai.
— Penulis adalah Dosen Ilmu Komunikasi Unissula Semarang —