Oleh: Marko Komar
JEPARA (SUARABARU.ID)- Dalam lanskap pendidikan global yang sering kali konvensional, Paulo Freire muncul sebagai sosok revolusioner dengan bukunya yang mengguncang, ‘Pedagogy of the Oppressed’.
Ditulis dengan latar belakang sosial-politik di Brasil dan Amerika Latin pada pertengahan abad ke-20, Freire menantang paradigma lama dengan cara yang menggugah.
Freire menegaskan bahwa manusia tidak hanya menjadi subjek pasif dalam pusaran perubahan. Sebaliknya, manusia adalah agen transformatif yang mampu mengubah dunia.
Di era yang ditandai dengan perubahan cepat ini, Freire melihat pendidikan sebagai alat untuk menyadarkan individu—atau dalam istilahnya, conscientização—dan membebaskan mereka dari belenggu ketidakadilan.
Pendidikan, menurut Freire, tidak boleh dibatasi sebagai sarana adaptasi. Dia menolak konsep pendidikan sebagai alat pencetak pekerja bagi pabrik dan perusahaan.
Sebaliknya, pendidikan harus menjadi obor yang menerangi jiwa, menginspirasi keberanian untuk menantang status quo dan menciptakan masa depan yang lebih baik.
Dalam konteks saat ini, di mana ketidakadilan sosial masih marak, visi Freire tersebut menjadi sangat relevan.
Ia mendorong pendidikan yang memberdayakan kaum tertindas agar tidak hanya pasrah menerima nasib, tetapi aktif merombak struktur yang menindas mereka.
Freire juga menantang institusi agama untuk mengambil peran lebih aktif. Gereja dan tempat ibadah, menurutnya, tidak boleh hanya menjadi tempat kontemplasi tetapi juga arena pembebasan.
Ini adalah tempat di mana iman tidak hanya dipelajari tetapi juga diterapkan untuk melawan ketidakadilan.
Dalam ranah politik, Freire menekankan pentingnya demokrasi sejati, di mana setiap individu tidak hanya hadir secara pasif tetapi turut serta aktif dalam proses perubahan.
Dalam menghadapi tantangan seperti populisme dan otoritarianisme, institusi agama harus menjadi suara moral yang membangkitkan keberanian untuk mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.
Freire juga menyoroti pentingnya merangkul keragaman sebagai keniscayaan. Institusi agama, dalam pandangannya, harus menjadi ruang inklusif yang menghormati dan mengakomodasi suara dari semua lapisan masyarakat.
Dalam menutup pandangannya, Freire percaya bahwa sinergi antara pendidikan dan agama yang kritis serta inklusif adalah kekuatan transformatif.
Kekuatan ini mampu membebaskan, menginspirasi setiap individu untuk melawan ketidakadilan, dan membangun dunia yang lebih adil, penuh kasih, dan harapan.
Dengan demikian, kita diajak untuk tidak hanya menyesuaikan diri dengan dunia tetapi juga berperan aktif dalam membentuknya.
(Penulis bekerja sebagai Jurnalis dan Mahasiswa Jurusan Studi Agama-agama UIN Walisongo)