Oleh: Amir Machmud NS
// tak selamanya dia betah di singgasana/ ada titik yang mengusik/ : apa lagikah yang dicari?/ ada bisik yang menggelitik/ : apa pulakah yang didaki/ apa pula yang harus diketengahkan?//
(Sajak “Kejenuhan Sang Genius”, 2024)
AKAN ada titik ketika pikiran menghentikan kreasi. Atau setidak-tidaknya, meredupkan gairah bereksplorasi.
Akan ada titik ketika “antitesis” tak lagi mempan memadamkan “tesis”. Pun tak lagi mencair menjadi “sintesis” yang dianut sebagai sebuah “genre”.
Mungkin itu hanya menjadi “era”, untuk menandai suatu perjalanan waktu dengan kejayaan tertentu; mengetengahkan “cara” yang dia temukan dan diolah sebagai “jalan” untuk mengatasi “jalan yang lain”. Tentu “jalan” itu membutuhkan syarat untuk ditampilkan sebagai ekspresi survivalitas.
Lalu apakah seseorang yang telah sedemikian identik dengan kejeniusan dan “tesis”, pada titik tertentu tidak lagi mampu menjaga nyala eksplorasi dalam merawat jalan yang dia yakini?
Jika orang itu adalah Pep Guardiola, apa yang sebenarnya sedang terjadi dengan kejeniusan, kreativitas, dan “idiologi” yang dieksplorasinya?
Kekalahan 1-2 dari The Red Devils dalam “Derby Manchester” di Stadion Etihad, akhir pekan lalu menjadi bukti “kegalauan” Pep tentang kemelut performa Kevin De Bruine dkk.
Manchester United yang kini diarsiteki Ruben Amorim, melengkapi rangkaian hasil buruk dari 11 laga yang dilalui The Citizens di semua ajang. Hanya sekali menang. Sisanya dua kali seri dan delapan kali kalah.
Kegelisahan?
Apa yang dia ungkapkan dalam sebuah wawancara empatik Daily Mail (detik.com, 11/12-2024) menyiratkan kegelisahan tentang masa depannya.
Dia seperti merasa sudah lelah dengan perjalanan karier kepelatihan yang bertabur kegemilangan di Barcelona, Bayern Muenchen, dan Manchester City.
Pep menggumamkan keinginan untuk berhenti di Manchester, atau mungkin masuk ke tantangan baru: menangani tim nasional sebuah negara. Ditegaskan, The Citizens adalah klub terakhir dalam kariernya.
Dia mengaku lelah untuk melatih klub lain ke depannya, setelah memasuki tahun kedelapan bersama City, periode terlama dalam jejak kepelatihannya. Pep membendaharakan banyak gelar, termasuk enam trofi Liga Primer dan satu Liga Champions.
Apakah City mau begitu saja kehilangan Pep? Sesegera itu, Manchester Biru memperpanjang kontrak sampai 2027. Mestinya, ikatan pelatih asal Spanyol itu habis pada musim panas 2025.
Di tengah kemelut performa City akhir-akhir ini, dia masih dipercaya untuk mempertahankan prestasi, sekaligus menyiapkan tim ke depan. Dia akan genap satu dekade di Etihad jika menyelesaikan masa kontraknya.
Ketika menyatakan City bakal jadi klub terakhir, artinya dia tidak mau lagi menangani klub. Besar peluangnya untuk menjadi pelatih tim nasional, di negara mana pun yang meminati.
Dia mengaku tidak punya energi lagi. “Untuk memulai sesuatu yang baru di klub lain, melalui proses latihan dan sebagainya. Mungkin melatih tim nasional bisa, tetapi itu berbeda…”
“Saya tidak mau lagi berkeliling ke negara lain, berhenti di sana dan melihat segala prestasi yang sudah dicapai, berpikir apakah bisa lebih baik lagi. Anda tidak akan punya waktu memikirkan itu ketika disibukkan dengan banyak hal setiap harinya.”
Habitat Tantangan
Bagi genius seperti Pep, habitatnya ada dalam suasana “tantangan”. Jadi semudah itukah dia meninggalkan sepak bola yang telah menjadi daya hidup dan kehidupannya?
Jenuh, itu bisa dipahami. Tetapi apakah perasaan itu lantaran performa anjlok Manchester City pada musim 2024-2025 ini? Atau mungkin dia sudah terlampau lelah mencurahkan pikiran dan kreasi untuk menerjemahkan filosofi sepak bola indahnya?
Setelah lima musim bersama Barca di La Liga, tiga musim di Bundesliga, dan delapan tahun di Liga Primer, Pep menegaskan eksistensi sebagai “ideolog” sepak bola menyerang dengan aksen bermain mendominasi penguasaan bola. Dia mempertajam total football mahagurunya, Johan Cruyff.
Di Barca, dia sukses besar mengimplementasikan karakter dan folosofinya, sama dengan ketika membangun The Citizens sebagai kekuatan dahsyat di Liga Primer dan Eropa.
Hanya, di Bayern Muenchen dia tidak sepenuhnya bisa menuntaskan “ideologi”, karena bermain dengan mengandalkan possession football rupanya sulit bersenyawa dengan speed and power game ala Jerman.
Kini Pep Guardiola disibukkan oleh upaya membalikkan passion skuadnya sebagai kekuatan utama Liga Primer.
Semakin sulit mendapatkan “touch” antitesis itu, semakin dalam dia harus berkubang dengan kegalauan di posisi sulit…
— Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah —