J.C. Tukiman Taruna
SELAMAT datang (lagi) materi Membaca, Menulis, dan Berhitung (Calistung) di kancah pendidikan dasar dan menengah kita, setelah beberapa periode tertentu seolah terlupakan.
Baru-baru ini, Bapak Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah menyatakan bahwa materi pelajaran Matematika akan diberikan sejak anak-anak di PAUD, khususnya di Taman Kanak-kanak (TK).
Memelajari matematika sudah pasti anak-anak akan belajar intensif tentang menulis dan membaca, karena sejatinya dalam ungkapan baca, tulis, dan hitung itulah makna ontologis pengajaran bermula: “Calistung ergo sum:” saya ada karena saya bisa membaca, menulis, dan berhitung.
Bukankah segala pengetahuan itu bermula dari dan karena (kemampuan) manusia dalam hal membaca, menulis, dan berhitung? Dalam mengembangkan diri lewat membaca, menulis, dan berhitung inilah, setiap orang bergulat penuh spiritualitas, dan secara epistemologis lalu berkilah: Kemampuan membaca, menulis, dan berhitung membuahkan pengetahuan dan ilmu, serta sangat bermanfaat (aksiologis) bagi kehidupan bersama.
Pergulatan dan proses belajar seperti itulah disebut spiritualisasi pendidikan (Sukidi, 2002), karena dalam belajar lewat Calistung, sejak dini anak-anak sudah diajarkan untuk menyadari bahayanya gejala sekularisasi dan sekaligus dikotomi sistem pendidikan kita,
Mengapa Matematika?
Buku tua Ilmu dalam Perspektif (Jujun S. Suriasumantri, 1978) memuat tulisan Morris Kline berjudul Matematika, dan pada alinea pertama dikatakannya: “Kiranya tak diragukan lagi bahwa matematika merupakan salah satu puncak kegemilangan intelektual. Di samping pengetahuan tentang matematika itu sendiri, matematika memberikan bahasa, proses dan teori yang memberikan ilmu suatu bentuk dan kekuasaan (cetak miring oleh penulis).
Lihat saja: perhitungan matematis, menjadi dasar bagi disain ilmu teknik; Metode matematis memberikan inspirasi kepada pemikiran di bidang sosial dan ekonomi. Di samping itu pemikiran matematis memberikan warna kepada kegiatan seni lukis, arsitektur, dan musik.”
Mengapa harus matematika diajarkan sejak bangku TK? Di samping yang telah dikatakan bahwa dengan belajar matematika, anak-anak pasti belajar membaca dan menulis; Kline menjelaskan bahwa ciri utama dalam matematika ialah mengajarkan metode bernalar (reasoning) dan dengan matematika juga siapa pun belajar tentang pembentukan konsepsi karena berpikir analogis, serta belajar melihat fakta empiris secara faktual.
Di bagian penutupnya, Kline mengatakan: “Ilmu telah memberikan pengertian tentang alam di mana kita hidup. Matematika memberikan kita bahan celup di mana ilmu dicetak; dan sebagian besar dari dunia kita ini berujud seperti apa yang dikatakan matematika.”
Spiritualisasi Pendidikan
Spiritualisasi pendidikan sebagaimana telah ditulis pada tahun 2002 oleh Sukidi masih tetap aktual dikemukakan saat ini karena dua gejala dan bahayanya masih sama juga, yaitu sekularisasi dan dikotomi sistem pendidikan. Maksudnya, “sistem pendidikan di Indonesia menjurus keras ke arah sekularisasi” (Sukidi dlm HAR Tilaar, 2002, hal. 446).
Mari kita lihat betapa hampir seluruh orientasi belajar siswa diarahkan untuk mengejar kesuksesan secara fisik dan materi; maka sukses secara karir, jabatan, dan kekuasaan menjadi ukuran suksesnya pendidikan seseorang. Dalam konteks sekarang, berapa orang “masuk kabinet” menjadi ukuran sukses sebuah SMA, misalnya; berikutnya dihitung-hitung lagi berapa banyaknya yang berasal dari “universitas saya.”
