blank
Qorry 'Aina. Foto: dok

KOTA MUNGKID (SUARABARU.ID) – Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan pada setiap transaksi jual beli barang atau jasa yang terjadi pada wajib pajak orang pribadi atau badan usaha yang mendapat status pengusaha kena pajak. Terkait rencana PPN akan naik menjadi 12 persen mendapat perhatian banyak pihak.

Tak terkecuali, seorang mahasiswi Taqiyya Qorry ‘Aina (19) warga RT 03, RW 09, Pabelan Mungkid, Kabupaten Magelang, tertarik untuk mengkritisi. “PPN naik menjadi 12% pada tahun 2025, apa efek dominonya pada kesejahteraan dan perekonomian?,” tanya mahasiswa S-1 Farmasi Universitas Sebelas Maret itu, hari ini (Jumat, 29/11/24).

Disebutkan, UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) menjadi acuan pernyataan Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, soal kenaikan PPN menjadi 12% pada tahun 2025. Kenaikan PPN dilakukan secara bertahap, yang sebelumnya 10% naik menjadi 11% mulai berlaku pada 1 April 2022 dan sebesar 12% yang akan mulai berlaku pada 1 Januari 2025.

Sebagai alasan kenaikan tarif PPN itu guna meningkatkan pendapatan tambahan bagi negara yang dapat
digunakan untuk mendukung program-program pemerintah, pembangunan infrastruktur,
pendidikan dan kesehatan.

Covid-19

Krisis keuangan global ketika pandemi Covid-19 memperburuk defisit anggaran negara.
Akibat lonjakan pengeluaran mendesak untuk penanganan kesehatan dan pemulihan ekonomi.

“Dalam konteks ini, pemerintah berharap dengan kenaikan PPN akan membantu menutup
kekurangan tersebut dengan menyediakan sumber pendapatan yang stabil,” katanya.

Rencana kebijakan kenaikan PPN menjadi 12% itu, menurutnya, tidak lepas dari kontroversi. Baik
dari sisi pro maupun kontra oleh masyarakat.

Pihak yang mendukung kenaikan PPN berargumen, kenaikan PPN diperlukan untuk memperkuat pendapatan negara. Di mana diharapkan APBN dapat berfungsi dan merespons berbagai situasi ekonomi dan kebutuhan negara. Selain itu, kenaikan PPN yang menjadi sumber utama pendapatan negara juga diharapkan dapat memperkuat basis pajak dan mengurangi ketergantungan pada utang negara.

Efek

Di sisi lain, lanjutnya, terdapat banyak sekali efek berkelanjutan apabila PPN 12% tetap diterapkan. Di mana kesejahteraan masyarakat dapat menurun. Kenaikan PPN menjadi 12% dapat memicu turunnya daya beli masyarakat.

Naiknya harga kebutuhan sehari-hari menyebabkan masyarakat kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya. Suatu keluarga dengan pendapatan di bawah UMR akan
mengalami kesulitan dengan penambahan pengeluaran biaya hidup. Kenaikan PPN juga dapat
memperburuk kesenjangan sosial yang ada. Yakni kelompok menengah ke bawah akan semakin terbebani oleh biaya hidup yang tinggi.

Dalam jangka panjang, hal itu bisa menyebabkan penurunan kualitas hidup bagi banyak keluarga. Juga mengarah pada peningkatan angka
kemiskinan. “Jika tidak diimbangi dengan kebijakan kompensasi yang tepat, seperti bantuan langsung  tunai atau peningkatan akses terhadap layanan publik, kesenjangan yang ada bisa
semakin melebar dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah,” ujarnya.

Dengan kenyataan itu, apakah  kenaikan PPN adalah solusi yang tepat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. “Atau justru memperburuk kesenjangan?,” kata dia.

Naiknya PPN menjadi 12% juga dapat memperburuk kondisi inflasi dan menambah beban hidup bagi banyak orang. PPN yang lebih tinggi akan memicu para produsen meningkatkan harga jual barang atau jasa untuk menutupi biaya tambahan pajak, yang akan sangat terasa pada sektor barang pokok juga transportasi. Kenaikan harga jual berdampak langsung pada kelompok menengah ke bawah yang menghabiskan sebagian besar pendapatannya untuk membeli kebutuhan pokok, sehingga dapat menurunkan daya beli masyarakat.

Lebih lanjut disebutkan, dengan turunnya daya beli masyarakat yang diikuti menurunnya permintaan barang dan jasa, banyak perusahaan yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), sehingga angka pengangguran meningkat. Dengan meningkatnya angka pengangguran, tidak hanya ekonomi domestik yang terhambat, tetapi juga risiko sosial yang lebih besar, seperti meningkatnya angka kriminalitas, yang dapat mengancam keamanan dan stabilitas sosial.

Di tengah semua tantangan itu, dia pertanyakan apakah dengan rencana kenaikan PPN itu
akan adil dan merata, atau justru membebani kelompok tertentu. “Apakah tidak ada solusi lain
untuk meningkatkan pendapatan negara tanpa membebani masyarakat?,” tanya dia.

Alternatif

Sebagai alternatif, tuturnya, ada
cara lain yang dapat dipertimbangkan untuk meningkatkan pendapatan negara tanpa membebani rakyat. Misalnya dengan mengoptimalkan pengelolaan kekayaan alam Indonesia yang melimpah. Potensi sektor-sektor seperti pertambangan, perikanan dan kehutanan, kalau dikelola dengan lebih transparan dan berkelanjutan, bisa menjadi sumber pendapatan yang lebih besar. Tanpa harus mengorbankan daya beli masyarakat.

Disimpulkan, meski kenaikan tarif PPN dapat membantu mengatasi kekurangan anggaran negara, kebijakan itu harus dilakukan dengan hati-hati. Mengingat potensi dampaknya yang besar terhadap kesejahteraan masyarakat.

Menurut dia, pemerintah harus mempertimbangkan langkah-langkah yang lebih adil dan merata untuk memastikan bahwa kebijakan fiskal itu tidak hanya
menguntungkan sejumlah pihak. Tetapi juga membawa manfaat yang nyata bagi seluruh lapisan
masyarakat. “Keseimbangan antara peningkatan pendapatan negara dan perlindungan terhadap kelompok rentan harus menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan perpajakan yang diambil,” tegasnya.

Eko Priyono