Peranti itu pun kemudian di bawa ke depan cermin, dan lirik tembang mantra terus dinyanyikan
Turun-turun widadari temurun
Nemu kembang neng ayunan
Kembange si Jaya Endra
Kamijara kopi rayon
Manjinge Nini Riwuk….
Dari cermin lalu pindah ke niru berisi sayuran, goyangnya mengikuti irama lagu. Ketika tembang berirama cepat, goyangan pun makin cepat, begitu pula Ketika lagu melembut.
Saat permainan berlangsung, penonton pun boleh memegang bakul berbalut kain hitam itu, untuk merasakan sensasinya. Demikian halnya Ketika suarabaru.id turut mencobanya. Benar, benda itu bergerak sendiri, dan kita mengikutinya.
Memang gerakannya tidak ekstrem, tidak keras sekali. Tetapi setidaknya, bila kita mengikuti sekitar 10 menit saja, dipastikan tubuh akan berkeringat. Apalagi, pagi itu di kawasan Menara Teratai Purwokerto, matahari sudah terasa pancaran panasnya.
Secara bergantian ada orang lain yang ingin mencoba, dan dipersilakan oleh dalang, untuk merasakan sensasinya. Permainan memang berlangsung cukup lama.
Memang ada yang mencemaskan, jangan-jangan, setelah permainan ini kemudian turun hujan, mengingat pakeong adalah ritual memohon turunnya hujan.
Bersyukurlah, sampai siang penutupan acara, hujan tidak turun. Ya, memang seni pakeong ini ditampilkan untuk mengisi acara Semarak Kata Kreatif yang diselenggarakan Dinas Kepemudaan Olahraga dan Pariwisata Jateng. Sekadar ditampilkan sebagai atraksi, bukan benar-benar untuk memohon turunnya hujan.
Lirik mantra terus berkumandang:
Sapa sing ngemban-embang ku
Aku kiye sing guling-guling kembang
Sagodrang-godrang luar
Salatar-latar luluh-luluh lunthang
Ndhul anthek anu landhung ndhung
Segondrang-gondrang ndhung
Begitu terus tembang mantra mengalun, bakul berbalut kain hitam terus bergoyang dalam pegangan beberapa lelaki berbusana hitam, terus bergoyang-terus bergoyang, hingga lagu mengalun pelan…. Pelan…. Pelan, dan berhenti.
Permainan pun usai. Inilah kekayaan budaya tradisi kita, yang bila tidak terpelihara, pasti akan musna tergantikan tradisi asing yang terus menggerogoti kita, dan tradisi budaya kita makin terdesak dan mungkin hilang tertelan zaman.
R. Widiyartono