blank
Ilustrasi. Reka: SB.id

Salah satu masalah utama yang dihadapi Indonesia saat ini adalah krisis etika yang mengakar di kalangan penyelenggara negara. Ironisnya, para pemimpin yang seharusnya menjadi teladan dalam menjalankan nilai-nilai keagamaan justru sering terjebak dalam praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Fenomena ini mencerminkan adanya jurang yang lebar antara nilai-nilai agama yang diajarkan dan perilaku nyata di lapangan. Agama, yang seharusnya menjadi pijakan moralitas tertinggi, kehilangan pengaruhnya ketika kepentingan pribadi dan kelompok mengambil alih nilai-nilai etis.

Budaya Kepalsuan

Selain itu, krisis etika ini diperparah oleh budaya kepalsuan yang semakin mendominasi di era digital. Budaya ini mendorong kehidupan yang tidak otentik, di mana nilai-nilai agama dan moralitas manusia hanya menjadi alat simbolis untuk meraih status sosial dan pengakuan.

Manusia lebih memilih mengejar materialisme, mengesampingkan esensi kemanusiaan dan nilai-nilai sejati. Dalam konteks ini, agama seharusnya berperan sebagai kekuatan kritis untuk membongkar relasi kuasa yang timpang dan menginspirasi manusia untuk kembali pada nilai-nilai yang otentik dan universal, yang tidak hanya menjadi pedoman hidup pribadi, tetapi juga dasar dalam menjalankan tanggung jawab publik.

Integritas dan kejujuran adalah dua pilar utama dalam membangun etika publik yang kokoh. Namun, kedua hal ini semakin terpinggirkan dalam kehidupan publik di Indonesia. Dalam konteks ini, agama seharusnya memiliki peran penting dalam mengembalikan nilai-nilai integritas dan kejujuran ke dalam kehidupan publik.

Setiap agama mengajarkan pentingnya kejujuran dan integritas dalam setiap aspek kehidupan, namun ajaran-ajaran ini seringkali diabaikan. Untuk itu, pendidikan agama harus mengalami pembaruan. Pendidikan agama tidak lagi boleh hanya mengajarkan ritual dan formalitas, tetapi harus menekankan pada nilai-nilai keutamaan publik dan kebangsaan.

Pendidikan agama yang bermakna adalah pendidikan yang mengajarkan bagaimana nilai-nilai universal agama dapat diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai ini harus menjadi dasar dalam membangun etika publik yang kuat, yang mampu mengatasi berbagai persoalan sosial dan politik yang dihadapi bangsa ini.

Lebih lanjut, Salah satu isu yang paling mendesak dalam kehidupan publik di Indonesia adalah ketimpangan sosial dan ekonomi. Ketimpangan ini tidak hanya terjadi antara pusat dan daerah, tetapi juga antara kelompok mayoritas dan minoritas.

Ketidakadilan dalam distribusi sumber daya alam, pembangunan yang tidak merata, serta marginalisasi kelompok minoritas adalah beberapa contoh ketimpangan yang masih terjadi di Indonesia. Dalam situasi seperti ini, agama harus berperan sebagai agen perubahan yang menginspirasi terciptanya keadilan sosial.

Agama harus mampu mengatasi ketimpangan ini dengan membongkar relasi kuasa yang timpang dan menciptakan kesetaraan dalam kehidupan publik. Setiap agama mengajarkan pentingnya keadilan dan kasih sayang, dan nilai-nilai ini harus diaktualisasikan dalam kebijakan publik yang berpihak pada kelompok-kelompok yang terpinggirkan. Ketika agama hanya menjadi aksesori dalam kehidupan publik, maka nilai-nilai etis yang diajarkannya tidak akan pernah mampu mengatasi ketimpangan yang terjadi.

Pendidikan agama memainkan peran penting dalam membentuk etika publik. Namun, pendidikan agama yang diajarkan saat ini seringkali hanya menekankan pada aspek-aspek ritual dan formalitas, tanpa menekankan pada penghayatan nilai-nilai etis yang diajarkan oleh agama.

Untuk itu, perlu ada pembaruan dalam pendidikan agama, agar pendidikan agama tidak lagi hanya berfokus pada ritual, tetapi juga pada nilai-nilai keutamaan publik dan kebangsaan.

Pendidikan Agama yang Bermakna

Pendidikan agama yang bermakna adalah pendidikan yang mengajarkan bagaimana nilai-nilai universal agama dapat diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai ini harus menjadi dasar dalam membangun etika publik yang kuat, yang mampu mengatasi berbagai persoalan sosial dan politik yang dihadapi bangsa ini.

Pendidikan agama yang bermakna adalah pendidikan yang mampu membentuk karakter individu yang berintegritas, jujur, dan adil, serta mampu menjadi agen perubahan dalam kehidupan publik.

Pancasila adalah landasan utama dalam membangun etika publik di Indonesia. Setiap nilai yang diajarkan oleh Pancasila, seperti Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan, harus menjadi dasar dalam setiap pengambilan keputusan publik. Namun, dalam praktiknya, nilai-nilai ini seringkali diabaikan, terutama ketika kepentingan pribadi dan kelompok menjadi prioritas utama.  Untuk itu, diperlukan upaya yang lebih serius dalam mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan publik.

Pancasila tidak hanya harus menjadi semboyan, tetapi juga harus menjadi panduan dalam setiap tindakan yang diambil, baik oleh penyelenggara negara maupun oleh masyarakat secara umum. Seperti yang dikatakan oleh Kuntowijoyo, radikalisme Pancasila harus menjadi pegangan umat manusia di Indonesia.

Nilai-nilai agama yang universal, seperti ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan, harus menjadi payung bagi terciptanya masa depan Indonesia yang lebih adil dan makmur.

Di era digital ini, tantangan untuk menerapkan etika publik semakin besar. Digitalisasi menciptakan masyarakat baru, yang seringkali menggunakan media sosial tanpa bijak. Banyak orang yang menyebarkan hoaks, ujaran kebencian, dan informasi yang tidak benar, yang justru memperburuk situasi etika publik di Indonesia.

Dalam situasi ini, agama seharusnya berperan sebagai penyeimbang, yang mampu menginspirasi masyarakat untuk menggunakan teknologi secara bijak dan etis. Agama harus mampu menjadi pemandu dalam menghadapi tantangan di era digital ini, dengan menekankan pentingnya kejujuran, integritas, dan tanggung jawab dalam setiap tindakan yang dilakukan di dunia maya.

Setiap individu harus diajarkan untuk bertindak berdasarkan nilai-nilai etis, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Dengan demikian, agama akan mampu mengatasi budaya kepalsuan yang semakin berkembang di era digital ini, dan menginspirasi terciptanya etika publik yang otentik dan bermakna.

Seperti yang dikemukakan dalam FGD yang diselenggarakan oleh BPIP di Universitas Pattimura, Ambon, ada paradoks dalam pemahaman dan penerapan agama dalam masyarakat. Nilai-nilai luhur yang diajarkan agama kerap kali tereduksi hanya menjadi simbol tanpa penerapan yang konkret.

Etika publik yang seharusnya diilhami oleh ajaran agama cenderung diabaikan, dan masyarakat, termasuk para pemimpin negara, terjebak dalam perilaku niretika. Salah satu masalah mendasar yang diidentifikasi dalam diskusi tersebut adalah relasi kuasa yang timpang antara mayoritas dan minoritas.

Harmoni yang tampak di permukaan sering kali menutupi ketidakadilan yang terjadi di bawahnya. Minoritas kerap kali mengalami diskriminasi, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam berbagai aspek kehidupan. Relasi ini menjadi semakin problematik ketika harmoni yang diciptakan tidak berlandaskan pada nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan, tetapi hanya pada kepentingan pihak-pihak tertentu yang memiliki kekuasaan lebih besar.

Forum diskusi seperti ini diharapkan melahirkan pemikiran kritis dan solutif yang mampu mengaktualisasikan nilai-nilai agama dalam etika publik. Diskusi ini penting untuk membongkar paradoks keberagamaan di masyarakat dan menciptakan tatanan sosial yang lebih adil.

Komitmen semua pihak diperlukan agar agama menjadi sumber inspirasi dalam tata kelola pemerintahan yang bersih dan berkeadilan, serta menjadi panduan moral dalam kehidupan publik. Dengan kesadaran kolektif ini, agama dapat berperan membentuk masyarakat yang lebih adil, sejahtera, dan berintegritas, serta membangun bangsa yang etis dan bermartabat.

Pada akhirnya, di tengah krisis etika yang menggerogoti kehidupan publik, agama tidak bisa lagi hanya menjadi aksesori atau formalitas. Nilai-nilai moral universal yang diajarkan agama harus menjadi fondasi dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara.

Ketika agama dipahami secara dangkal dan hanya dimanfaatkan untuk kepentingan pragmatis, ketimpangan sosial dan ketidakadilan akan terus berlanjut. Diperlukan komitmen kuat dari semua pihak untuk menjadikan agama sebagai sumber etika publik yang nyata dan solutif, bukan sekadar simbol kosong.

Jika ini terwujud, agama akan berperan signifikan dalam menciptakan tata kelola yang bersih, adil, dan bermartabat bagi Indonesia.

Dr. Benny Susetyo, budayawan dan pakar komunikasi politik