Oleh: Zakariya Anshori Chamim
JEPARA (SUARABARU.ID)- Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Kabupaten Jepara yang akan dilaksanakan pada Rabu, 27 Nopember 2024 diwarnai fenomena politik yang menarik namun kontradiktif.
Sedikit mundur kebelakang, pertama, maraknya baliho bertebaran di berbagai sudut kota dan di belakang angkutan umum serta banyaknya bakal calon yang mendaftar melalui berbagai partai politik yang ada di Kabupaten Jepara.
Baliho calon bupati yang muncul antara lain: Ahmad Mudhoffar, Chaerul Mushonif, Dian Kristiandi, Farisal Adib, Fathurrohman, Jadug Trimulyo Amri, Luluk Agus Yulianto, Masykuri, Mochammad Iqbal, Nuruddin Amin, Syaiful Anam (Karewox), Supriyanto dan Witiarso Utomo.
Sementara baliho calon wakil bupati seperti: Edi Khumaidi, Lasmini, Latifun, Muhammad Ibnu Hajar, M. Zaenal Afrodi dan Purwanto.
Kedua, muncul isu calon tunggal lawan kotak kosong atau sekurang-kurangnya koalisi besar tanpa lawan.
Kontradiksi kemunculan banyak calon berebut tiket untuk mendapatkan rekomendasi partai politik dan isu calon tunggal tersebut sudah terjawab pada saat Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jepara menetapkan pasangan calon KH. Nuruddin Amin, S.Ag – H. Mochammad Iqbal, S.HI nomor urut satu dan H. Witiarso Utomo, SE – Muhammad Ibnu Hajar, SM nomor urut dua pada Senin, 23 September 2024.
Penulis menganggap hiruk-pikuk perebutan tiket itu sebagai peristiwa politik biasa. Sebagai santri kalong yang bersentuhan dengan realitas politik profan, Kemin mencoba berpikir ‘mlethik’ dengan mengusung semangat politik profetik yang lebih sakral.
Sebagai Ghazalian, Kemin kagum pemikiran politik Hujjatul Islam tersebut dalam kitab Ihya Ulumuddin, “Ad Din wal Mulku Tau’amaani, Faddinu Ashlun Wal Mulku Haarisun”.
Agama dan kekuasaan bagaikan dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Nilai-nilai agama harus menjadi substansi yang mendasari perilaku politik, sementara kewenangan pemimpin politik harus bisa menjaga dan memastikan agar nilai-nilai agama berlaku di tengah masyarakat melalui undang-undang, peraturan dan kebijakan lainnya.
Bagi Penulis, Agama adalah pondasi dan pemerintah adalah penjaganya. Bangunan apapun tanpa pondasi akan hancur dan apa saja tanpa penjaga akan sia-sia/ hilang.
Penulis memahami dalam kaidah fiqh disebutkan, “Tasharruful Imam alar Raiyyat manuthun bil Mashlahat”. Kebijakan pemerintah bagi rakyat harus berdasarkan maslahah kepentingan umum.
Ingatan Penulis kembali pada kejadian penurunan paksa baliho Syaiful Anam (Karewok) oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) pada Kamis, 25 Juli 2024? Benarkah konten yang disampaikan Karewok merupakan tindakan provokatif dan ujaran kebencian?
Bukankah konten yang disampaikan Karewok merupakan “dakwah bil hal” melalui media baliho? Toh Karewok juga membayar retribusi papan reklame sesuai peraturan daerah yang ada. Pelanggaran apa yang dilakukan Karewok hingga Pj. Bupati memerintahkan Satpol PP mencopot baliho yang baru terpasang.
“Man raa’a minkum munkaran fal yughayyirhu bi yaadihi, fa in lam yastathi’ fa bi lisaanihi, fa in lam yastathi’ fa bi qalbihi, wa dzalika adl’aful iman”, barang siapa dari kalian yang melihat kemungkaran maka hendaknya kalian rubah dengan kekuasaanmu, apabila tidak mampu maka ingatkan dengan lisanmu, apabila tidak mampu maka berdoalah dalam hatimu, yang demikian itu selemah-lemanhnya iman.
Cara berfikir spiritual (menurut Penulis) Karewok tersebut disampaikan kepada Penulis, saat Penulis berkesempatan ngobrol panjang pada 21 Juli 2024 silam. dalam pertemuan tersebut kata-kata Karewox yang paling diingat oleh Penulis adalah “Nek ono kemungkaran utowo kemaksiatan, tur aku weruh lan iso ngendekno, nanging aku ora ngendekno, yo dosa mlebu neroko”.
Kalau Karewok saja berani mengatakan seperi itu dengan terbuka melalui media baliho maka sebagai santri kita seharusnya lebih berani untuk menyuarakan kebenaran melawan molimo yang dilarang agama dan negara. Bukan malah pura-pura tidak tahu. Masihkan kita pantas mengaku sebagai santri?
(Penulis adalah Politisi PKB dan Pernah Mejabat sebagai Ketua Lembaga Ta’lif wan Nasyr (LTN) PCNU Jepara 2010-2015)