Oleh: Sri Mulyadi
PERTANYAAN di judul tersebut nampaknya relevan dengan kondisi perkembangan kasus covid-19 akhir-akhir ini. Hal ini seiring menurunnya jumlah orang yang terpapar covid-19, peningkatan jumlah warga yang telah divaksin, serta menurunnya level PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat.
Reaksi atas realita ‘’melegakan’’ itu memang beragam. Sebagai gambaran misalnya ketika Kota Semarang masuk PPKM level 1. Seiring pelonggaran pembatasan kegiatan masyarakat itu, Kota Semarang nampak kembali ‘bergairah’. Sektor usaha kecil seperti ‘’pasar krempyeng’’ atau ‘’pasar tiban’’ di hari Sabtu dan Minggu, warung-warung kecil, pedagang kaki lima, dan sejenisnya, terlihat menggeliat kembali.
Apalagi ketika pada Sabtu, 20 November 2021, warga Kota Semarang yang terkonfirmasi terpapar covid-19 sudah tidak ada lagi. Pasien covid-19 yang masih dalam perawatan tinggal 3 orang, tetapi berdasar data di laman http://siagacorona.semarangkota.co.id, mereka berasal dari luar kota, sehingga bisa dikatakan Semarang nol (0) kasus covid-19.
Situasi secara umum, nampak seperti kondisi waktu belum ada PPKM. Kalau tidak terlihat adanya sebagian besar pengunjung tempat-tempat keramaian seperti pasar, mal, dan fasilitas umum lain yang mengenakan masker, sepertinya sulit dibedakan antara kondisi normal (sebelum ada wabah corona) dengan waktu pandemi covid-19 seperti saat ini atau sejak 2 Maret 2020 (waktu Presiden Jokowi mengumumkan virus covid-19 mulai masuk Indonesia.
Sebagai contoh, kondisi Simpang Lima, pada 20 November 2021. Pusat keramaian di tengah Kota Semarang tersebut, dari hasil pengamatan, nampak ramai dipenuhi pengunjung. Ada yang terlihat naik sepeda hias keliling lapangan, memenuhi warung makan yang berderet di seputar Simpang Lima, sekedar jalan-jalan atau aktifitas lainnya. Arus lalu lintas juga padat merayap, seperti halnya pada waktu sebelum pandemi.
Kondisi seperti Kota Semarang tersebut, sepertinya juga terjadi di berbagai daerah di Jawa Tengah. Khususnya di kota/kabupaten yang PPKM-nya level 1, atau di daerah tersebut sudah tidak ada lagi warga yang terpapar covid-19.
Bahkan, pesta hajatan di beberapa tempat sudah mendatangkan tamu undangan dalam jumlah banyak. Begitu juga sektor kesenian/hiburan, juga mulai nampak adanya pengendoran pembatasan.
Salah satu contoh, pertunjukan wayang kulit lewat live streaming di Youtube yang sejak pandemi durasinya dibatasi hanya 2-3 jam, kini sudah ada yang semalam suntuk. Bahkan di beberapa tempat sudah dipadati warga sekitar lokasi pertunjukan.
Sikap Masyarakat
Dari gambaran sekilas tersebut, nampaknya terdapat perbedaan di masyarakat dalam menyikapi kondisi menurunnya kasus covid-19, penurunan level PPKM, naiknya angka jumlah warga yang telah divaksin, dan nol kasus covid-19 di beberapa kota/kabupaten. Hal ini tercermin dari sikap atau perilaku mereka sehari-hari dalam mematuhi protokol Kesehatan (Prokes).
Ada yang menganggap ‘’badai belum berlalu’’ atau yakin bahwa ancaman covid-19 masih tetap ada. Hal ini tercermin dari perilaku mereka yang tetap disiplin mematuhi protokol Kesehatan (Prokes). Kelompok ini dalam berkegiatan sehari-hari tetap memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan pakai sabun di air mengalir. Ketika berada di tempat fasilitas umum seperti mal, tempat ibadah, pasar tradisional, perkantoran, dan sebagainya.
Mereka juga menjaga jarak. Bahkan ada yang ekstrem, ketika antre di kasir super market waktu didekati orang lain langsung menghindar. Warga masyarakat kelompok ini juga berusaha menjauhi kerumunan, serta menghindari bepergian jika tidak untuk keperluan yang mendesak atau penting.
Sementara itu di antara warga ada yang bersikap setengah-setengah. Artinya, Ketika berada di luar rumah selalu memakai masker, berusaha menjaga jarak, dan mencuci tangan pakai sabun atau hand sanitizer. Namun masih nampak tidak berusaha menjauhi kerumunan, khususnya sewaktu berada di rumah makan, mal, pasar tradisional, atau tempat lain. Kelompok ini juga bepergian, padahal hanya sekedar untuk makan di luar rumah atau keperluan lain yang tidak mendesak/penting.
Sebaliknya, tidak sedikit pula warga yang sudah mulai abai terhadap Prokes. Mereka tetap bepergian, tanpa memakai masker, mendatangi kerumunan (misalnya tempat orang punya hajat, lokasi wisata, tempat-tempat umum). Meskipun di fasilitas umum sudah disiapkan sarananya, mereka juga tak mau mencuci tangan pakai sabun.
Paling menggelisahkan, ada sebagian masyarakat yang tidak mau mengikuti vaksinasi. Mereka ini menganggap kalau jumlah yang terpapar covid-19 sudah menurun (bahkan di daerahnya nol kasus), dan jumlah orang yang divaksin meningkat terus (ada yang sudah sampai dosis 3), merasa tidak perlu lagi ikut vaksinasi.
