SEMARANG (SUARABARU.ID)– Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi Jawa Tengah, Amir Machmud NS SH MH, memberikan kuliah praktisi kepada para mahasiswa Magister Hukum Universitas Semarang (USM), di Gedung Pascasarjana USM, Jalan Soekarno-Hatta, Semarang, Jumat (1/11/2024).
Dalam materinya, Amir Machmud menyampaikan realitas kekeruhan di ruang digital, yang sekarang ini banyak menyajikan cara-cara penyampaian pesan yang mengabaikan etika. Penggunaan kata-kata bullying dan ujaran kebencian ke dalam cara-cara berjurnalistik dan bermedia, cenderung meninggalkan Kode Etik Jurnalistik.
”Menurut UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU nomor 11 Tahun 2016, mengubah pasal 27 ayat (1) dan ayat (3) serta pasal 28 ayat (2) dan ayat (3), yang isinya tetap saja pasal karet, dan mudah mengancam,” katanya.
BACA JUGA: SDM yang Berkompeten Dibutuhkan untuk Wujudkan Fungsi Transportasi
Dia menambahkan, kebebasan pers dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, dijamin sebagai hak asasi warga negara. Dalam UU itu juga mengatur beberapa hal terkait kebebasan pers. Antara lain kemerdekaan pers merupakan wujud kedaulatan rakyat, yang didasarkan pada prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.
Pers Nasional tidak boleh disensor, dibredel, atau dilarang menyiarkan informasi. Mereka juga berhak mencari, mendapatkan, dan menyebarkan informasi dan gagasan, dan memiliki fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
”Selain itu, Pers Nasional wajib menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat, serta wajib melayani hak jawab dan hak koreksi,” ujarnya.
BACA JUGA: Ketangguhan Infrastruktur Transportasi Indonesia Perlu Dibangun
Menurutnya, UU Nomor 40 tahun 1999 itu diperlukan, apabila UU ITE hanya menjadi pengancam untuk kepentingan menjerat lawan politik, dan mematikan kekritisan.
Di sisi lain, UU itu diperlukan untuk melindungi hak-hak privat dari serangan kebencian dan bully, yang tak bernalar argumentatif. Sehingga perlu bijak, sebagai nalar pertimbangan.
Sementara itu, Kaprodi Magister Hukum USM, Dr Drs H Adv Kukuh Sudarmanto BA SSos SH MM MH menyatakan, kuliah dari dosen praktisi ini sangat dibutuhkan mahasiswa, untuk memperkuat kecerdasan dan menambah kekritisan, dalam menerjemahkan opini yang berkembang di masyarakat, yang kadang sesat dan tidak bertanggung jawab.
”Kuliah praktisi ini diikuti 79 mahasiswa dari Angkatan XX, dengan metode pembelajaran hybrid system. Melalui teknologi yang canggih, teman-teman yang berada di Brunei Darussalam, Singapura, Papua, NTT, Sulawesi, Kalimantan, Medan, Jambi, Jakarta, Bekasi, Depok, tetap bisa mengikuti kuliah praktisi ini dengan baik,” tuturnya.
Riyan