LAKON Petruk Dadi Dukun dipentaskan dalam pagelaran wayang kulit semalam suntuk, untuk memeriahkan puncak even wisata budaya Gerebeg Jatisrono, Kabupaten Wonogiri. Bersamaan itu, juga dirangkai dengan prosesi kirab apem 1030 (sepuluh tiga puluh) dalam usungan tiga gunungan, dengan jumlah sebanyak 3.330 biji apem conthong.
Petruk, adalah salah seorang punakawan dalam pewayangan Jawa di Nusantara. Ia putra kedua Semar Badranaya di Karang Kandempel, menjadi adik dari Gareng dan sebagai kakaknya Bagong (Bawor di Banyumas).
Petruk yang sering dijuluki sebagai Ro Nggung Jiwan (loro nanggung siji kedawan) ini, memiliki pusaka andalan berupa pethel (kapak).
Sebagaimana lazimnya tokoh wayang lainnya, Petruk juga memiliki banyak nama (dasanama). Punakawan yang punya ciri khas pengucapannya selalu diawali kata: Wuahik, cokoholok condolo kuwuk watuk, ini biasa dipanggil sebagai Kantong Bolong, Udawala, Dawala, Dublajaya dan Pentung Pinanggul.
Lakon Petruk Dadi Dukun, dipentaskan oleh Dalang Ki Eko Sunarsono SSn. Kabid Kebudayaan Dinas Pendidikan Kebudayaan (Dikbud) Kabupaten Wonogiri.
Ki Eko, mendalang dengan melibatkan enam waranggana, diiringi para seniman Pangrawit dari Group Kawula Sehat, yang sebagian personelnya dari para Mahasiswa ISI Surakarta.
Sinopsis Lakon Petruk Dadi Dukun, berkisah tentang Petruk madeg (menjadi) Pandhita Kembang Sore. Selama menjadi Pandhita Kembang Sore, keberadaan Petruk di Karang Kedempel digantikan dengan Petruk jelmaan dari pusaka pethel-nya.
Karena disusupi Shang Hyang Wenang (Dewanya para Dewa), keberadaan Petruk sebagai Pandita menjadi kondang (masyhur), banyak raja yang berdatangan untuk nyuwita (berguru) terkait dengan niatnya untuk memperoleh Wahyu Kamulyan (kemuliaan). Para putra Pandawa pun ikut menjadi cantriknya.
Mengkritisi
Dalang Ki Eko Sunarsono, mampu menyajikan pagelaran Petruk Dadi Dukun sebagai tontonan yang menghibur dan tuntunan yang sarat makna. Termasuk menyampaikan aneka pesan dalam mengkritisi situasi dan kondisi terkini. Sebagai tontonan yang menghibur, ditampilkan aneka tembang yang disukai masyarakat.
Dalam adegan gecul, dilontarkan guyonan segar yang jenaka di episode Limbukan dan adegan Gara-gara Punakawan. Sebagai tuntunan, dimunculkan pesan fisolofis kaya makna.
Bahwa untuk meraih kemuliaan hidup (sinergi dengan pesan inti lakon Wahyu Kamulyan), jangan pernah menyepelekan (mengartikecilkan) peran wong cilik (yang dipersonifikasi dalam tokoh Petruk sebagai Panakawan).
Kemudian pesan filosofis pada prosesi kirab apem, lebih menekankan bahwa manusia wajib memahami tentang ilmu Kasampurnan Hidup, yakni Sangkan Paraning Dumadi. Memahami dari mana berasal, dan demi kesempurnaan kelak akan kembali ke mana.
Diipilihnya malam Jumat Legi (Sukra Manis) untuk menggelar puncak Gerebeg Jatisrono, ini berkait erat dengan hari sakral Raja Mataram Islam Sultan Agung Hanyakrakusuma. Yang memilih hari Jumat Legi untuk menyatukan kalender Saka dengan kalander Hijrah. Sebagai upaya menyatukan Jawa dengan Islam.
Pada Tahun Je 1958 atau Tahun 1446 H/2024 Masehi ini, even wisata budaya Gerebeg Jatisrono itu sudah digelar untuk ke-12 kalinya. Kali ini, mengambil tema ”Wonogiri Bedhah Potensi.”
Menyertakan final festival tari Kethek Ogleng tingkat SD dan SLP, dimeriahkan pentas Reog dan bazar yang menyajikan beragam produk unggulan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM).
Namanya, semula sebagai Gerebeg Keduwang, tapi karena bertempat di Desa Gunungsari, Kecamatan Jatisrono, Kabupaten Wonogiri, kemudian lebih populer disebut Gerebeg Jatisrono.
Bambang Pur