Oleh: Dr. Muh Khamdan
JEPARA (SUARABARU.ID)Non-muslim adalah kelompok minoritas dalam politik lokal Jepara. Sekitar 96 persen dari populasi warga di Jepara atau sekitar 1.2 juta adalah muslim. Oleh karena itu, dalam proses memperebutkan dukungan elektoral seringkali mengabaikan posisi umat beragama di luar Islam.
Angka tertinggi representasi umat beragama di Jepara, jelas didominasi oleh organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Ironisnya, warga NU bukanlah tipe yang mudah dikomando untuk satu pilihan dalam politik.
Selalu ada keterbelahan dukungan yang seolah telah menjadi “DNA” untuk membangun situasi keberimbangan. Pada situasi demikian, mengandalkan raihan suara mayoritas sembari mengabaikan basis silent minority adalah awal menuju intoleransi politik.
Meski keterwakilan kelompok-kelompok minoritas dalam politik legislatif lokal masih relatif buruk, tingkat keterwakilan minoritas di eksekutif pun lebih buruk lagi. Kelompok Katolik dan Protestan yang memiliki riwayat perkembangan di area Jepara bagian utara misalnya, setidaknya punya andil dalam bidang kesehatan.
Keberadaan Rumah Sakit Kusta Donorojo yang dianggap sebagai salah satu rumah sakit kusta (leprosy center) terbesar di Indonesia, setidaknya menjadi bukti bahwa kaum Kristiani telah turut berkiprah untuk Jepara di luar jalur politik kekuasaan.
Kelompok silent minority lain yang seringkali luput atau terabaikan representasi politiknya adalah kaum Budha. Komunitas yang berkembang di kawasan lereng pegunungan Muria itu bahkan memiliki Vihara terbesar yang dinamai Vihara Giri Santi Loka.
Umat vihara ini dapat disebut sebagai umat budha terbaik dalam perkembangan pendidikan karena banyak meluluskan generasi mudanya dalam taraf S2, dan berinteraksi secara intens ke Thailand dan Kamboja baik sebagai Bhante Buddhis maupun pertukaran pelajar. Relasi lintas negara tentu menjadi bukti bahwa minoritas budha Jepara memiliki potensi untuk meningkatkan derajat keberagamaan di Jepara.
Pada posisi lain, komunitas muslim di luar NU pun sering mengalami pengabaian dalam kontestasi politik. Sebutlah Ahlul Bait Indonesia atau Syiah serta Muhammadiyah. Minimnya porsi representasi dalam politik lokal di Jepara telah mengalami perjalanan yang kompleks, baik dari aspek budaya, sosial, ekonomi, dan politik.
Namun penjelasan itu bisa disederhanakan dengan fakta bahwa politik lokal di Jepara masih dangat didominasi identitas muslim NU. Fakta ini jelas berpengaruh dalam mekanisme dukungan berdasarkan faksi-faksi yang ada oleh segelintir elite NU.
Tak dapat dipungkiri bahwa Pilkada telah membangkitkan munculnya sejumlah faksi di tubuh PCNU Jepara. Kontestasi politik menuju kursi bupati dan wakil bupati tentu berdampak pada jalan mulus menuju ketua PCNU Jepara ke depan. Peluang ini tampak dari pengalaman beberapa perhelatan Pilkada yang berpengaruh pada situasi pemilihan pucuk pimpinan sejumlah badan otonom di tubuh NU Jepara.
Lepas dari analisis faktor yang menyebabkan kandidat terpilih dengan suara terbesar, toleransi terhadap kelompok minoritas tentu akan menunjukkan kualitas demokrasi langsung. Hal ini sekaligus menyampaikan pesan bahwa kandidat yang memperlakukan kelompok-kelompok minoritas sebagai basis pendukung, setidaknya sebagai sosok yang faham betul tentang makna toletansi politik.
Bagi kelompok minoritas, syarat pencalonan oleh partai politik maupun jalur independen sangat sulit diraih karena tekanan mayoritas. Dominansi mayoritas sendiri seringkali menyebabkan para kandidat tidak berani mendekati atau bahkan memunculkan representasi kelompok minoritas.
Langkah merangkul minoritas jelas sangat rentan menjadi “senjata politik” untuk menjatuhkan, sebagaimana kandidat muslim NU yang bergaul dengan kelompok Syiah maka berpotensi diragukan ke-NU-annya. Hal itu menunjukkan bahwa tantangan utama politik pemilihan langsung adalah kandidat mesti merangkul mayoritas meski harus mengabaikan atau bahkan mengorbankan minoritas.
Sambil memperjuangkan kemenangan elektoral, pemimpin yang kuat sesungguhnya adalah pemimpin pengayom bagi semua kelompok. Bupati Jepara misalnya, bukan hanya milik orang NU, tetapi juga milik Muhammadiyah, Syiah, Katolik, Protestan, Budha, Hindu, Konghucu, termasuk para penghayat kepercayaan.
Pertanyaannya, adakah kandidat yang berani merangkul semuanya tanpa khawatir hilangnya sebagian dukungan mayoritas? Perjuangan ini harus dilakukan untuk mentradisikan membangun politik toleransi dengan merangkul minoritas, mumpung pelaksanaan pemilihan langsung masih menyisakan beberapa hari lagi. Bagaimana jika merangkul minoritas pengedar miras? Tentu menjadi pertanda agar lebih waspada.
(Penulis adalah Doktor Studi Agama dan Perdamaian UIN Jakarta)