blank
Ilustrasi

Oleh: Sri Mulyadi

blank
Mbahmul Sri Mulyadi

DALAM dunia pewayangan, munculnya wabah (di Jawa sering disamakan dengan pageblug), digambarkan pada pertengahan pertunjukan yang disebut episode ‘’gara-gara’’. Dan sirnanya malapetaka itu ditandai munculnya empat panakawan/pamomong seorang satria utama.

Kalau di cerita Mahabarata tokoh satria itu bernama Arjuna, Abimanyu, atau keturunannya. Jika di Ramayana Sri Rama Wijaya atau adiknya, Laksmana. Itu umumnya, tapi tergantung lakon/ceritera yang dibawakan ki dalang. Intinya pageblug sirna ditandai munculnya seorang satria berbudi luhur disertai 4 panakawan

Empat panakawan itu terdiri atas sang ayah, Ki Semar Badranaya, serta tiga anaknya Ki Lurah Gareng, Petruk, dan si bungsu Bagong. Jumlah panakawan ini pun, juga tergantung versi ki dalang sesuai daerahnya.

Itu di dunia pewayangan. Lantas bagaimana dengan ‘’methungul’’ atau munculnya covid-19 atau populer juga dengan sebutan virus corona? Hingga kini belum juga menunjukkan tanda merada, dan selanjutnya..?

Itulah yang menjadi persoalan dan tanda tanya bagi siapa saja. Kapan mulai dapat diatasi? Kapan berakhir? Bagaimana dampaknya? Cara apa lagi yang harus ditempuh? Dan pertanyaan-pertanyaan lain, yang semua belum ada yang berani memberi jawaban pasti.

Soal ini tentu berbeda dari dunia pewayangan, meskipun mungkin sirnanya wabah corona bisa jadi sama. Di pewayangan ditandai munculnya tokoh satria bersama 4 panakawan, yang bisa dimaknai sebagai ‘’manunggaling kawula-gusti’’.

Arjuna sebagai sosok pemimpin dan Semar beserta 3 anaknya, pada posisi kawula atau rakyat. Bersatunya pemimpin dan rakyat lah yang mampu menyelesaikan persoalan.

Munculnya tokoh satria dan Semar, dapat pula dimaknai sebagai bersatunya kekuatan sebuah usaha dan dipadukan dengan bantuan dari-Nya. Satria utama menggambarkan sebagai sosok pejuang pembela kebenaran, ‘’sepi ing pamrih rame ing gawe’’ (rela berkorban, lepas dari kepentingan pribadi dan selalu bekerja/berusaha sekuat tenaga), demi kepentingan atau kebaikan sesama.

Sedangkan Semar Badranaya, yang sejatinya juga jelmaan dewa dan senantiasa mengemban amanah ‘’Sang Hyang Wenang’’ atau ‘’Sang Akarya Jagad’’. Makna sejatinya, badai bernama virus corona itu dapat diatasi ketika semua insan bekarakter sebaimana satria, melakukan kewajiban masing-masing, disertai doa memohon ridlo Yang Maha Kuasa.

Bencana

Bagaimana tentang virus corona sendiri yang menurut Menkes, Terawan Agus Putranto, mulai terdeteksi masuk Indonesia 1 Maret 2020? Wabah tersebut termasuk dalam katagori bencana.

Dalam Bab 1 pasal 1 ayat 1 UU No 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana, difinisi bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam/atau faktor nonalam maupun faktor manusia. Sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Jika mengacu pada pengertian itu, virus corona masuk dalam kelompok nonalam yang dalam UU tersebut diartikan sebagai bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam, yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.

Menurut WHO (organisasi kesehatan dunia) masuk kriteria pandemi atau dalam UU No 24 Tahun 1997 itu diartikan sebagai sebuah epidemi yang telah menyebar ke beberapa negara atau benua, dan umumnya menjangkiti banyak orang. Sedang epidemi sendiri merupakan istilah yang digunakan untuk peningkatan jumlah kasus penyakit secara tiba-tiba pada suatu populasi di area tertentu.

Dari laman Verywell, kata endemik berarti adanya peningkatan jumlah penyakit di atas normal yang tidak diharapkan. Epidemi adalah istilah secara luas digunakan untuk menggambarkan setiap permasalah yang telah tumbuh di luar kendali.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pandemi dimaknai sebagai wabah yang berjangkit serempak dimana-mana, meliputi daerah geografis yang luas.

Khusus untuk virus corona, di dunia memang baru pertama. Kalau pandemi lain pernah ada, misalnya flu babi yang merebak tahun 2009. Sementara pandemi flu spanyol pada tahun 1918, mengakibatkan sekitar 50 juta orang di dunia meninggal.

Mengingat kemunculannya secara tiba-tiba atau bahasa jawanya ‘’mak bedhunduk’’, serta suatu bencana baru di dunia, tentu cara mengatasinya tak semudah dan secepat jika bencana itu pernah ada sebelumnya.

Tanpa Bau dan Tak Terlihat

Apalagi, virus corona ini tanpa bau, dan tak bisa dilihat. Hanya bisa terdeteksi setelah orang yang terkena mengalami gejala gangguan kesehatan tertentu, dan kemudian dipastikan dengan pemeriksaan di laboratorium khusus.

Bahkan orang yang terkena virus itu baru merasakan gejala setelah lewat beberapa waktu.  Jadi siapa pembawa virus dan siapa yang tertular, sulit dibedakan, kecuali setelah dilakukan tracking atau penyelusuran kontak terhadap orang yang terkena.

Sebagai pembanding, ada juga ancaman berupa gas beracun di Kawah Timbang, Kabupaten Banjarnegara. Gas beracun yang muncul juga tidak berbau dan tak terlihat. Namun kemunculannya bisa terdeteksi dengan alat tertentu, dan area persebarannya juga terbatas. Dengan demikian, langkah penanggulangannya bisa ditentukan.

Misalnya dengan pendeteksian yang rutin, atau menggunakan early warning animal system atau sistem peringatan dini menggunakan binatang. Yakni melihat kondisi hewan di sekitar lokasi munculnya gas beracun. Jika ada hewan di daerah tersebut mati, bisa dijadikan peringatan dini bahwa di lokasi itu menyembur gas beracun.

Bagaimana untuk peringatan dini virus corona? Sebenarnya sudah banyak, misalnya pernyataan Menkes Terawan yang menyebutkan sejak 1 Maret 2020 virus corona sudah masuk Indonesia. Penetapan zona merah, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), informasi media tentang orang-orang yang terjangkit covid-19 di daerah-daerah, dan banyak lagi peringatan yang sudah dikeluarkan pemerintah.

Persoalan yang kemudian muncul adalah bagaimana mengimplementasikan peringatan dini tersebut, sehingga tidak terjadi bencana atau yang telah terjadi secepatnya bisa diatasi. Inilah yang menjadi persoalan bersama.

Dalam filosofi penanggulangan bencana yang dulu sering disosialisasikan mantan kepala BNPB, Syamsul Maarif, ada 3 hal yang bisa dilakukan. Yakni menjauhkan masyarakat dari ancaman bencana, menjauhkan ancaman bencana dari masyarakat, dan hidup berdampingan secara serasi dengan bencana.

Bila jenis ancaman bencana berupa banjir, potensi tanah longsor, erupsi gunung berapi, puting beliung, kekeringan, munculnya gas beracun di sebuah kawah, atau lainnya, salah satu di antara filosofi tersebut memang dapat diterapkan.

Namun bila ancaman bencana itu berupa virus corona, tentu satu pun tidak dapat diimplementasikan. Virus ini tidak terlihat dan tak berbahu, dan sifatnya pandemi atau sudah menyasar ke seluruh dunia. Bisa diistilahkan, saat sekarang virus ini merupakan pembunuh gelap. Tahu-tahu muncul dan membunuh banyak orang di dunia.

Dilawan? Dicegah? Hingga kini nampaknya ya cara ini yang bisa dikatakan efektif. Dilawan atau dicegah bukan dalam arti fisik, lebih tepatnya dihindari, sambil menunggu ditemukannya senjata penangkal atau cara untuk melawan.

Orang menghindar agar tidak terkena. Caranya sudah banyak disampaikan oleh berbagai pihak, termasuk pemerintah. Misalnya, pakai masker ketika bepergian, mematuhi physical distancing, cuci tangan pakai sabun, tetap tinggal di rumah (termasuk beribadah di rumah), menghindari kerumunan, tidak mudik, dan sebagainya.

Dengan cara itu pun, belum ada yang berani menjamin bahwa serangan ‘’pembunuh gelap’’ ini akan berakhir. Tetapi paling tidak meminimalisasi persebaran dan mengurangi jumlah korban. Kalau hanya mengandalkan pemerintah, tentu tidak mungkin, meskipun dalam UU No 24 Tahun 2007 disebutkan penanggulangan bencana tanggung jawab pemerintah. Cuma diserahkan ke masyarakat? Ya sama saja.

Pemerintah dan masyarakat, bahkan dunia usaha, harus bersatu padu untuk menjadi tangguh menghadapi bencana, sebagaimana Mars Tangguh Bencana BNPB yang liriknya: Semangat berjuang, demi panggilan kemanusiaan, gerak terpadu, pemerintahnya, masyarakat, dan dunia usaha. Demi negara, wujudkan cita, menuju ketangguhan bangsa, menghadapai bencana.

Kapan Berakhir?

Pemerintah sudah mengerahkan segala sumber daya. Dunia usaha? Untuk menyisihkan dana misalnya lewat Corporate Social Responsibility (CSR), mungkin ada pengendalian. Kalau pun ada mungkin dialokasikan sebagai cadangan biaya, mengingat wabah ini belum tahu kapan berakhir.

Bahkan, tak sedikit perusahaan untuk bertahan saja sulit. Namun, bagi yang masih mampu bertahan, paling tidak juga menyesuaikan irama kerja sesuai kondisi, seperti halnya work from home (bekerja dari rumah) atau menerapkan protap pengaman menghindari corona.

Pertanyaan terakhir tinggal bagaimana tanggapan masyarakat. Ingin menjadi tokoh seperti Arjuna yang mengalahkan egonya, rela berkorban demi sesama dan diri sendiri? Tetap ‘’mbregudul’’ tanpa mau peduli? Atau abai terhadap pesan yang meluas di medsos yang berbunyi, pilihannya: Tinggal di rumah, tinggal di rumah sakit, tinggal kenangan?

blank
Data 17 Mei 2010

Jalan keluar sudah ada, namun tentu semua terserah anda. Dan yang pasti hingga tanggal 17 Mei 2020, grafik positif covid-19 terus naik atau belum dapat teratasi.

Dengan demikian, kalau masyarakat tetap tak mau masuk barisan (meskipun sekedar makan, tidur, dan tinggal di rumah) sehingga membentuk barisan yang mampu mewujudkan derap terpadu bersama pemerintah melawan corona, pertanyaan kapan ancaman berakhir, akan tetap menjadi pertanyaan. Selanjutnya…? Silakan dijawab sendiri.

(Sri Mulyadi, wartawan Suarabaru.id, tinggal di Semarang)