Oleh : Hadi Priyanto
Predikat Jepara sebagai Kota Ukir yang telah mulai muncul sekitar tahun 1970-an menjadi bukti tak terbantahkan bahwa warisan budaya ini telah menjadi kekuatan absolut kota ini. Bahkan dapat dikatakan seni ukir menjadi salah satu pembentuk karakter masyarakat dan sekaligus menjadi pilar penyangga utama perekonomian daerah.
Walaupun tertatih-tatih, Jepara juga mencoba membangun branding baru, Jepara The Word Carving Center atau Jepara Pusat Ukir Dunia yang diluncurkan bersamaan dengan peresmian Jepara Trade and Tourism Center (JTTC) kala Hendro Martojo menjabat sebagai Bupati Jepara tahun 2008. Saat itu dihadiri Gubernur Jawa Tengah Mardiyanto.
Selanjutnya Jepara sigap merespon persaingan global sekaligus menutup niatan negara lain yang ingin mengklaim seni ukir sebagai kekayaan khas negaranya. Langkah strategis itu adalah mengajukan Hak Indikasi Geografis untuk seni ukir Jepara.
Indikasi geografis adalah istilah yang dipergunakan untuk menunjukkan bahwa sebuah produk berupa barang atau jasa berasal dari sebuah negara, daerah atau tempat tertentu. Ini diberikan untuk produk atau jasa yang memiliki karakteristik atau ciri yang terkait erat dengan faktor alam dan manusia dari tempat dimana produk dan jasa tersebut berasal.
Kerja keras seluruh pemangku kepentingan dibawah bendara Jepara Incorporited berbuah hasil manis. Pada peringatan Hari HaKI sedunia ke-10 yang berlangsung di Jakarta Convention Center (JCC) pada tanggal 27 Mei 2010, Bupati Hendro Martojo menerima Hak IG-MUJ yang diterimakan Menkumham. Pemberian pengakuan ini membuka peluang bagi pengusaha untuk melakukan pendaftaran HaKI bagi karya-karya khasnya sesuai kriteria Hak Indikasi Geografis.
Karena Indikasi Geografis (IG) merupakan salah satu komponen Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang penting dalam kegiatan perdagangan, khususnya memberikan perlindungan terhadap komoditas perdagangan yang terkait erat dengan nama daerah atau tempat asal produk barang. Maka bisa di bayangkan betapa besar nilai ekonomi kekayaan Indikasi Geografis ini jika dikelola dengan baik.
Bahkan untuk merayakan pengakuan itu kemudian digelar Jepara Expo selama 3-6 Agustus 2010 kali ini di gelar di Gedung Jepara Trade & Tourism Centre (JTTC), bertemakan “Dengan Hak Indikasi Geografis, Mebel Ukir Jepara, kita Tingkatkan Nilai Tambah Produk yang berbasis Potensi Budaya Lokal”. Kegiatan terangkai dari pameran produk potensial, inovasi iptek, launching Mebel Ukir Jepara (MUJ) serta, pelatihan internet pemasaran.
Pelestarian seni ukir melalui lembaga pendidikan juga sudah dilakukan melalui Perda No. 1 Tahun 2011 dan Perda No.8 tahun 2018. Juga Perda No. 2 tahun 2014 tentang Perlindungan, Pemberdayaan dan Pembinaan Industri Mebel di Kabupaten Jepara.
Selanjutnya untuk memperkuat identitas kota sebagai Kota Ukir, dengan Peraturan Bupati No. 10 tahun 2014, Bupati Jepara waktu itu, Ahmad Marzuqi telah menetapkan Pemberian Ornamen Ukiran pada Gedung dan Bangunan Lain Milik Pemerintah Daerah. Kemudian pada tahun 2015 seni ukir Jepara juga telah ditetapkan sebagai Kekayaan Budaya Takbenda Indonesia.
Untuk terus menjaga spirit pelestarian seni ukir, Pj Bupati Jepara Edy Supriyanta telah mendeklarasikan tanggal 20 Agustus sebagai Hari Ukir Nasional di Jepara pada 20 Agustus 2022. Langkah strategis terakhir adalah deklarasi Macan Kurung dan Gebyok Jepara sebagai hiasan dan ornamen di instansi pemerintah dan swasta di Kabupaten Jepara. Juga penandatanganan komitmen, menjadikan seni ukir sebagai salah satu topik Proyek Penguatan Profile Pelajar Pancasila di semua satuan pendidikan di Jepara.
Namun berbagai regulasi dan komitmen seakan tak mampu membendung ancaman pelestarian seni ukir Jepara untuk tidak ditinggalkan pemawarisnya. Sebab regulasi tersebut sepertinya hanya berhenti pada tumpukan dokumen tanpa implementasi yang berarti. Kalaupun ada program, terasa masih kurang bermakna strategis dan kurang integratif.
Karena itu mungkin perlu mulai dipikirkan strategi pelestarian yang lebih komprehensif dan terstruktur. Salah satunya adalah menyusun peta jalan pelestarian seni ukir sebagai panduan arah penyelarasan, pengorganisasian strategis dan pemusatan kolaborasi semua pemangku kepentingan.
Penyusunan peta jalan ini harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan mulai pengukir, pengusaha, akademisi, seniman, budayawan, lembaga swadaya masyarakat, legislatif, dan eksekutif. Harapannya terjadi sinergitas lintas lembaga dan elemen masyarakat terkait. Dalam penyusunan peta jalan ini, tentu pemerintah harus menjadi panglima hingga pelestarian seni ukir tak lagi seperti berjalan di jalan yang terjal tanpa penunjuk arah.
Penulis adalah Ketua Umum Pengurus Yayasan Pelestari Ukir Jepara