MALANG (SUARABARU.ID)– Heboh pemberitaan kasus prostitusi online yang terjadi beberapa waktu lalu, ternyata dianggap cenderung tidak ramah perempuan. Hal ini kemudian memantik keprihatinan dua dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
Tak hanya pemberitaan kasus prostitusi online, berita-berita kasus perkosaan juga dianggap masih menyudutkan perempuan. Selain itu, berita tentang kaum difabel juga masih belum proporsional. Pelabelan dan gambaran tentang difable masih perlu dikoreksi.
Oleh karena itulah, pada Minggu (6/12/2020), dua dosen FISIP, Dr Frida Kusumastuti MSi dan Winda Hardyanti SSos MSi, mengadakan pelatihan produksi karya jurnalistik, yang bertajuk Jurnalisme Ramah Perempuan dan Anak Berkebutuhan Khusus bagi reporter kampus, melalui platform zoom meeting.
BACA JUGA : Gumuk Reco Sepakung, Bagi yang Ingin Menggelegakkan Adrenalin
Sebanyak 15 reporter kampus dari berbagai media, berpartisipasi dalam kegiatan itu. Acara ini digelar sebagai bentuk edukasi, dalam membangun perspektif yang tepat, khususnya dalam memberitakan perempuan dan kaum difabilitas.
Frida Kusumastuti, doktor yang meneliti difabilitas dari perspektif sosial menyatakan, cara pandang pada kaum difabel perlu mempertimbangkan beberapa aspek perubahan.
”Misalnya, penggunaan istilah disabilitas. Padahal disabilitas ini berasal dari kata disable, yang artinya tidak mampu. Berbeda jika menggunakan istilah difable, different abilities, yang artinya berbeda kemampuan. Dengan demikian, difabel itu ya punya kemampuan, bukan tidak punya kemampuan,” jelas Frida.
Sebagai jurnalis milenial, sudah menjadi kewajiban untuk memperjuangkan hak-hak kaum difabel. Salah satu upaya yang dapat dilakukan, dengan mengganti istilah disabilitas menjadi difabilitas.
Komunikasi Gender
”Harapannya, hal itu bisa membiasakan atau membangun masyarakat yang inklusif. Masyarakat yang menghargai perbedaan. Disamping itu juga, membangun rasa percaya diri kaum difabel.” ujar Dosen Ilmu Komunikasi UMM itu.
Sementara itu, Winda Hardyanti, pemateri kedua menyampaikan, permasalahan istilah dan pemilihan diksi, juga menjadi problem dalam pemberitaan terkait perempuan. Dia menyatakan, pentingnya jurnalis memahami komunikasi gender.
Bentuk kekerasan gender di media yang masih sering terjadi di antaranya, stereotype, marginalisasi, dan subordinasi. Salah satu solusi untuk menggalakkan jurnalisme berperspektif gender yakni, dengan melakukan jurnalisme advokatif. Cara untuk memulainya pun dengan menanamkan tiga hal.
Pertama, berpegang teguh pada prinsip kesetaran gender. Kedua, berpihak pada kebenaran. Ketiga, tetap mengindahkan kode etik jurnalistik.
Hindari Ekspos
Menurut Winda, pilihan diksi yang dipilih juga harus tepat, agar pemberitaan yang dibuat tidak malah menggiring stereotype yang merugikan perempuan. Contohnya, hindari istilah korban, dan diganti dengan penyintas.
”Dalam menulis berita, pentingnya cover both side. Ketika menulis tentang sisi korban, maka harus diimbangi dengan sisi pelaku dan hindari mengekspos sisi pribadi korban perkosaan secara berlebihan. Fokus pada kasus dan penanganannya,” saran dosen yang juga mantan jurnalis itu.
Ika, salah satu peserta menanyakan, bagaimana cara untuk menyeimbangkan antara pasar media dengan value berita. Sebab, sudah jamak diketahui, pasar lebih senang berita yang click bait (judul menggelitik).
Winda menjelaskan, kondisi itu memang cukup sulit, karena berhadapan dengan kepentingan politik ekonomi media. Namun sebagai jurnalis, prinsip utama yang harus dipegang adalah, cover both side dalam memberitakan kasus-kasus yang berkaitan dengan gender.
”Selain itu, dalam menulis berita perlu mendudukkan narasumber sesuai dengan porsinya. Semisal ketika perempuan sebagai penyintas perkosaan, ya ditempatkan sebagai korban, tanpa harus menyalahkan bajunya yang ketat atau karena pulang malam. Sebab dalam perspektif komunikasi gender, perkosaan terjadi karena niat pelaku, bukan semata karena stimulus pakaian perempuan,” ungkap dia.
Riyan-Sol