KUDUS (SUARABARU.ID) – Rabu, 27 November 2024 hari ini menjadi salah satu hari yang akan dicatat dalam sejarah masyarakat Kabupaten Kudus. Masyarakat akan memilih siapa Bupati dan Wakil Bupati yang akan Kudus lima tahun ke depan.
Terlalu hiperbolis jika mengatakan momentum Pilkada ini akan menjadi sarana masyarakat Kudus menentukan nasibnya selama lima tahun ke depan.
Karena setelah keluar dari bilik TPS, rakyat akan kembali dihadapkan pada persoalan masing-masing. Sembari menunggu informasi hasil pemungutan suara melalui media massa maupun media sosial, para pedagang pasar akan kembali meratapi sepinya pasar.
Penjual makanan masih berkutat pada sulitnya mendapatkan harga elpiji subsidi. Sementara karyawan dan kelas menengah ke bawah sebentar lagi akan mendapatkan masalah baru berupa kenaikan PPN 12 persen.
Pun dengan jargon satu suara masyarakat akan menentukan masa depan Kabupaten Kudus, mungkin juga bisa didebat lebih panjang. Karena masyarakat hanya akan disodori dua nama paslon yang tertera dalam surat suara tanpa bisa memilih yang lain. Jika tidak setuju dengan dua paslon, mereka hanya bisa memilih mengosongkan surat suara atau merusak sebagai bentuk ekspresi golput.
Yang paling pas mungkin adalah dengan menyatakan satu suara akan sangat menentukan kemenangan dan nasib salah satu paslon. Karena dengan sistem demokrasi one man one vote, satu tusukan di kertas suara yang dilakukan seorang tukang becak akan sama nilainya dengan tusukan surat suara yang dilakukan seorang bupati bahkan seorang presiden.
Ya demokrasi langsung one man man vote akan lebih menentukan nasib para paslon dibandingkan nasib rakyat secara umum. Bagaimana tidak, para paslon yang selama berbulan-bulan merundukkan kepala untuk berkeliling ke semua jengkal wilayah Kudus guna meminta restu dan dukungan, dan simpati dan masyarakat, nasibnya akan bergantung pada keputusan beberapa detik dari seorang pemilih di bilik TPS.
Seorang paslon yang selama kampanye terlihat gagah dan percaya diri menggelorakan semangat para pendukungnya, dalam hitungan jam bisa terkulai lemas meratapi nasibnya sebagai seorang pecundang dalam Pilkada.
Maka tak heran, segala daya upaya dan kekuatan pun dilancarkan para paslon dan tim suksesnya untuk bisa mengarahkan jari tangan para pemilih di TPS. Selain melalui kampanye panjang dan jualan visi misi, yang paling mudah tentunya adalah dengan politik uang.
Politik uang memang bukan barang baru lagi dan hal yang menarik untuk dibahas kembali. Namun, politik uang akan selalu menjadi noktah dalam setiap gelaran pesta demokrasi di negara kita.
Tak terkecuali di Kudus, sepekan sebelum hari pemungutan suara pembahasan masyarakat di warung kopi, di pojok gang, gardu pos kampling hingga di sudut-sudut perkantoran tempat bekerja, politik uang masih menjadi topik yang hangat untuk dibicarakan.
Mulai jumlah uang yang disebar dari nominal Rp 120 ribu dari calon A, Rp 150 ribu calon B, kemudian ada tambahan lagi Rp 50 ribu dari A atau persebaran satu calon tidak rata, sementara calon lain lebih merata menjadi bahan pembicaraan yang terus diulang-ulang.
Tak jarang pula sumpah serapah muncul dari seseorang yang mengaku masih belum menerima politik uang dari salah satu calon. Sementara, seorang lainnya dengan bangga dan senyum mengejek mengaku mendapatkan politik uang dobel dari semua paslon.
Tak bisa dipungkiri momentum pembagian politik uang adalah momentum yang paling dinantikan masyarakat dalam setiap gelaran pesta demokrasi termasuk Pilkada. Ibarat cerita sinetron, momentum ini menjadi salah klimaks dari sekian episode yang ada.
Di setiap malam, masyarakat akan membuka pintu rumahnya lebar-lebar selayaknya malam lailatlul qadar sembari berharap ada ‘malaikat pembawa rejeki’ yang datang bertamu.
Dekan Fakultas Hukum UMK Dr Hidayatullah menilai politik uang salah satunya masih tejadi akibat banyaknya masyarakat yang menganggap Pilkada atau pesta demokrasi lainnya bukan sesuatu hal berpengaruh dalam kehidupan mereka.
Seorang tukang becak merasa siapapun paslon yang terpilih tidak akan memberikan perubahan apapun pada kemudahan mereka dalam menghadapi kerasnya perjuangan bertahan hidup. Sehingga, satu-satunya yang menarik dalam Pilkada bagi mereka adalah seberapa besar amplop politik uang yang diterima sebagai ganti uang lelah mereka dalam menyisihkan waktu untuk datang ke TPS.
Alasan yang fundamental tersebut tentu tidak bisa dipandang remeh bagi para pemangku kebijakan. Seketat apapun regulasi yang dibuat untuk mencegah politik uang tak akan berguna jika paradigma para paslon untuk mencari cara praktis membeli suara dan masyarakat yang merasa hasil Pilkada tak akan berpengaruh pada kehidupan mereka, masih ada.
Padahal, semestinya adalah para paslon harus memiliki niatan tulus dalam menjadi pemimpin guna mensejahterakan masyarakat. Sementara, masyarakat harus benar-benar memilih pemimpin yang Amanah dan memberikan kesejahteraan bagi mereka.
Jika dua paradigma tersebut tidak segera berubah, jangan berharap demokrasi di Indonesia akan sehat. Yang mungkin terjadi adalah justru merebaknya korupsi dan penyalahgunaan wewenang.
Maka tak salah jika Dr Hidayatullah menyebut Politik Uang tak akan mampu mencetak seorang pemimpin ideal. Karena dengan biaya politik yang sangat besar, seorang paslon terpilih tentu lebih dahulu akan memprioritaskan program yang akan mengembalikan pundi harta mereka daripada program yang an sich benar-benar untuk kemakmuran rakyat.
Apalagi, konon katanya biaya politik yang dikeluarkan paslon sudah jauh dari akal sehat. Perkiraan kasar ada paslon yang sudah menghabiskan lebih dari 100 miliar untuk kontestasi ini. Jumlah tersebut tentu jauh dari batas kewajaran yang mungkin bisa dikeluarkan seorang kontestan Pilkada.
Berharap pada peran penyelenggara yakni KPU dan Bawaslu untuk memberantas politik uang tentu bukan sesuatu yang patut dilakukan. Tentu akan sangat kasihan jika kedua lembaga tersebut harus bermusuhan sendiri dengan masyarakat yang memang sangat berharap dengan politik uang.
Dan juga tidak mungkin Bawaslu akan memproses semua pelaku politik uang yang terjadi hampir merata di semua tempat.
Yang bisa diharapkan tentu hanya doa agar Tuhan memaafkan semua dosa dan kehilafan yang dilakukan secara berjamaah oleh hampir seluruh lapisan masyarakat Kudus. Dan yang paling ekstrim tentu berharap Tuhan memberikan belas kasihan dengan tidak menurunkan azab bagi kita semua sebagai pendosa demokrasi.
Ali Bustomi