SEMARANG (SUARABARU.ID) – Enam Anak Berkonflik Hukum (ABH) yang terlibat dalam kasus tawuran antar gengster di Karanggunung, Kota Semarang, menjalani pendampingan intensif dalam tahap penuntutan di Kejaksaan Negeri Semarang, Jumat (20/9/2024).
Diketahui, anak-anak berinisial M, F, I, D, MA, dan Q ini didampingi oleh Pembimbing Kemasyarakatan (PK) dari Balai Pemasyarakatan (Bapas) Semarang, yakni Roni Satriya Cahyadi, Arif Agung Prasetya, Firdaus Adi Kurnia, dan Yosy Yudha Kusuma.
Pendampingan ini dilakukan untuk memastikan bahwa hak-hak anak terpenuhi selama proses peradilan pidana anak, sesuai dengan prinsip restorative justice yang diamanatkan oleh Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Dalam proses ini juga melibatkan orang tua ABH, pengacara, Jaksa Penuntut Umum (JPU), penyidik kepolisian, serta PK Bapas Semarang.
Arif Agung Prasetya, salah satu PK Bapas Semarang yang terlibat dalam pendampingan menekankan pentingnya menjaga hak-hak anak dalam setiap tahapan proses hukum. “Kami hadir untuk memastikan bahwa anak-anak ini tetap mendapatkan hak mereka, mulai dari perlindungan hukum, perlakuan yang adil, hingga bimbingan sosial. Kami ingin mereka memahami proses hukum yang mereka jalani, namun juga mendapatkan kesempatan untuk belajar dan memperbaiki diri,” ujar Arif.
Menurut Arif, setelah berkas perkara dinyatakan lengkap oleh JPU, keenam anak tersebut dipindahkan dari Rutan Polrestabes Semarang ke Rutan Kelas I Semarang. Proses pemindahan ini dilakukan sebagai bagian dari tahapan penuntutan menuju persidangan, untuk memastikan bahwa mereka tetap dalam pengawasan hukum yang tepat selama proses hukum berlanjut.
Pendampingan oleh PK Bapas juga melibatkan upaya memberikan panduan kepada keluarga anak-anak tersebut. Menurut Arif, keterlibatan orang tua sangat penting untuk memastikan bahwa anak-anak tidak merasa sendirian dan tetap mendapatkan dukungan moral selama menjalani proses hukum.
“Kami selalu berkoordinasi dengan keluarga untuk memastikan anak-anak mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan. Pendampingan dari keluarga sangat penting agar mereka merasa diperhatikan dan tidak semakin terjerumus dalam masalah yang lebih dalam,” tambahnya.
Kasus tawuran antar gengster yang melibatkan anak-anak ini menjadi perhatian publik karena kekerasan yang ditimbulkan, serta dampaknya bagi masyarakat sekitar.
Melalui pendampingan ini, Bapas Semarang berharap anak-anak tersebut tidak hanya dihukum, tetapi juga diberikan kesempatan untuk direhabilitasi secara sosial dan emosional.
Pendekatan yang dilakukan Bapas Semarang sendiri bertujuan untuk meminimalisir dampak negatif dari proses hukum serta memberikan mereka kesempatan untuk memperbaiki diri. “Kami berusaha memastikan bahwa sistem peradilan pidana anak berjalan sesuai dengan prinsip keadilan restoratif. Tujuan utama kami adalah rehabilitasi, bukan sekadar menghukum. Kami ingin anak-anak ini kembali ke masyarakat sebagai individu yang lebih baik dan bertanggung jawab,” tegas Arif.
Melalui upaya pendampingan ini, diharapkan anak-anak yang terlibat dapat menjalani proses peradilan dengan lebih manusiawi, serta mendapatkan kesempatan kedua untuk memperbaiki masa depan mereka.
Dikatakan, setelah proses pendampingan dan penuntutan ini selesai, keenam anak dipindahkan dari Rutan Polrestabes Semarang menuju Rutan Kelas I Semarang untuk kelanjutan proses hukum yang mereka jalani. Pemindahan ini menandai tahap persiapan mereka menghadapi persidangan yang akan datang.
Ning S