Oleh: Dr. Muh. Khamdan
JEPARA (SUARABARU.ID)- Ketegasan konstitusi dalam upaya melindungi para penyandang keterbatasaan fungsi anggota tubuh atau dikenal dengan disabilitas, secara jelas tercantum dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Sewindu perjalanan regulasi sebagai sumber hukum bagi para disabilitas terpenuhi sekaligus terlindungi hak-haknya, masih terus terjadi adanya praktik marginalisasi. Maka menjadi penting untuk melakukan perenungan dalam hari disabilitas internasional pada 3 Desember ini.
Banyak istilah yang berkembang di masyarakat untuk menyebut kelompok dengan keterbatasan tersebut, sehingga mungkin menimbulkan kebingungan. Sebutan-sebutan itu sebagaimana penyandang cacat, difabel, dan disabilitas.
Sekilas penyebutan ketiganya memiliki makna yang sama, akan tetapi sangat berbeda secara psikologis bagi para penyandangnya dalam interaksi sosial yang justru mengarah pada ketidaksetaraan. Peringatan setiap akhir tahun ini setidaknya menjadi pengingat atas sebuah perjuangan panjang melawan diskriminasi di tengah kehidupan sosial masyarakat.
Difabel semula adalah sebuah akronim dari penyebutan different ability people. Istilah ini untuk mengungkapkan kondisi seseorang yang mengalami kelainan fisik dari kebanyakan orang. Pada posisi lain, disabilitas dijadikan sebagai ungkapan netral untuk menggambarkan adanya orang yang memiliki kebutuhan khusus sehingga layak difasilitasi.
Sebagaimana data Kemenko bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), sekitar 22,97 juta orang di Indonesia hidup dengan berbagai kondisi disabilitas. Secara spesifik menggunakan data Kementerian Kesehatan pada 2023, sekitar 50,6 persen penyandang disabilitas menggunakan alat bantu jalan, 11,7 persen menggunakan alat bantu lihat, dan 4,1 persen menggunakan alat bantu dengar.
Banyak penyandang disabilitas masih menghadapi kesulitan mengakses pendidikan, pekerjaan, dan layanan kesehatan yang setara. Infrastruktur publik seperti jalan, gedung, atau transportasi umum sering kali tidak ramah disabilitas. Dalam masyarakat, stigma negatif sering memperparah kondisi ini, menjauhkan mereka dari kehidupan sosial yang inklusif.
Diskriminasi terhadap penyandang disabilitas bukan hanya soal infrastruktur yang tidak memadai, tetapi juga pola pikir yang perlu diubah. Untuk menciptakan masyarakat yang benar-benar inklusif, diperlukan langkah-langkah konkret pendampingan atau advokasi penyandang disabilitas.
Pertama, edukasi publik untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang hak-hak penyandang disabilitas melalui kampanye berkelanjutan. Hal demikian perlu terus menerus dilakukan sejak dini dan dari dunia pendidikan paling dasar agar tidak terjadi bullying atau diskriminasi dalam akses pendidikan.
Publikasi dan kampanye pemenuhan hak-hak disabilitas mesti dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan massif melalui media massa, pendidikan formal, pendidikan informal, serta program komunitas yang bisa menjadi saluran efektif.
Kedua, penerapan kebijakan yang tegas. Hal demikian mesti dilakukan oleh pemerintah sebagai pelaksana tanggung jawab negara dalam penghormatan, perlindungan, penegakan, pemenuhan, dan pemajuan HAM atau P5HAM. Keberadaan UU Nomor 8 Tahun 2016 mesti didorong untuk berjalan optimal, pengawasan ketat, dan sanksi bagi pihak yang melanggar. Terlebih dalam kondisi keterbatasan bagi penyandang disabilitas, sangat rentan mengalami kekerasan seksual.
Ketiga, peningkatan infrastruktur inklusif dengan membangun fasilitas umum yang ramah disabilitas adalah prioritas. Setiap kota di Indonesia harus mulai menerapkan standar aksesibilitas universal. Oleh karena itu, dibutuhkan adanya kolaborasi lintas stakeholder dan kolaborasi multisektor dalam mewujudkan jaminan keadilan tanpa diskriminasi bagi para penyandang disabilitas.
Hari disabilitas internasional bukan sekadar seremonial tahunan, melainkan panggilan moral bagi semua untuk berkontribusi menciptakan dunia yang lebih inklusif. Penyandang disabilitas di Indonesia, seperti halnya manusia lainnya, memiliki hak untuk hidup dengan martabat, tanpa diskriminasi dan stigma.
Melalui langkah kolektif, setidaknya dapat dipastikan bahwa masa depan Indonesia adalah masa depan yang menghormati keragaman, menyemai kesetaraan, dan merangkul semua lapisan masyarakat termasuk mereka yang sering kali dianggap “berbeda”. Sebab, pada akhirnya, perjuangan ini adalah tentang kemanusiaan yang universal.
[Dr. Muh. Khamdan, Widyaiswara Badiklat Hukum dan HAM Jawa Tengah]