(Oleh Budi Susanto)
SUARABARU.ID – Kasus mafia tanah yang membelit keluarga Nirina Zubir dengan cepat menjadi perhatian publik/viral. Ini terjadi karena Nirina merupakan seorang publik figur. Seorang artis yang berpenampilan cantik menarik.
Begitu kasusnya viral, aparat penegak hukum pun bertindak cepat dan sigap. Tiga orang notaris dan dua orang lainnya segera ditangkap, jadi tersangka, dan ditahan. Tapi kalau bukan Nirina, sangat mungkin kasus ini tidak akan viral, dan tenggelam begitu saja. Terlepas dari kebenaran apa yang akan muncul nanti, kasus ini sangat cepat diusut aparat.
Bagi yang belum mengalami atau tidak memperhatikan, boleh jadi tidak terlalu paham betapa ganas dan merajalelanya mafia di negeri ini. Bukan hanya mafia tanah, tapi juga mafia perdagangan, mafia peradilan, mafia politik, dan sebagainya. Jangankan melilit perorangan, yang membelit puluhan, bahkan kelompok ratusan orang pun seperti terserak di berbagai penjuru negeri. Mereka bukan artis, bukan orang kaya, tapi rakyat bawah yang tak mampu bersuara.
Banyak masyarakat bawah yang sudah berpuluh tahun menghadapi masalah mafia tanah ini tak kunjung selesai. Tak jarang akhirnya malah tergusur dari tanah leluhur yang mereka huni sejak negeri ini belum lahir. Mereka sudah mengadu ke berbagai pihak, lembaga, atau institusi. Bermacam cara sudah ditempuh. Baik surat-surat pengaduan, sidang pengadilan, hingga aksi demo. Tapi semua usaha seperti membentur tebing karang, karena kekuatan dan jaringan mafia sudah menyusup dan membelit hampir seluruh bagian dan bidang. Baik itu swasta, eksekutif, legislatif, yudikatif, kelautan, dirgantara/udara, maupun darat.
Nyaris tak terhitung kasus korupsi yang melibatkan para petinggi. Ada kasus besar ratusan triliun rupiah yang mangkrak puluhan tahun di KPK, seperti kasus BLBI. Juga puluhan triliunan rupiah kasus Jiwasraya dan Asabri, yang menyengsarakan ratusan ribu rakyat. Belum lagi kasus Garuda, dan kasus-kasus lain yang belum terungkap. Belum apes.
Mereka bisa berganti-ganti wajah dan berubah-ubah bentuk, menjadi apa saja. Bisa berwajah setan bengis yang menebar teror, bisa seperti dewa penolong yang mampu merangkul lalu mencekik hingga mati lemas. Bisa tampil manis berdasi, berjubah, berseragam, atau seperti preman bertato. Sudah berderet kisah nyawa melayang hingga bunuh diri, jika berhadapan dengan mafia.
Kekuatan uang
Sudah jadi rahasia umum, di bawah jaringan mafia itu akan muncul para pencoleng dan bandit yang ikut mengambil keuntungan. Fenomena ini sangat tampak sejak dari lingkungan paling bawah hingga elit. Sejak dari urusan parkir pinggir jalan, pedagang pasar, sertifikat tanah (seperti kasus Nirina), pembangunan real estate, perkebunan, perbankan, hingga pertambangan.
Nyaris tak ada bagian yang bebas dari mafia. Dengan kekuatan uang yang dimiliki, mereka seakan mampu membeli apa pun dan siapa pun. Baik orang, tokoh, jabatan, kebijakan, sertipikat tanah, putusan, bahkan institusi. Warga masyarakat yang bersentuhan pun dengan mudah bisa direkrut menjadi bagian dari mafia, karena keuntungan ekonomi sesaat dan kebodohan. Melalui jaringannya, mereka bisa membalikkan posisi korban menjadi terdakwa, atau pelaku menjadi korban, seperti dalam kasus Valencya.
Begitu banyak lembaga pengawas sudah dibentuk. Sejak dari DPR, BPK, KPK, BPKP, Kejaksaan, Kepolisian, Inspektorat, berbagai komisi, satgas, dan sebagainya. Tapi mafia tetap perkasa. Maka tak bisa disalahkan jika di publik muncul persepsi bahwa mafia juga telah membelit lembaga-lembaga pengawas itu.
Maka kisah tokoh besar seperti Jenderal Hoegeng Imam Santoso, seolah tinggal menjadi legenda masa lalu. Menjadi sejarah yang hanya tertulis dalam buku. Kalau ada tokoh seperti Pak Hoegeng yang hidup saat ini, niscaya akan dijauhi orang, disingkirkan, bahkan bisa dituduh sebagai antek komunis, atau malah dianggap pengikut aliran sesat. Akankah negeri ini dikuasai mafia?
(Drs. Budi Susanto, S.H., M.H., advokat)