Takbiran masyarakat Aboge Sukodono. Dengan menggunakan langgam Jawa. (Foto Beje Darjo).

JEPARA (SUARABARU.ID)- Keberadaan masyarakat Aboge di Desa Sukodono, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara menjadi salah satu kearifan lokal yang sampai dengan hari ini masih nguri-nguri sistem penanggalan Alif Rebo Wage (Aboge).

Bukan hanya itu, masyarakat Sukodono juga menjunjung tinggi nilai-nilai pluralisme. Hal ini terlihat keberagaman masyarakat Sukodono yang terdiri dari berbagai macam pemeluk agama seperti Islam, Katolik, Protestan, Budha hingga Konghucu.

Sagiman, Petinggi Desa Sukodono.

Seperti diketahui, masyarakat Aboge yang menyebar di berbagai daerah di Indonesia seperti Banyumas, Jatilawang, Ajibarang, Rawalo, Pekuncen, Karanglewes, dan Wangon pada umumnya memiliki penghitungan tersendiri dalam memulai semua aktifitas. Seperti hari raya Idul Fitri, Maulidan, Muharram, hingga penanggalan kegiatan-kegiatan lokal seperti sedekah bumi dll.

“Penghitungan dalam kalender Aboge ada rumus yang harus dipelajari”, ujar Sagiman, Petinggi Desa Sukodono memulai obrolan dengan suarabaru.id, di kediaman pribadinya, Minggu (6/4/2025).

“Dalam satu windu (delapan tahun) menurut penanggalan Aboge terdiri dari tahun Alip, He, Jim Awal, Je, Dal, Be, Wawu, dan Jim Akhir”, sambungnya.

Menurut dia, dalam menentukan 1 Syawal, selama ini masyarakat Aboge Sukodono mempunyai penghitungan sendiri. “Kami mempunyai penghitungan sendiri dalam menentukan 1 Syawal, kadang bersamaan dengan Pemerintah kadang juga selisih 1 hari. Untuk tahun 1446 H ini penghitungan kalender Aboge 1 Syawal jatuh pada hari Selasa (1/3/2025)”, terang Sagiman.

Ketika disinggung soal praktek dalam ibadah, apakah masyarakat Aboge Sukodono mempunyai perbedaan dengan syari’at Islam, Sagiman menepis anggapan tersebut. Menurutnya, masyarakat Aboge di Sukodono hanya menjalankan sebuah tradisi dan hal itu bagian dari kearifan lokal.

Bukan hanya itu, masyarakat Aboge Sukodono juga mempunyai kebiasaan unik saat mengumandangkan takbiran di malam hari raya Idul Fitri. Mereka mempunyai lafadz dan nada yang berbeda dalam mengumandangkan takbir.

Bacaan takbiran versi masyarakat Aboge Sukodono tetap menggunakan bahasa Arab, namun pengucapannya seperti lidah orang Jawa kuno, dipadukan dengan nada dengan langgam Jawa.

Bacaan takbir sebagai ciri khas masyarakat Aboge Sukodono dengan nada langgam Jawa yang dikumandangkan di balaidesa, seperti ini bunyinya, Allahuakkebar, Allahuakkebar, Allahuakkebar, Laaillahaillollahu allahuakkebar, Allahuakkebar huu lillolilkam.

Meski demikian, Sagiman tetap berpendapat bahwa itu bagian dari nguri-nguri kearifan lokal. Meskipun tidak sedikit yang menganggap apa yang dilakukan oleh masyarakat Aboge Sukodono melenceng dari syari’at Islam.

“Masyarakat Aboge Sukodono dalam merayakan Idul Fitri tetap mengikuti keputusan pemerintah, serta menjalankan syari’at Islam seperti sholat, puasa, zakat sesuai dengan tuntunan Islam. Kami hanya menjalankan tinggalan orang-orang terdahulu, tidak ada kaitannya dengan aqidah”, terangnya.

“Namun jika ada yang beranggapan bahwa kami menjalankan praktek Isalm Aboge yang melenceng dari syari’at ya silahkan. Kami tidak perlu untuk menjelaskan hal tersebut. Intinya kami hanya menjalankan tradisi lokal”, pungkas Petinggi yang berhasil membawa desa Sukodono ini sebagai salah satu desa Anti Korupsi.

ua