blank
Aksi Ibrahim Rabbaj (kiri/putih), saat membela Timnas Inggris U16 lawan Italia, beberapa waktu lalu. Foto: dok/allfootball

blankOleh: Amir Machmud NS

// dunia takkan henti berharap/ ada penerus sang legenda/ putra mahkota yang mengganti/ di singgasana maharaja/ dari masa ke masa…//
(Sajak “The Next Messi”, 2024)

KETIKA sorotan dan puja-puji untuk Cole Palmer terus menghangat, Chelsea menghadirkan lagi percaturan tentang wonderkid baru. Susul-menyusul memberi gambaran tentang aset pemain masa depan.

Ibrahim Rabbaj. Nama bocah berdarah Inggris-Maroko itu kini beredar di orbit utama sepak bola Inggris. Dan, bukan tidak mungkin tak lama lagi menjadi penghias media-media yang mengangkatnya sebagai fokus aktual.

Predikat mediatika sebagai “The Next Messi” menggaungkan potensi Rabbaj sebagai calon penerus La Pulga. Sejauh ini, dari tahun ke tahun, begitu banyak orang dan klub terinspirasi untuk menemukan pengganti pemegang delapan trofi Ballon d’Or itu, namun beberapa di antaranya malah berkembang tak sesuai dengan harapan, atau tak sedikit yang perlahan-lahan tenggelam…

Rabbaj beredar ketika liga-liga sepak bola terfokus pada aksi-aksi wonderkid lainnya yang lebih dahulu beredar. Ada Lamine Yamal, ada pula Jude Bellingham, Arda Guler, Kobbie Mainoo, dan anak ajaib Chelsea lainnya, Cole Palmer.

Cole Palmer lebih banyak muncul dan kini menjelma sebagai bintang utama klub London Barat itu. Pelatih Enzo Maresca memercayainya sebagai elemen solusi, sedangkan Rabbaj masih dalam proses perjuangan untuk dipromosikan ke tim utama.

Dalam usia 15 tahun, pemain berdarah Inggris dan Maroko itu menjadi andalan tim Akademi Chelsea, setelah sebelumnya dibeli dari Crystal Palace pada 2021. Catatan luar biasa, mencetak 52 gol dan 60 assists dari 40 pertandingan jelas bukan capaian sembarangan.

Predikat sebagai “Messi baru” tentu beralasan. Penampilannya sangat mirip dengan Lionel Messi, yang biasa beroperasi sebagai gelandang serang dan sayap kanan. Dalam berbagai rekaman video, terlihat dengan dribel prima Rabbaj suka beraksi dengan tusukan-tusukan ke tengah, dan tembakan kaki kiri sebagai andalan. Rambut panjang yang dibiarkan terurai juga mengingatkan masa-masa remaja Messi saat pertama kali diorbitkan di tim utama Barcelona.

Rabbaj mulai dipanggil ke Timnas Inggris U16. Dan, dari darah sang ayah, dia juga masih bisa membela timnas Maroko apabila nanti memutuskan berkewarganegaraan selain Inggris.

“New-new” Lainnya
Aksi media menyematkan predikat “new” untuk para wonderkid menjadi hal jamak yang mengikuti pemunculan para pemain dengan performa bakat istimewa.

Dulu, misalnya, kita mengenal Ronaldo Luis Nazario sebagai “New Pele”, yang pada awal 1990-an digadang-gadang sebagai pengganti Luis Arantes Do Nascimento, pemain Brasil terbesar sepanjang sejarah.

Bagaimanapun, itu adalah ekspresi harapan, ungkapan kerinduan, dan balutan doa dari mimpi-mimpi rakyat Brazil agar pemain sekelas Pele lahir kembali.

Arthur Coimbra, yang lebih kita kenal dengan sebutan Zico, adalah salah satu talenta yang paling diharapkan. Si “Pele Putih” ini dikenal konsisten berjalan dengan bakat dan kesadaran profesional dalam merawat kemampuan. Zico melejit dari Piala Dunia 1978, dan mampu mempertahankan kemampuan hingga Spanyol 1982 dan Meksiko 1986.

Selain Zico, Brazil juga melahirkan Socrates, Rai, Bebeto, hingga Romario Faria, namun “El Fenomeno” Ronaldo Luis Nazario menjadi yang paling moncer. Setelah itu hadir Rivaldo, Ricardo Kaka, Robinho, Ronaldinho, lalu Neymar Junior.

Kini, orang selalu menyebut “Messi baru” ketika menyambut kehadiran wonderkid dari berbagai belahan dunia. Di Argentina sendiri, pemain yang diharapkan bisa meraih singgasana itu antara lain adalah Claudio Echeverri, kapten tim U17 Albiceleste yang berjejuluk “El Diablito”, Si Iblis Kecil. Publik sepak bola di Tanah Air cukup mengenalnya, karena dialah yang mengonduktori permainan Argentina di arena Piala Dunia U17 di Indonesia.