Tolok ukur sukses keluarannya berkembang pesat bercorak materialistik- konsumeristis dan sangat menggoda ke arah hedonistik. Mengapa berkembang demikian? Telaah Sukidi menyebutkan bahwa bila dirunut secara epistemologis landasan filosofisnya telah bergeser dari dulu bercorak teosentrisme (Ketuhanan yang Mahaesa) ke arah antroposentrisme (berpusat pada sukses diri) dan hal itu dikembangbiakkan lewat proses pembelajaran dari hari ke hari, dari satu semester ke semester lain, dari tahun pertama ke tahun-tahun berikutnya.
Dalam buku yang sama, spiritualisasi pendidikan dilihat oleh Frans Magnis-Suseno (hal 442-445) dengan menekankan hubungan-terkait tiga langkah antara knowledge-behavior-dan psikomotorik, dan tiga langkah ini sangat cocok dimulai justru di bangku PAUD/TK lewat belajar Calistungnya.
Pada saat anak-anak TK sedang belajar matematika, kepada mereka sedang diajarkan knowledge, yaitu misalnya pengetahuan tentang urutan angka. Pada saat itu juga guru dapat mengajarkan behavior mengantre kepada anak-anak dengan cara berdiri berurutan, dan nanti satu persatu dipanggil sesuai nomer urut yang dipegangnya.
Guru berkata: “Nomer urut satu, silahkan maju,” dan anak yang memegang angka satu maju dan menghormat guru. Begitu seterusnya. Pada saat itu pula, anak-anak telah melakukan yang disebut psikomotorik. Jadi, spiritualisasi pendidikan harus dikembangkan sejak anak-anak berusia dini lewat hubungan-terkait tiga langkah itu, yaitu secara simultan berkembangnya knowledge-behavior-dan psikomotorik.
Dengan kata lain, Magnis mau mengatakan bahwa spiritualisasi pendidikan berproses lewat pembentukan dan pembiasaan anak-anak untuk bersikap hormat kepada guru dan teman, belajar mengantre, mau bermain dengan siapa pun teman itu, suka mendengarkan, tunjuk jari bila mau berbicara, suka menolong, tegur sapa sopan, dan sebagainya. Sejak dini anak-anak diajarkan untuk tidak melihat agama sebagai problem oriented, seolah-olah segala persoalan dapat dijawab oleh agama.
“Ditarik ke bawah”
Satu hal lain pantas diapresiasi, ialah tumbuhnya kesadaran kolektif bahwa mengajarkan matematika (baca: calistung) sejak di PAUD adalah suatu keniscayaan karena tumbuh-kembang pesatnya anak-anak usia dini kita dewasa ini. Stimulasi pengenalan angka, huruf, bahkan kata dan kalimat pendek bagi anak-anak usia dini saat ini sangatlah banyak bervariasi.
Alat permainan, buku-buku, dan benda apa pun tidak terbendung jumlahnya, dan di samping itu, semangat keluarga-keluarga muda untuk mengajarkan anak-anaknya mengenal angka dan huruf sangatlah tinggi.
Kondisi maju seperti ini perlu dijawab secara memadai oleh Pemerintah, dan jawaban akan mengajarkan matematika sejak di bangku TK berarti telah dipikirkan kebijakan “ditarik ke bawah” periodisasi pendidikan kita. TK bukan lagi sebuah lembaga pra-sekolah, melainkan menjadi awal sekolah dasar terutama dalam hal pengenalan tentang calistung.
Pada bagian penutup tulisannya, Magnis menekankan: “Harus diakui bahwa pendidikan nilai apa pun (watak, disiplin, berfikir penalaran, dan lain-lainnya) Sebagian besar ditempa di bangku sekolah dasar; namun tidak melalui materi pelajaran melainkan lewat cara pelajaran itu diberikan oleh guru. Seorang pendidik yang hebat itu selain mengembangkan anak didik, juga mampu merangsang perkembangan nalar dan bakat-bakat positif anak.”
Welcome home Calistung dalam segala upaya revitalisasinya.
JC Tukiman Tarusasayoga, Pengajar pada Program Doktor Ilmu Lingkungan SCU Semarang; dan Program Penyuluhan Pembangunan UNS Surakarta