Ilustrasi penari tayub (lukisan karya Djoko Pekik).

Oleh: Ulil Abshor

Seperti biasa, di pagi buta itu Kang Tarmin memulai aktifitasnya dengan menyadap nira, yang nantinya akan diproses menjadi tuak. Tuak Kang Tarmin memang terkenal paling ces pleng di kampung. Menurut cerita, keahlian Kang Tarmin dalam membuat tuak diturunkan oleh nenek moyangnya yang konon ahli pembuat tuak zaman kerajaan Majapahit.

Bahkan khasiat tuak Kang Tarmin selain bisa membuat seseorang mabuk, kabarnya juga bisa menyembuhkan beberapa penyakit Kabar ini beredar luas di kalangan masyarakat. Apalagi tiap ada tanggapan tayub, Kang Tarmin akan panen besar karena pesanan tuak berbotol-botol.

Yang menjadi masalah dengan aktifitas Kang Tarmin adalah karena tempat produksi tuaknya berdekatan dengan langgar di kampungnya. Meskipun tidak mengganggu, namun tiap kali ada tanggapan tayub di kampung sebelah, para pelanggan akan datang silih berganti untuk membeli tuak.

Bahkan Ledek tayub pun sering singgah di rumah Kang Tarmin tiap kali ada pentas. Para Ledek tersebut datang ke rumah Kang Tarmin untuk sekedar menghangatkan tubuhnya dengan tuak, atau menghilangkan grogi saat pentas.

Biasanya Kang Tarmin akan turun dari menyadap nira saat anaknya hendak berangkat sekolah. Karena jarak sekolah dari kampung Kang Tarmin lumayan jauh. Pagi itu anak Kang Tarmin seperti biasa bergegas mandi melihat ayahnya menaruh sepeda bututnya di pagar rumah dengan suara khas. “Brakkk!!!”

“Mad, ayo cepat”, teriak Kang Tarmin dari luar kamar mandi kepada Ahmad anaknya sambil menimba air dari sumur.

“Jangan lupa nanti bilang gurumu ya, bapak akan bayar tunggakan syahriah setelah nanti pesanan tuak bapak kirim”, ujar kang Tarmin, sambil terus menimba air untuk mengisi bak mandi.

Ahmad keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melingkar di leher sambil menenteng gayung yang berisi peralatan mandi, memandangi ayahnya, “Pak, kata Bu Guru aku disuruh beli Qur’an. Karena sudah mulai ada pelajaran menghapal Qur’an”, ujar Ahmad.

Mendengar Ahmad meminta dibelikan Qur’an, Kang Tarmin mendadak lemas. Jangankan membaca Quran, sholat saja jarang, ujar Kang Tarmin dalam hati. Seingat Kang Tarmin dirinya ke masjid hanya tiap sholat Ied.

Kang Tarmin memang dikenal sebagai seorang abangan. Menurut Kang Tarmin agama hanya ilusi belaka, bahkan candu. Dia sendiri malas untuk beragama. Keterlibatannya dalam kerusuhan 1965 serta memusuhi para kiai dan santri melengkapi stigma Kang Tarmin sebagai seorang abangan tulen.

Bahkan Kang Tarmin pernah dilaporkan ke polisi oleh Haji Harun karena menganggap mencemari kampungnya dengan memperjual belikan tuak. Haji harun juga sempat berdemo bersama warga agar Kang Tarmin diusir dari kampungnya. Namun dicegah oleh Mbah Nadi, seorang kiai kampung setempat.

Meskipun masih menjalankan usaha sebagai pembuat tuak, namun Kang Tarmin memilih menyekolahkan Ahmad di sekolah Madrasah Ibtida’iyah atas nasehat Mbah Nadi. Bahkan nama Ahmad pun diberikan oleh Mbah Nadi agar kelak mempunyai sifat serta keistimewaan seperti Kanjeng Nabi Muhammad.

“Pak ayo, aku sudah siap”, kata Ahmad, yang membuat Kang Tarmin tergagap dari lamunannya.

“Jangan lupa kamu Mad, kalau belum bapak jemput jangan sembarangan ikut orang, sekarang ini musim penculikan anak”, pesan Kang Tarmin kepada Ahmad yang baru kelas II Madrasah, sambil mempersiapkan botol-botol berisi tuak untuk dikirim ke pelanggan di kecamatan.

Perjalanan hampir satu jam menuju sekolah madrasah di tengah pusat kecamatan membuat Kang Tarmin mengayuh sepedanya secepat mungkin agar Ahmad tidak terlambat, dan itu dilakukannya setiap hari selepas menyadap nira.

Usai mengantar Ahmad ke sekolah, kebiasaan Kang Tarmin adalah ke pasar di pusat kecamatan untuk membeli botol-botol kosong sebagai wadah tuak. Namun, karena teringat anaknya yang meminta Quran tadi pagi, Kang Tarmin mampir ke toko buku di dalam pasar untuk menanyakan harga Qur’an.

Sesampainya di pasar, yang dituju pertama oleh Kang Tarmin adalah tokonya Habib Muhsin, seorang keturunan Arab yang biasa dipanggil Habib oleh orang-orang pasar. Kang Tarmin pun bergegas menuju toko buku Habib Muhsin yang berada di dalam pasar.

Sebuah toko buku sederhana yang menyediakan minyak wangi, kitab kuning untuk para santri, juz ama, iqro’, kitab majmu’, hingga buku-buku pengobatan mujarobat, primbon serta kumpulan khotbah Jumat.

“Cari apa Kang?”, tanya Habib Muhsin.

“Cari Qur’an Bib, yang itu harganya berapa?”, tanya Kang Tarmin sambil menunjuk Qur’an dengan merk menara.

“Yang ini sudah termasuk ada terjemahan 65 ribu Kang, kalau yang ini di dalamnya sudah termasuk ada tafsirnya 100 ribu”, jawab Habib Muhsin yang diketahui bermarga Assegaf itu.

Maturnuwun Bib, nanti siang saya mampir setelah jemput anak saya sekolah”, Kang Tarmin bergegas pulang namun ditahan oleh Habib Muhsin.

“Anakmu sekolah di mana Kang?”, tanya Habib Muhsin.

“Di Madrasah dekat kantor KUA itu Bib”, jawab Kang Tarmin, sambil menunjuk ke arah barat.

“Saya pamit dulu ya Bib, soalnya saya sedang menyadap nira, dan harus mengantar pesanan tuak dulu. Mungkin niranya juga sudah mulai penuh sekarang”, jawab Kang Tarmin sambil bergegas pulang.

Habib Muhsin belum paham apa yang dikkatakan Kang Tarmin, “Lha botol-botol itu isinya apa kang!”, tanya Habib Muhsin sedikit berteriak karena Kang Tarmin sudah melangkah keluar pasar.

“Isinya tuak Bib, pesanan pelanggan”, jawab Kang Tarmin sambil berlalu. Membuat Habib Muhsin terheran-heran, apakah Kang Tarmin seorang penjual tuak.

Selesai mengantar tuak-tuak kepada para pelanggan, Kang Tarmin bergegas pulang karena harus menurunkan bambu-bambu yang dipasang untuk menyadap nira.

Kang Tarmin langsung menuju tempat sadapan. Dengan hati-hati Kang Tarmin menurunkan jerigen-jerigan yang digunakan untuk menampung nira dari pohon aren.

Usai jerigen-jerigen terkumpul dibawah, Kang Tarmin mengangkut menggunakan sepeda butut yang setia menemaninya.

Sesampainya di rumah Kang Tarmin kemudian menuangkan cairan nira itu ke wadah plastik yang kemudian ditutup dan dibiarkan beberapa hari untuk proses fermentasi.

Setelah empat hari sampai seminggu proses fermentasi, tuak Kang Tarmin akan dituang ke dalam botol-botol yang kemudian diantar kepada para pemesan. Hasil fermentasi tuak Kang Tarmin inilah yang terkenal mempunyai khasiat luar biasa memabukan jika diminum dengan dosis tinggi.

Para Ledek tayub akan menari kesetanan tidak mengenal lelah, bahkan akan sedikit nakal jika mendapat saweran dari para laki-laki yang turun gelanggang untuk ikut menari.

Tuak Kang Tarmin merupakan produk andalan kampung yang dikenal dengan sebutan ‘Kampung Tayub’. Karena kondang dengan grup tayub dan ledek yang cantik-cantik, ditambah tuak Kang Tarmin yang sangat melegenda.

“Min, apakah Ahmad sudah kamu belikan Qur;an”, teguran Mbah Nadi sedikit mengagetkan Tarmin yang sedang memproses tuak.

Dengan tergagap Tarmin menjawab, “Iya Mbah, nanti setelah selesai menuang nira saya akan menjemput Ahmad sekalian saya ajak kepasar untuk membeli Qur’an”, jawab Kang Tarmin.

“Bacaan Qur’an anakmu bagus lho Min, aku saja kalah fasih”, terang Mbah Nadi sambil melinting mbako kesukaannya.

Mendapatkan kata-kata dari Mbah Nadi yang sangat telak menohok ke ulu hatinya, Kang Tarmin terdiam. Namun dia segera sadar bahwa anaknya Ahmad berhasil mendapatkan bimbingan dari Mbah Nadi dengan sangat baik.

“Mungkin karena aku dulu diajar bacaan Qur’an dengan metode kuno, dan hafalan surat pendek tanpa membaca Min, hanya mendengar kemudian melafalkannya”, ungkap Mbah Nadi sambil mengenang saat dirinya belajar agama hanya otodidak, dan sesekali mendengarkan ceramah dari seorang kiai di kecamatan.

“Akibatnya ya  ilat Jowo, baca fatihah jadi patekah, alhamdulillah jadi alkamdulillah, ya qoyu ya qoyumu jadi ya kayu ya kayumu”, lanjut Mbah Nadi sambil terkekeh, sesekali mengebulkan asap rokoknya ke udara.

Sang itu, menjelang Dhuhur, sebelum menjemput Ahmad, Kang Tarmin menuju pasar dekat kecamatan untuk membeli Qur’an dari uang hasil kirim tuak-tuak tersebut. Sekalian membeli botol plastik kosong sebagai persiapan wadah tuak.

Sebenarnya ini bukan kebiasaan Kang Tarmin ke pasar terlebih dulu sebelum menjemput Ahmad. Karena biasanya, Ahmad selalu ikut bapaknya ke pasar, dan pulangnya akan minta dibelikan es cendol di warungnya Kang Wardi.

Kang Tarmin langsung menuju toko bukunya Habib Muhsin. “Bib, Qur’an yang harga 65 ribu tadi apa ndak bisa kurang. Buat hafalan anaku di madrasah Bib”, kata Kang Tarmin

“Lha ente mau beli berapa biji kang?’, tanya Habib Muhsin.

“Beli satu saja Bib, buat anaku. Aku ndak bisa baca Quran”, jawab Kang Tarmin.

Yo wes, tak kurangi 5 ribu wae ya, sana wudhu dulu sebelah situ ada kran”, Habib Muhsin menyuruh Kang Tarmin wudhu terlebih dahulu. Namun Kang Tarmin malah semakin bingung.

“Bib saya kok disuruh wudhu kenapa, kan saya bukan hendak sholat?”, tanya Kang Tarmin.

“Afdolnya pegang Qur’an itu yang punya wudhu Kang. Lha wong wudhu juga ndak berat kok.”, jawab Bib Muhsin yang kemudian dituruti Kang Tarmin.

Kebetulan waktu masuk sholat Dhuhur, tiba-tiba Kang Tarmin tergugah hatinya untuk sholat terlebih dahulu. Kemudian Kang Tarmin sholat di langgar dekat pasar.

Kang Tarmin bergegas membayar Qur’an di toko Habib Muhsin dan segera menjemput Ahmad yang kemungkinan sudah menunggu lama karena sudah lewat Dhuhur. Kemudian sepeda dikayuh Kang Tarmin dengan kecepatan tinggi.

Naas bagi Kang Tarmin, saat pertigaan dekat sekolah Ahmad, tiba-tiba truk bermuatan tebu melaju cukup kencang, dan “Brakkk!!!”, suara benturan sangat keras terdengar dari tabrakan truk melawan sepeda ontel.

Kang Tarmin terpental cukup jauh, sedangkan sepeda Kang Tarmin seperti kertas yang dilipat akibat tergilas truk pengangkut tebu. Kang Tarmin tidak sadarkan diri, kepalanya bocor darah segar mengalir di mana-mana.

Sambil tetap mendekap Qur’an, Kang Tarmin, memanggil nama anaknya, Ahmad…Ahmad…Ahmad…Ahmad…Innalillahi wainna ilaihi rajiun, akhirnya Kang Tarmin memejamkan mata dan menghembuskan nafas terakhir.

Jepara, 13 Juli 2024