Sementara itu, ketika Inggris berharap terhadap kematangan Cole Palmer dan keberkembangan Ibrahim Rabbaj, sejatinya mereka sedang mengidentifikasi kehadiran bintang untuk meraih kembali kejayaan Piala Dunia 1966, turnamen terakhir Tim Tiga Singa mengangkat trofi.

Pada 1990, di Piala Dunia Italia, Paul Gascoigne hadir sebagai “wonderkid”. Gazza memang menampilkan talenta langka, namun karena “kesibukan” bergulat dengan persoalan personal, dia gagal mengangkat performa timnas, termasuk ketika tampil istimewa di Euro 1996. Bakatnya pun tak tereksplorasi dan terekspresi secara maksimal.

Lima tahun lalu Inggris berharap pada Jack Grealish, gelandang Manchester City yang disebut-sebut sebagai “New Gascoigne”, predikat yang juga sempat disematkan kepada Joe Cole, yang menjadi andalan West Ham, Chelsea, kemudian Liverpool.

Para anak ajaib yang digadang-gadang itu tak berkembang sebagai pemain besar: dari Raheem Sterling, Marcus Rashford, Jadon Sancho, hingga Jude Bellingham. Kini, yang terbilang baru: Kobbie Mainoo yang masih bersaing untuk berkembang dengan Bellingham dan sederet anak ajaib Vitor Roque, Arda Guler, Mathys Tel, Warren-Zaire Emery, Bukayo Saka, Endrick, dan Lamine Yamal.

Gagal Meroket
Tak sedikit, pemain yang menyandang harapan besar akhirnya malah tenggelam, atau setidak-tidaknya beredar dalam level semenjana.

Anda pasti ingat Lee Seung-woo, yang pada 2012-an memberi harapan besar dari Akademi La Masia. Karena bakatnya yang istimewa, dia mendapat julukan “Messi dari Korea”. Akan tetapi, Seung-woo gagal masuk ke tim utama Barca. Dia pernah memperkuat Hallas Verona di Serie A, St Trident di Liga Belgia, dan akhirnya bermain di Liga Korea bersama Suwon FC, dan kini Hyunbok Hyundai.

Takefusa Kubo masih lebih berkembang. “Messi Jepang” itu sempat bermain untuk Real Madrid, dan kini menjadi andalan klub La Liga, Real Sociedad.

Perjalanan karier Ansu Fati, “New Messi” lain sebelum Lamine Yamal juga tak kalah pelik. Di masa kepelatihan Xavi Hernandez, sayap lincah dengan kaki kiri istimewa ini sempat dipinjamkan ke Brighton and Hove Albion, dan kini kembali ke Barcelona. Orang sudah melupakan harapan kepadanya sebagai penerus Messi. Ansu juga kalah bersaing dengan Yamal, yang kini sudah menjadi pemain inti di tim utama Barca, dan menerima Trofi Kopa 2024, sebagai pemain terbaik dunia di bawah usia 21.

Peraih Ballon d’Or 2024, Rodri, dalam pidatonya di Theatre du Chatelet, Paris, 29 Okrober lalu, tak ragu menjagokan Yamal meraih trofi itu tahun depan, “Lamine Yamal selanjutnya akan memenangkan Ballon d’Or. Saya yakin itu. Teruslah berjuang, teruslah bekerja keras. Kamu berikutnya”.

Anda mungkin juga mencatat, Mohamed Salah yang kini masih sangat diandalkan Liverpool, dulu mendapat julukan “Messi dari Mesir”. Ketika direkrut Chelsea dari FC Basel, dia jarang mendapat menit bermain dari pelatih Jose Mourinho. Bahkan terkesan, bakat Mo Salah tersia-siakan di Stamford Bridge.

Mohamed Salah baru berkembang setelah pindah ke Fiorentina. Dari La Viola dia direkrut AS Roma dan betul-betul pesat melejit. Setelah itu, sejak 2017 dia diambil Liverpool dan betul-betul menjadi andalan utama, baik di bawah pelatih Juergen Klopp maupun Arne Slot sekarang.

Kembali ke Chelsea. Dalam waktu dua-tiga tahun mendatang, Ibrahim Rabbaj akan bersaing dengan mereka yang kini disebut-sebut sebagai penerus Messi. Dia akan berpacu dengan seniornya, Cole Palmer, lalu Lamine Yamal yang dalam usia tidak terlalu jauh sudah menjadi pemain inti Barcelona, dan menjadi sosok utama yang kuat sebagai penerus Messi.

Dengan perfoma dan personifikasi yang sangat mirip, jangan-jangan Messi sendiri nanti yang akan terbelalak dan tersenyum simpul melihat aksi-aksi Ibrahim Rabbaj.

Dia akan menjadi “separuh jiwa”, kalau bukan “seutuhnya”…

Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah