Foto:i lustrasi

Oleh: Khoirul Muslimin

JEPARA  (SUARABARU.ID)- Tingginya angka anak tdak Sekolah  di Indonesia berdasarkan data Susenas yang diolah Bappenas tahun 2022 meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Separuh lebih penyebabnya, 67 persen, karena faktor biaya.

Khoirul Muslimin

Kondisi demikian, tidak sebanding dengan dana pendidikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang mencapai Rp665 trilliun. Selain itu, seperti diamanatkan UUD 1945 pasal 31 ayat 1, pemenuhan hak warga negara untuk memperoleh pendidikan menjadi tanggung jawab pemerintah.

Anak Tidak Sekolah (ATS), menurut UNESCO, adalah anak berusia 6–17 tahun dengan kondisi tidak memiliki akses ke sekolah terdekat dengan tempat tinggalnya, tidak terdaftar meskipun sekolah tersebut ada dan dekat, dan terdaftar tetapi tidak bersekolah atau tidak mampu untuk belajar ke sekolah dikarenakan diskriminasi berbasis jenis kelamin,  kemiskinan, berpindah-pindah tempat, disabilitas, kelompok etnis minoritas, konflik, bencana alam, menjadi tulang punggung dalam mencari nafkah keluarga, jarak sekolah yang jauh.

Sementara itu, makna ATS dalam Stranas (Strategi Nasional) ATS adalah anak berusia 7–18 tahun dengan kondisi tidak pernah sekolah, putus sekolah pada jenjang tertentu, dan menyelesaikan jenjang tertentu tapi tidak melanjutkan dan  sebab-sebab lain seperti kesulitan akses geografi, bencana alam, dan daerah konflik.

Dalam agama Islam, mencari atau menuntut ilmu hukumnya juga wajib, tanpa terkecuali, baik muda maupun tua, kaya maupun miskin. Wahyu pertama yang diturunkan merupakan perintah membaca (iqra) yang berarti bacalah!. Hal ini dipertegas dalam surat Al-Mujadalah ayat 11 yang artinya Allah swt mengangkat orang-orang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.

Ayat di atas menegaskan, kedudukan ilmu dalam pandangan Islam adalah wajib. Oleh sebab itu, manusia dan pendidikan tidak dapat dipisahkan, sebab pendidikan menjadi kunci masa depan manusia yang dibekali akal dan pikiran. Pendidikan memiliki peranan penting dalam perkembangan dan kelangsungan hidup bangsa, karena pendidikan sebagai wadah untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas dari sumber daya manusia.

Pada 2022, di Indonesia ada 4,1, juta dan sebanyak 45.000 anak di Jawa Tengah (Jateng) Anak Tidak Sekolah. Provinsi ini menduduki peringkat keenam ATS terbanyak setelah Jawa Timur. Untuk mengembalikan ATS ke sekolah di Jawa Tengah, Pemerintah Provinsi bermitra dengan Unicef dan Institut Teknologi dan Bisnis (ITB) Semarang dalam upaya perbaikan tata kelola penanganan ATS.

Ini langkah kongkrit untuk mencegah dan menangani ATS. Tahun 2017 tahap piloting diprogramkan di Kabupaten Brebes. Tahun 2021 tahap piloting dilakukan di enam kabupaten.

Di Kabupaten Jepara dengan slogan  Yuk Sekolah Maneh, di Kabupaten Pemalang dengan slogan Njuh Sekolah Maning, di Kabupaten Rembang dengan slogan Gas Pol 12 Tahun, di Kabupaten Magelang Gumregah Bunga/Magelang Gumregah Bali Mlebu Ning Sekolah, di Kabupaten Purbalingga dengan slogan Gerakan Mageh Padha Sekolah, dan Kabupaten Banyumas dengan slogan Mayuh Sekolah Maning.

http://bit.ly/Pilkada2024KPPS

Di lokasi piloting, penanganan ATS dilakukan dengan lima cara. Pertama, sosialiasai penanganan anak tidak sekolah. Kedua identifikasi dini kepada siswa yang berisiko putus sekolah. Identifikasi dapat dilihat dari sikap, perilaku, dan kedisiplinan di sekolah. Ketiga, pendataan anak tidak sekolah. Keempat pendampingan intensif oleh guru atau lingkungan kepada siswa berisiko ATS. Kelima, psikoedukasi melalui pembekalan diri kepada siswa untuk menghindari faktor-faktor penyebab putus sekolah. Terakhir, memberikan pelatihan atau memberikan keterampilan kecakapan hidup atau yang terkait minat siswa.

Pada bagian berikutnya, intervensi dapat dilakukan, salah satunya melalui konseling yang ditujukan kepada individu maupun kelompok. Intervensi konseling ini langsung berdampak langsung kepada siswa, ataupun melalui keluarga, teman sebaya, hingga pihak sekolah. Tindak prevensi dan intervensi diharapkan dapat menekan angka putus sekolah hingga meningkatkan kualitas psikologis dan kualitas siswa. Adapun para guru bisa menjalankan pendekatan psikososial untuk mencegah dan mengatasi permasalahan ATS yang dialami siswa

Strategi pencegahan dan penanganan ATS telah menjadi praktik baik yang dilakukan di enam kabupaten piloting dan juga dilakukan di 15 kabupaten penanganan secara mandiri, berdampak pada penurunan Anak Tidak Sekolah di Jawa Tengah. Penangan Anak Tidak Sekolah tidak hanya menjadi tanggungjawab pemerintah, akan tetapi menjadi tanggungjawa bersama.

Desain model dengan pelembagaan berjenjang, dari tingkat kabupaten hingga desa, menjadi salah satu kunci keberhasilan. Kepedulian pemerintah dari tingkat pusat, hingga pemerintahan desa dan organisasi kemasyarakatan menjadi kunci peluasan sebaran dan cakupan, ketersediaan anggaran, dan program yang berkeberlanjutan.

Dengan cari seperti itu, diharapkan penanganan ATS di Jawa Tengah dapat berjalan secara maksimal, sehingga tidak lagi ada cerita anak yang tidak mengeyam pendidikan, demi anak Indonesia berilmu dan ujud generasi emas yang cendekia dan berakhlakul karimah.

(Penulis adalah Dosen Unisnu Jepara, Anggota Dewan Pendidikan Provinsi Jawa Tengah, Ketua Lakpesdam PCNU Jepara, dan PIC Penanganan Anak Tidak Sekolah di Jepara)