Foto: www.dmarge.com

Oleh: Amir Machmud NS

// pada akhirnya adalah masa/ dia tak punya kuasa/ memainkan atau membelokkan/ dia hanya manusia/ dan, waktu akan menegaskan/ dia memang hanya manusia…//
(Sajak “Ronaldo”, Juli 2024)

KIPRAH Cristiano Ronaldo bersama tim nasional Portugal di Euro 2024 adalah pesan nyata tentang batas dan keterbatasan manusia; siapa pun, dan sehebat apa pun.

Ah, dalam ungkapan kanvas yang lain, Lionel Andres Messi juga tak kuasa melewati keterbatasan itu, bukan?

Di Copa America, eksekusi penalti “panenka”-nya menghantam mistar. Untung, kecekatan kiper Emiliano Martinez yang menahan dua tendangan pemain Ekuador tetap meloloskan Argentia ke perempatfinal.

Ronaldo tak selamanya bisa membuktikan bisa terus beredar di level atas. Tak lagi konsisten menunjukkan kemampuan seni luar biasa mencetak gol. Tak pula bisa memperlihatkan melebihi siapa pun dalam menuntaskan setiap peluang dan memengaruhi permainan.

Selalu ada batas, selalu ada garis, dan selalu ada saat-saat yang memaksa manusia kembali “menginjak bumi”. Kata penyair (alm) Sapardi Djoko Damono dalam sebuah puisinya yang sangat kontemplatif, “yang fana adalah waktu, bukan?/ dan kita abadi…”

Dan, adakah ketidakseimbangan antara luap kehendak dengan realitas dari diri Ronaldo di Euro 2024 menjadi tanda-tanda?

Dia sudah mengalami penyurutan nyata keeksepsionalan sebagai pemain sepak bola. Dia mulai menjauhi masa-masa kemampuan bersaing: sebagai satu di antara dua manusia di dunia — di samping Lionel Messi — yang mampu membukukan lima kali trofi Ballon d’Or sebagai simbol pesepakbola terbaik sejagat. Messi malah melewati lebih jauh dengan delapan kali merengkuh trofi itu.

Dan, Messi pun mengalami situasi yang sama. Dia tak lagi superior, meskipun persoalan cedera lebih dominan mengungkungnya.

Manusia Langka
Ya. Semua ada waktunya. Kata orang bijak, “tak ada pesta yang tidak berakhir”.

Yang fana itu waktu, kata Sapardi. Dan, Cristiano Ronaldo berada di batas itu, yang kerja keras dan tangis apa pun, takkan menolongnya. Tak ada keabadian, kecuali bagi Yang Maha.

Usianya sudah 39. Dia berbeda dari 10 tahun silam ketika masih bisa melawan umur dengan konsistensi spartanitas latihan fisik. CR7 memang berbeda dalam melawan faktor-faktor alamiah, dan bagaimanapun dia telah membuktikan lebih dari pemain lainnya.

Bukankah hanya sedikit pemain yang mampu bertahan menyiasati usia? Selain Ronaldo, tercatat Zlatan Ibrahimovic, Leo Messi, Paolo Maldini, Francesco Totti, dan legenda Belgia Wilfried van Moer.

Pelatih Portugal, Roberto Martinez menghadapi berbagai kritik ketika tetap memainkan Ronaldo dalam starting eleven-nya. Legenda Blackburn Rovers, Chris Sutton menyatakan tidak paham mengapa Martinez tetap mengutamakannya, padahal CR7 sekarang justru menjadi faktor melemahkan ketimbang sebagai pembeda.

Sutton yang di masa jayanya pernah membentuk duet maut bersama Alan Shearer, menyoroti kegagalan Ronaldo dalam menuntaskan eksekusi penalti ke gawang Slovakia, lalu menangis menyesali.

Dia menggambarkan Ronaldo seperti anak kecil yang membawa mainan bola ke sebuah taman, kemudian ketika sudah merasa cukup, dia memasangkan pada jumpernya, dan pulang ke rumah sehingga tidak ada yang bisa bermain.

Air mata sesudah kegagalan penaltinya, kata Sutton, adalah bukti bahwa tekanan bisa menimpa pemain sehebat apa pun.

“Pada akhirnya, adu penalti menyelamatkan Ronaldo, yang mengatasi tensinya dengan mencetak gol penaltinya sendiri,” ujar Chris Sutton sebagaimana dikutip cnnindonesia.com dari daily mail.

Berbeda Soal
Persoalan membawa Ronaldo sebagai starting eleven Selecao das Quinas sedikit berbeda dari kebutuhan pelatih Lionel Scaloni yang tetap menyertakan Leo Messi ke tim Copa Amerika 2024.

Turnamen mayor Amerika Latin ini bersamaan dengan Euro. Dan, semua tahu Messi lebih segar dua tahun ketimbang Ronaldo; dan pada 2022 tiga kali membantu Albiceleste meraih trofi Copa America, Finalissimo, dan puncaknya Piala Dunia. Dengan kontribusinya, La Pulga terpilih sebagai pemain terbaik turnamen di Qatar 2022. Hanya, di Copa 2024 ini dia tak lagi setrengginas di Qatar dua tahun silam.

Sedangkan Ronaldo, yang hingga perempat final Euro belum memperlihatkan diri sebagai pembeda, kini ditunggu pembuktiannya. Apakah status rekor sebagai pemain yang enam kali tampil di Euro akan memberinya catatan baru hingga turnamen ini selesai?

Pada satu sisi, Ronaldo memberi banyak referensi legendaris tentang manusia dan kiprahnya. Bagaimana dia berlatih keras untuk bisa mempertahankan level. Dan, pada sisi ini kita patut menaruh respek kepada dia sebagai teladan bagi mereka yang memilih menekuni profesi tertentu.

Pada sisi lain, CR7 dihadapkan pada kenyataan tetap sebagai seorang anak manusia dengan segala keterbatasannya. Sama halnya dengan yang dihadapi Lionel Messi…

Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah