Penggunaan pemain diaspora menjadi inspirasi "sentilan" untuk pembenahan kompetisi di dalam negeri. Foto: dok/pssi

Oleh: Amir Machmud NS

// sudahkah kita berjalan ke arah yang benar?/ adakah yang harus diluruskan?/ tentu tak semudah itu meraih tujuan/ banyak pembenahan menantang/ untuk sampai ke kematangan//
(Sajak “Jalan Panjang Tujuan”, 2024)

TALKSHOW bersama pengamat sepak bola M Kusnaeni dan wartawan olahraga Darjo Soyat yang pekan lalu digelar RRI Semarang di Hotel Grand Candi, mengupas banyak hal tentang PSSI, tim nasional, pembinaan usia dini, kompetisi liga, dan dukungan infrastruktur.

Acara yang dipandu oleh presenter Roshia Martiningrum itu membedah berbagai pendapat tentang seberapa jauh perjalanan timnas yang kini sedang berjuang di putaran ketiga Pra-Piala Dunia 2026 Zone Asia.

Secara kualitatif tersimpulkan, timnas yang sejak 2019 diasuh oleh Shin Tae-yong memang mengalami peningkatan, yang terbaca dari kenaikan peringkat FIFA, kini berada di kisaran 130.

Hanya, secara kuantitas, coach STY belum memberi trofi dari sejumlah event yang diikuti ketika mengarsiteki anak-anak Garuda.

Yang sangat terasa, dari sisi kualitatif, adalah kegairahan — dengan aksen penguatan budaya sepak bola — terutama apresiasi terhadap timnas; namun semua hal positif itu belum menghadirkan kenyataan bahwa Indonesia sudah benar-benar mampu mengatasi kemaharajaan Thailand dan Vietnam sebagai kekuatan utama Asia Tenggara.

Jadi, sebaiknya kita berpikir dalam pijakan realistis: jangankan bersaing di level Asia, penegasan menjadi “raja” Asia Tenggara juga belum, meskipun Malaysia kini sudah berada di bawah kita. Jalur pencapaiannya dimulai dari sini.

Prioritas Langkah
Lalu apa yang harus diprioritaskan di tengah gairah PSSI menggunakan banyak pemain diaspora untuk meningkatkan standar timnas?

Dalam kondisi pro-kotra, kita harus sama-sama sepakat, proyek “naturalisasi pemain” itu bersifat jangka pendek. Yang justru harus dilakukan adalah merevitalisasi kompetisi liga agar mampu melahirkan pemain-pemain dengan kualitas setara dengan para pemain diaspora, yang rata-rata merupakan produk liga-liga Eropa.

Jika kompetisi liga bisa memunculkan kualitas pemain setara dengan Jay Idzes, Thom Haye, Ragnar Oratmangoen, Nathan Tjoe A-On, atau Maarten Paes, tentu produk liga bisa bersaing untuk mendapatkan tempat sebagai starter di timnas.

Pertama-tama, liga harus dibenahi secara konsisten di semua sektor. Klub-klub memiliki pembinaan usia muda, dengan memiliki akademi, sehingga tidak harus bergantung merekrut pemain dari klub lain.

Revitalisasi kompetisi ini menyangkut faktor-faktor infrastruktur, manajerial klub, perwasitan, manajemen sponsorship, dan konsistensi kompetisi usia dini. Jika semua bisa dikelola dengan baik, maka liga bisa berharap melahirkan produk pemain dengan kesiapan fisik, teknik, dan mental yang dibutuhkan timnas.

Penggunaan pemain diaspora, pada sisi lain, adalah inspirasi “sentilan” untuk pembenahan kompetisi. Jadi hanya merupakan pilihan pemicu jangka pendek.

Pemerintahan Prabowo
Peralihan penyelenggaraan negara dan pemerintahan dari Presiden Joko Widodo ke Prabowo Subianto pada akhir tahun ini juga kita harapkan melanjutkan kegairahan bersepak bola, yang tentu harus bertopang pada keseriusan mengelola liga.

Di bawah PSSI dan ketua umumnya, Erick Thohir, sejauh ini pilihan visi ke proyek pemain diaspora telah menerbitkan harapan baru. Tentu harus disusul dengan topangan syarat orientatif berupa kompetisi liga yang memadai.

Bukankah atensi ke liga dan timnas, adalah medium sexy dan menyentuh hati rakyat?

Sepak bola adalah representasi rasa yang paling mudah menggugah dua keping jiwa, antara bangga dan kecewa; dan jika hasilnya nanti memuaskan, tentu mudah membayangkan seperti apa euforia sepak bola yang bakal membuncah…

Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah