Ilustrasi. Reka: wied SB.ID

Melihat sukses besar di masa tuanya  Pramoedya, pasti orang beraliran “keras” akan mengatakan: Nah….. itulah hasil didikan keras zaman doeloe. Coba lihat anak-anak zaman now, ahhhhh lembek semua mereka itu. Tidak berani dan tidak mau bekerja keras, mau yang serba enak, jika dengar kata-kata keras sedikit saja lalu mutung, keluar dari pekerjaan, dst.

Inilah fakta konkrit dunia pendidikan kita, masih terbagi antara penganut garis keras vs penganut garis lembut (eh maaf lembek).

Pengung

Kata pengung ini memang  termasuk kasar, selevel kasarnya dengan kata-kata bodho, golbok, eh goblok, pekok. Seyogianya dihindari kata-kata itu terluncur dari mulut kita, meski tidaklah mudah. Menghadapi hal-hal yang tidak ideal baik, seringkali secara spontan kita berucap: “Kok bodoh, pengung banget nih, dasar pejabat karbitan.  

Ini sekedar contoh ungkapan kejengkelan warga masyarakat mendengar ada pejabat (karbitan?) omong wae durung teteh. Belum lagi melihat pejabat A omong begini-begitu, dan dua jam lagi ada pejabat B omong yang berkebalikan dengan begini-begitu. Ada juga satu pejabat saja  pagi omong ABCDE, sore harinya sudah berubah mengatakan RSTUVW. Esuk dhele, sore tempe. (Pengung; oppssss maaf)

Pengung, memiliki dua arti; yakni pertama, suwung, kothong, kosong melompong. Bagaikan rumah, ia tidak berpenghuni, kosong tanpa isi. Seseorang disebut pengung ketika orang itu tidak menampakkan dirinya pinter, entah lewat ungkapan-ungkapannya, atau pun lewat Langkah kebijakannya.

Jika orang seperti itu warga masyarakat biasa, orang akan EGP. Namun, bila ada pejabat kok tidak menampakkan dirinya pinter, ya pastilah warga masyarakat akan berucap: Piye ta kuwi, kok kothong tanpa isi?” Adakah pejabat seperti itu? Sumangga.

Baca juga Bonyok, Bosok, Bubruk

Arti kedua pengung, ialah sumpung, ilang cucuke. Bagi yang mengenal kendi atau pun juga teko (yempay membuat the panas) dan barang itu kehilangan ujungnya; ia disebut sumpung, cucuke ilang. Bisa juga burung bethet, bila ia tidak berparuh sempurna, apalagi patah, burung itu akan disebut bethet pengung, bethet tidak berparuh.

Konon, ada salah satu patung di Candi Prambanan, juga disebut  pengung karena ujung hidungnya hilang. Sumpung. Sertamerta ada banyak versi cerita tentang arca berhidung sumpung itu. Ada yang mengatakan disengaja agar menimbulkan banyak tanda tanya. Ada juga yang berkisah mistis legendaris terkait percintaan tokoh itu. Sumangga saja.

Hal yang paling jelas terkait keras vs lembek tadi, adalahsampai detik ini pun kata-kata keras/kasar masih mungkin saja terlontar, dan justru lontaran utamanya ditujukan kepada pejabat manakala ia memang tampil tidak pinter.

Mengapa pejabat? Merekalah yang biasanya menjadi sumber berita bagi media apa pun; dan ingat pada sisi yang lain ketersebaran berita oleh berbagai media itu saat ini begitu cepat dan variatifnya. Hanya dalam hitungan detik, tersebarlah kemana-mana; apalagi jika pejabat itu menampakkan ke-pengung-annya.

JC Tukiman Tarunasayoga, Pengajar  Pengembangan Masyarakat di Pascasarjana UNS Surakarta dan SCU Semarang