Bupati Pacitan Indrata Nur Bayuaji (mengangkat tangan kedua dari kiri), saat menyambangi nelayan di Pantai Kali Uluh, Desa Klesem, Kecamatan Kebonagung, Kabupaten Pacitan, Jatim.(Dok.Prokopim Pacitan)

SUNAN KALIJAGA pernah sholat di Pantai Kali Uluh, Desa Klesem, Kecamatan Kebonagung, Kabupaten Pacitan, Jatim. Sayang, Batu Pesholatan Sunan Kalijaga, terpendam sedimentasi lumpur banjir yang terjadi pada Tahun 2017.

Warga minta kepada Bupati Pacitan Indrata Nur Bayuaji, untuk melakukan restorasi terhadap Batu Pesholatan yang menjadi situs sejarah tersebut. Permintaannya ini, disampaikan Rabu (26/6/24) bersamaan saat Bupati menyambangi masyarakat nelayan di Pantai Kali Uluh, Desa Klesem, Kecamatan Kebonagung, Kabupaten Pacitan.

Bagian Prokopim Pemkab Pacitan, mengabarkan, Mas Aji (panggilan akrab Bupati Pacitan), datang ke Pantai Kali Uluh untuk menyambangi nelayan yang tengah beraktivitas. Pada kesempatan tersebut, Bupati diajak melihat situs jejak peninggalan Sunan Kalijaga yang berlokasi tak jauh dari pantai.

Menurut legenda setempat, Sunan Kalijaga datang ke lokasi tersebut untuk menemui Sunan Geseng dan Mbah Brayut (Sunan Bayat) dalam rangka membuka lokasi nelayan. Tokoh penyebar Islam di Tanah Jawa ini, sempat melakukan sholat berjamaah di tepi Pantai Kali Uluh. Peninggalan mereka, kemudian dikenal sebagai Batu Pesholatan Kalijaga.

Sunan Kalijaga, merupakan Waliyullah yang tergabung dalam anggota Dewan Wali Sanga. Tokoh yang memiliki nama Raden Said ini, pada masa muda berjuluk Brandal Lokajaya. Ketika menjadi Wali, berperan penting dalam penyebaran agama Islam di Pulau Jawa. Selain menjadi tokoh ulama, Sunan Kalijaga juga menjadi seniman, budayawan dan arsitek yang ulung. Juga menjadi Penasehat Raja.

Sebagai Waliyullah, Sunan Kalijaga, dikenal sangat toleran pada budaya lokal. Dalam syiar menyebarkan Islam, menggunakan kesenian dan kebudayaan lokal sebagai sarana untuk berdakwah. Dia kreatif dan kaya akan ide dalam berdakwah. Salah satunya dengan media gamelan melalui seni karawitan dan dengan pedalangan wayang kulit.

Bung Karno

Kesenian wayang kulit, awalnya berisi kisah-kisah Hindu, yang oleh Sunan Kalijaga kemudian diganti menjadi kisah-kisah yang berisikan ajaran Islam. Salah satu contohnya, yaitu Jamus Kalimasada, sebagaimana dijelaskan Siti Wahidoh dalam Buku Intisari Sejarah Kebudayaan Islam.

Ketika hendak mengadakan pagelaran wayang, Sunan Kalijaga memberi wejangan atau nasihat ke-Islaman kepada para penonton. Bersamaan itu, mereka diajak mengucap dua kalimat syahadat. Dengan demikian, mereka telah menyatakan diri masuk Islam, lambat laun belajar mengenai ibadah-ibadah Islam.

Selain terkenal dengan keindahan dan panorama pantainya, Kali Uluh juga memiliki sisi sejarah penting bagi perjalanan spiritual Bung Karno. Sebab, Presiden Pertama RI tersebut, pernah singgah untuk bersemedi. Tepatnya di Punden Kali Uluh. Desa Klesem Kecamatan Kebonagung, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Itu dilakukan Bung Karno, sebelum memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia.

Menurut para sesepuh Desa Klesem, saat melakukan laku spiritual itu, Bung Karno mengenalkan dirinya bernama Dullah atau Abdullah. Hal itu dilakukan oleh Tokoh Proklamator, karena tidak ingin jati dirinya diketahui banyak orang, saat melakukan tirakat dalam menjalani laku spiritualnya.

Lokasi Punden tempat Bung Karno berdoa dalam menjalani laku semedi, berada tidak jauh dari petilasan pesholatan Kanjeng Sunan Kalijaga. Di lokasi tersebut, juga terdapat sumber air yang dulu dipakai untuk wudlu.

Para sesepuh juga menceriterakan, pada Tahun 1950-an datang seorang tokoh perempuan dari Keraton Yogyakarta, Ndoro Den Ayu, melakukan semedi di Klesem. Pada saat menjalani laku spiritualnya, pertapa perempuan ini sempat mencari kerang di pesisir pantai Kali Uluh dengan membawa rumput di tangannya. Setelah mendapatkan kerang, setangkai rumput itu kemudian diberikan kepada salah satu warga. Eloknya, saat disimpan di rumah berubah menjadi emas.
Bambang Pur