WINA (SUARABARU.ID) – Pengayaan bijih uranium dianggap sebagai salah satu kegiatan yang berbahaya karena hasilnya dapat digunakan untuk membuat bahan baku bom atom.
Iran meneruskan rencana memproduksi bijih uranium dan melanggar perjanjian nuklir yang disepakati bersama negara-negara Barat pada 2015, kata Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA), lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengawasi pengayaan uranium dan pengembangan nuklir, Rabu.
Iran pada 2019 mulai melanggar isi perjanjian nuklir demi membalas keputusan Amerika Serikat keluar dari pakta itu pada 2018. Pemerintah AS, yang saat itu dipimpin oleh Donald Trump, juga menjatuhkan kembali sanksi untuk Iran.
Baca Juga: Italia Laporkan 12.956 Kasus Baru Covid
Teheran dalam beberapa bulan terakhir mempercepat pengembangan tenaga atom, yang diyakini dapat menghambat upaya mengajak AS kembali bergabung dalam perjanjian nuklir, khususnya di bawah pemerintahan baru Presiden Joe Biden.
Parlemen belum lama ini mengesahkan undang-undang yang salah satunya ditujukan untuk membalas tewasnya ilmuwan nuklir ternama Iran. Mohsen Fakhrizadeh, 62, ahli nuklir Iran, dilaporkan tewas terbunuh pada November 2020 oleh senjata otomatis yang diselundupkan secara bertahap oleh agen intelijen Israel.
Tidak hanya itu, undang-undang baru itu juga memerintahkan pemerintah membuka fasilitas pengayaan uranium.
Iran pada Desember 2020 menyampaikan informasi ke IAEA pihaknya akan memproduksi bahan bakar nuklir untuk keperluan penelitian.
Baca Juga: Tim WHO Akan Beri Pengarahan Media Tentang Temuan Wuhan
“Direktur Jenderal Rafael Mariano Grossi hari ini mengumumkan informasi ke anggota IAEA mengenai perkembangan terbaru aktivitas penelitian dan pengembangan produksi bijih uranium di Iran sebagai salah satu cara menghasilkan bahan bakar untuk keperluan penelitian Tehran Research Reactor,” kata IAEA sebagaimana dikutip dari pernyataan tertulisnya.
Laporan IAEA, yang diterima hari ini, dan satu laporan lain menunjukkan Iran berencana melanjutkan program riset nuklir menggunakan uranium biasa sebelum akhirnya berpindah ke bijih uranium yang diperkaya sampai 20 persen. Level itu merupakan situasi yang telah dicapai Iran sebelum negara itu meneken pakta nuklir 2015.
“Badan pengawas pada 8 Februari membenarkan adanya 3,6 gram bijih uranium di fasilitas pengayaan Fuel Plate Fabrication Plant (FPFP) di Esfahan, Iran,” kata IAEA menambahkan.
Baca Juga: PBB: Korea Utara Kembangkan Rudal Nuklir dan Balistik
Prancis, Inggris, dan Jerman, beserta seluruh anggota pakta nuklir bulan lalu mengatakan mereka “khawatir” terhadap aktivitas pengayaan nuklir Iran. Menurut mereka, kegiatan itu kemungkinan berdampak pada aktivitas militer.
Tujuan utama Pakta Nuklir 2015 memberi waktu lebih lama untuk Iran memproduksi bahan-bahan yang berpotensi digunakan untuk membuat bom nuklir dari 2-3 bulan sampai satu tahun. Namun, Iran membantah tuduhan kegiatannya itu untuk produksi senjata.
Iran mengatakan aktivitas nuklirnya untuk keperluan damai, salah satunya pembangkit tenaga listrik sumber alternatif.
Badan intelijen Amerika Serikat dan IAEA meyakini Iran merahasiakan program nuklirnya, salah satunya berisi upaya mengembangkan sistem senjata terkoordinasi yang sempat berhenti dikerjakan pada 2003.
Ant-Claudia