Baca Juga: Corona Belum Mereda, Selanjutnya..?
Mereka ini mengabaikan saran orang lain, teman, saudara, keluarga. Bahkan tidak merasa risih/terganggu ketika sikapnya tidak mau divaksin tersebut diketahui tetangga. Sewaktu ketua RT dimana dia tinggal secara rutin mengumumkan nama siapa-siapa yang sudah divaksin dan yang belum, mereka tetap tak terpengaruh.
Entah karena faktor keyakinnya, menganggap bahwa kondisi saat ini herd imunnity atau ketahanan kelompok sudah terbentuk, atau ada hal lain, sehingga tak menganggap pentingnya ikut vaksin. Mereka ini lupa bahwa vaksin bukan hanya untuk melindungi diri sendiri, tetapi juga orang lain, termasuk keluarganya.
Vaksinasi
Realita tersebut sudah tentu tidak lepas dari perhatian Satgas covid-19 di semua daerah maupun pimpinan pemerintahan dari tingkat desa hingga pusat. Hal ini karena senyatanya ancaman covid-19, termasuk varian baru delta dan varian AY.4.2, belum lenyap dari muka bumi ini, termasuk Indonesia.
Baca Juga: New Normal, Pergulatan Tak Terpapar, Tak Terkapar, Tak Lapar..?
Program vaksinasi masih terus digenjot untuk mencapai target. Di laman https://sehatnegeriku.kemkes.go.id, 19 Oktober 2021 lalu, Menkes Budi Gunadi Sadikin mengatakan vaksinasi di Indonesia mencapai hampir 172 juta dosis hingga Senin (18/10). Jumlah tersebut hampir 52% dari yang ditargetkan.
Dari 171,9 juta dosis itu, sebanyak 108,4 juta masyarakat Indonesia sudah mendapatkan akses vaksinasi dosis pertama, dan 63,5 juta sudah mendapatkan akses vaksinasi lengkap atau 2 dosis. Sedangkan target keseluruhan 208,26 juta orang.
Data tersebut jelas menggambarkan bahwa herd immunity belum terbentuk. Herd immunity ini, menurut IFEKSIEMERGING atau laman resmi Kemenkes, adalah ketika sebagian populasi kebal terhadap penyakit menular tertentu sehingga memberikan perlindungan tidak langsung atau kekebalan kelompok bagi mereka yang tidak kebal terhadap penyakit menular tersebut.
Bersanding dengan Ancaman
Dengan paparan tersebut, saat ini sudah siapkah masyarakat hidup berdampingan dengan ancaman covid-19? Jawabnya jelas belum siap. Buktinya, syarat untuk menuju herd immunity belum tercapai, tetapi sebagian masyarakat sudah menganggap dan bersikap seolah ‘’badai telah berlalu’’. Mereka ini mulai melakukan pelonggaran, bahkan ada yang sudah abai terhadap Prokes. Padahal, Prokes itu salah satu cara manjur memutus rantai penularan covid-19.
Memang kadang kita susah kalau diajak berdebat soal ancaman bencana non-alam seperti virus corona. Ini karena virus tersebut tidak ‘’kasat mata’’. Tidak terlihat dan tidak berbau. Seperti ancaman gas beracun di Kawah Timbang, Kabupaten Banjarnegara, Jateng. Tidak nampak dan tidak berbau. Bedanya, kalau ancaman gas beracun itu jangkauan ancamannya terbatas, sedangkan covid-19 radiusnya wilayah dunia.
Baca Juga: Sehari, 1.043 Orang Positif Corona, Maknanya…
Akhirnya kembali lagi kepada masyarakat yang harus memahami bagaimana solusinya. Pemerintah (termasuk TNI/Polri), dunia usaha, tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi, hingga kini terus berusaha menyodorkan fakta dan data mengenai belum sirnanya ancaman covid-19 dan bagaimana harus menghadapinya.
Early warning atau peringatan dini berupa informasi mengenai perkembangan penyebaran covid-19 di tingkat dunia, nasional, regional, lokal, selalu disampaikan/disebarluaskan ke masyarakat. Baik secara langsung maupun lewat media massa. Sosialisasi arti penting vaksinasi dan Prokes, juga terus digencarkan. Dengan tujuan agar masyarakat memahami risiko yang dihadapi dan mau/mampu mengelola risiko bencana itu.
Sesuai bunyi Bab 3 Pasal 5 UU No 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana memang disebutkan : Pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Hanya saja, tentu tindakan apapun yang dilakukan, tak akan efektif apabila anggota masyarakat tidak mendukung penuh. Solusi menghadapi bencana, termasuk covid-19, adalah adanya gerak terpadu pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat.
Pemerintah menyelesaikan ‘’PR-nya’’ yang antara lain mengejar target vaksinasi menuju herd immunity, menangani dampak covid-19, menangani pasien yang masih terpapar. Dunia usaha mendukung lewat sumber dayanya mendukung pemerintah, juga membantu masyarakat.
Sementara masyarakat dengan kesadarannya tetap disiplin mematuhi Prokes dan yang memenuhi syarat medis ikut vaksinasi. Dengan demikian, salah satu filosofi penanggulangan bencana (seperti sering disampaikan mantan Kepala BNPB Syamsul Maarif), yakni hidup berdampingan secara harmonis dengan ancaman bencana (khususnya covid-19), bisa direalisasikan.
Bagaimana? siap? Tentu tak ada jawaban lain. Kalau siap kita selamat, bila tidak, Anda termasuk mengorbankan orang lain.
(Sri Mulyadi, Wartawan SUARABARU.ID, tinggal di Semarang)