Oleh: Dr. Muh Khamdan
Setiap 10 Desember, dunia memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai momentum untuk meneguhkan komitmen terhadap penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak dasar setiap individu.
Namun, di tengah perayaan tersebut, kita tak boleh melupakan kenyataan pahit yang masih dihadapi oleh banyak orang, yaitu pelanggaran hak hidup yang terjadi akibat penembakan senjata api di jalanan.
Penembakan jalanan bukanlah fenomena baru, namun semakin mengkhawatirkan. Setiap tahun, ribuan nyawa melayang karena kekerasan yang dilakukan dengan menggunakan senjata api. Sebuah bentuk kekerasan yang merenggut hak paling dasar, yaitu hak untuk hidup. Tidak hanya di daerah konflik, fenomena ini juga marak di kota-kota besar termasuk di Jepara, yang seharusnya menjadi tempat perlindungan dan kedamaian bagi warganya.
Sebutlah kematian anak SMK di Semarang karena ditembak anggota polisi bernama Aipda Robig Zaenuddin. Realitas penembakan ilegal yang mengarah pada perilaku arogan dialami oleh guru madrasah bernama Eko Hadi Santoso, yang mengalami dua kali tembakan serta dilakukan pembakaran motornya oleh putra kyai yang berbatasan desa di Nalumsari, Jepara.
Berdasarkan prinsip dasar HAM, setiap individu memiliki hak untuk hidup yang harus dilindungi oleh negara. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa penembakan jalanan sering kali kurang mendapat perhatian serius dari berbagai pihak, baik dalam hal penegakan hukum maupun pemulihan hak-hak korban.
Korban penembakan bukan hanya menderita secara fisik, tetapi juga psikologis. Selain itu, keluarga mereka sering kali merasa kehilangan yang mendalam, dengan dampak jangka panjang yang dapat memengaruhi kesejahteraan mental dan sosial mereka.
Fenomena ini mencerminkan kegagalan sistem dalam menyediakan rasa aman bagi warganya. Banyak yang berpendapat bahwa penegakan hukum yang lemah dan akses yang mudah terhadap senjata api menjadi faktor utama meningkatnya insiden penembakan.
Di negara-negara dengan pengawasan senjata yang lebih ketat, tingkat kekerasan semacam ini cenderung lebih rendah. Oleh karena itu, penting untuk memahami bahwa perlindungan terhadap hak hidup korban penembakan tidak hanya membutuhkan respons medis dan psikologis, tetapi juga pendekatan yang sistemik untuk mencegah kekerasan itu terjadi.
Pentingnya Akses ke Keadilan
Perlindungan hak korban penembakan senjata api di jalanan juga harus mencakup hak mereka untuk mendapatkan keadilan. Banyak korban yang merasa terabaikan, terutama ketika pelaku penembakan tidak tertangkap atau tidak dihukum dengan setimpal. Keadaan ini menambah luka bagi korban dan keluarganya, yang harus menghadapi ketidakpastian.
Negara, dalam hal ini, memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa proses hukum berjalan dengan transparan dan adil. Ironisnya, dengan dalih restorative justice atau mengutamakan kekeluargaan menjadikan pelaku mudah memengaruhi sisi psikologis korban untuk berdamai. Akibatnya, perilaku arogansi dan anarkhisme jalanan sering tidak menimbulkan efk era.
Penguatan sistem peradilan yang mampu menangani kasus penembakan secara serius dan tidak pandang bulu adalah langkah penting. Namun, keadilan bukan hanya soal proses hukum yang berjalan, tetapi juga soal pemulihan hak-hak korban.
Korban yang selamat dari penembakan sering kali menghadapi biaya pengobatan yang besar, kesulitan dalam menjalani kehidupan sehari-hari, serta tekanan psikologis yang berat. Oleh karena itu, penting bagi negara untuk menyediakan dukungan yang komprehensif bagi korban, baik dalam bentuk kompensasi, pemulihan medis, maupun konseling psikologis.
Untuk menanggulangi masalah ini secara efektif, kita memerlukan pendekatan yang terintegrasi. Pertama, perlu adanya regulasi yang lebih ketat mengenai kepemilikan senjata api. Negara harus memperketat kontrol terhadap peredaran senjata, memastikan bahwa senjata api hanya dimiliki oleh pihak yang berwenang dan dapat dipertanggungjawabkan.
Hal ini akan mengurangi potensi penyalahgunaan senjata api oleh individu atau kelompok yang tidak bertanggung jawab. Termasuk di dalamnya adalah senjata tembak untuk olahraga yang disalahgunakan sebagai alat intimidasi masyarakat.
Kedua, peningkatan kapasitas aparat penegak hukum sangat penting. Polisi dan lembaga penegak hukum lainnya harus dilatih untuk menangani kasus kekerasan jalanan dengan lebih efektif, serta memiliki akses terhadap teknologi dan sumber daya yang memadai untuk melacak dan menangkap pelaku penembakan. Tidak kalah penting, mekanisme pengadilan harus berfungsi dengan efisien dan adil, memastikan bahwa setiap kasus penembakan diadili dengan tegas.
Ketiga, kita harus menempatkan korban sebagai pusat dari upaya pemulihan. Negara dan masyarakat perlu bekerja sama untuk menyediakan layanan medis, psikologis, serta bantuan hukum bagi korban. Pendekatan ini tidak hanya memberikan keadilan bagi korban, tetapi juga memperkuat nilai-nilai HAM dalam masyarakat.
Peringatan Hari HAM seharusnya menjadi refleksi bagi kita semua tentang bagaimana hak hidup setiap individu harus dihormati dan dilindungi, terutama mereka yang menjadi korban penembakan jalanan. Negara dan masyarakat memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk tidak hanya mengatasi kekerasan yang terjadi, tetapi juga memastikan bahwa hak-hak korban dihormati dan dipulihkan.
Jika kita serius dalam melindungi HAM, kita harus bersama-sama berkomitmen untuk menciptakan lingkungan yang bebas dari kekerasan senjata api, serta memberikan perlindungan yang menyeluruh bagi para korban.
Penulis adalah Doktor Studi Agama dan Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Widyaiswara Kementerian Hukum