blank
Buyut Siti Munawaroh, salah satu perajin perempuan tertua di Jepara. Foto: Hadepe

JEPARA (SUARABARU.ID) – Siti Munawaroh (62),  perempuan tangguh yang setia menjaga warisan budaya leluhurnya ini mengaku akan mengukir hingga akhir hayatnya. Sebab bagi ibu 3 anak  yang telah memiliki delapan cucu dan  satu buyut ini,  mengukir  yang telah dijalani mulai kelas 5 Madrasah Ibtidaiyah, adalah panggilan jiwanya.

Walaupun ia menolak menyebutkan jumlah penghasilnya setiap hari, Buyut Siti Munawaroh mengaku sangat terbantu dengan upah yang didapatkannya. Kini mengukir bukan  saja menjadi sandaran hidupnya, tetapi juga untuk melupakan kesedihan setelah suami yang sangat dicintainya dipanggil Allah secara mendadak empat bulan yang lalu.

blank
Siti Munawaroh perajin perempuan yang ingin terus mengukir hingga akhir hayatnya. Foto: Hadepe

Buyut Siti Munawaroh dan suaminya, Ashadi seorang tukang kayu  yang tinggal di RT 18 RW 04 Desa Petekeyan Tahunan memang dikenal sebagai pasangan suami istri yang rukun. “Kemanapun mereka selalu bersama,” ujar H. Maslim seorang tokoh masyarakat yang  mengantarkan SUARABARU.ID menemui Siti Munawaroh.

Dari  pernikahannya mereka  dikaruniai tiga orang anak, semuanya perempuan yaitu  Nur Faizah, Narsaim dan Titik Muyanfau. Ketiganya juga  bisa mengukir, walaupun kini telah meninggalkan pahat dan palunya.

Semula Buyut Siti Munawaroh belajar mengukir dari tetangganya yang bernama  Pak Khamdi  dari Desa Ngrau. “Saya belajar mengukir sejak kelas 5 MI. Setelah pulang sekolah saya belajar mengukir dan setelah bisa dan lulus sekolah  kemudian bekerja sebagai tukang ukir di desanya.,” ujarnya saat ditemui SUARABARU.ID dikediamannya.

Setelah menikah ia kemudian mengikuti suaminya yang bekerja sebagai tukang kayu dan tinggal di Desa Petekeyan. Pekerjaan  sebagai buruh mengukir dijalani kembali disela-sela kesibukannya menjadi seorang ibu yang harus merawat ketiga putrinya. Dari upah mengukir ia mengaku  dapat membantu suaminya untuk mencukupi kebutuhan keluarganya.

Kini di usia yang tergolong tua, Siti Munawaroh tak ingin berhenti mengukir. Ia ingin terus berkarya hingga takdir menjemputnya kelak. Apalagi kini mengukir adalah tempat satu-satunya  ia menyandarkan hidupnya. Juga untuk menjaga kesehatan batin dan raganya.

Hadepe