ISTILAH “kos” yang kemudian menjadi tempat kos, kos-kosan, anak kos, tentu sangat dekat dengan mereka yang “merantau” (untuk sekolah atau kerja) dan tinggal di rumah orang.
Kata kos sendiri berasal dari istilah Bahasa Belanda in de kos. Makna hurufiahnya adalah “dalam biaya”. Makna lebih luasnya menumpang tinggal dan ikut makan dengan membayar atau dengan biaya. Sekarang sudah berkembang sangat jauh.
Kos tidak lagi menumpang di rumah orang, tinggal bersama pemilik rumah, dan disediakan makan. Kos sekarang ada yang seperti hotel, rumah besar, dengan puluhan kamar, dengan fasilitas yang sangat wah.
Kali ini, saya akan bercerita tentang rumah kos di Turen 3 Salatiga. “Rumahku Istanaku”, ungkapan yang kerap kali ditemui di setiap pintu rumah tetangga. Bagaimana jika kita sama-sama tanyakan pada mahasiswa yang merantau dan tinggal jauh dari rumahnya?
Mungkin ada beberapa mahasiswa yang baru satu tahun tinggal, mengurus pindahan kosnya bahkan bisa sampai berkali-kali. Mencari lingkungan yang rasanya seperti rumah ini sudah menjadi momok tersendiri bagi mahasiswa yang makin kesini makin banyak kriterianya, demi mencari satu kata bermakna, Cocok.
Saat saya tengah berkunjung ke salah satu kosan teman di kos Turen 3, Salatiga. Langkah pertama saya langsung menjadi kaku dan pandangan yang seketika tak bisa dialihkan karena melihat pemandangan yang tak biasa saya temukan. Biasanya ketika kerja kelompok, hanya jemuran dan deretan rak sepatu yang tak ke mana-mana menunggu sang pemilik mengingatnya saat awan hujan sudah menunggu menurunkan rintiknya bersama geledek yang menakutkan itu.
Ternyata, bukan sederet jemuran atau bahkan rak sepatu yang ditemui. Melainkan, sederet pajangan foto yang menghiasi kos ini, terpajang dengan rapi. Bahkan memiliki kisahnya masing-masing.
Saya jadi teringat dengan album keluarga saya dulu, sembari membuka tiap lembaran album dengan jari yang menunjuk satu per satu foto, mama menjelaskan “Ini dulu waktu kakak kecil, mama yang mandiin“. Ah, asik sekali mengingat moment masa lalu.
Ide memasang foto-foto disebuah dinding khusus bukanlah ide kemarin sore. Mereka sudah memajangnya dari 32 tahun yang lalu. Foto tertua yang saya temui berasal dari tahun 1992, seperti penemuan prasasti saja.
Kos ini terbuka bagi segala suku bangsa dan agama, menerima dan menghargai tanpa terkecuali. Menurut Yambres Leunupun, salah seorang penghuni kos dalam obrolan santai mengatakan bahwa tujuan foto-foto itu dipajang untuk mengingat bahwa orang-orang yang ada di dalam foto ini pernah menghuni kos tersebut.
“Ya foto-foto itu dipajang untuk jadi pengingat kalau mereka memang pernah tinggal di kos ini, beberapa di antaranya bahkan sudah jadi dosen di UKSW”, tuturnya.
Keluarga Ketemu Gede
Niat awal merantau untuk mencari ilmu di Salatiga, dan di sini menemukan keluarga yang berasal dari negeri seberang. Mahasiswa yang menghuni kos ini tak perlu bersusah payah mencari satu kata bermakna tadi, cocok. Mereka sudah menemukannya di sini. Kenangan tentang mereka didokumentasikan dan dibingkai dengan manis.
Foto 1992 sekilas mengingatkan saya pada mama semasa mudanya dulu, menenteng tas berisi buku untuk menuntut ilmu. Gaya rambut yang sekilas mirip Maudy Koesnaedi dalam serial Si Doel Anak Sekolahan. Atau sebaliknya, Maudy Koesnadi yang terinspirasi dengan mereka. Siapa yang tahu?