Diksi gotong royong tidak cuma milik orang kampung, udik dan konvensional. Budaya maupun simbol-simbol gotong royong produktif layak dikemas secantik mungkin agar masyarakat selalu mengingat, meniru dan menginternalisasi diri dan mengimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara tanpa reserve.

Gaya hidup masyarakat kota yang menganut prinsip first, fast dan fresh mendorong mereka berlomba-lomba mengerakkan nilai gotong royong ke dalam komunitas maupun masyarakat akar rumput (grass roots). Lihat saja para selebriti berlelah-lelah menggagas dan melakukan konser musik secara kolosal, pameran lukisan, penjualan buku, CD rekaman yang muaranya hanya satu kata : Gotong royong, untuk membantu masyarakat keluar dari balutan kesulitan hidupnya (misalnya lansia miskin, disabilitas ytim piatu, dan seterusnya).

Pada aras perkotaan, hal-hal seperti itu seolah sudah menjadi gaya hidup dan nampaknya mulai diamini oleh masyarakat kota yang sudah tidak kurus hatinya lagi. Mereka menyisihkan penghasilannya untuk jalan kemanusiaan melalui gotong royong secara donasi. Ada pencerahan di hati mereka dengan membantu atau gotong royong bagi masyarakat pheri-peri.

Kita seharusnya wajib berterima kasih kepada masyarakat (baca desa) yang telah mengajarkan kapital sosial, tanggungjawab sosial yang dibangun melalui sekolah hidup yang bernama budaya gotong royong.

Inilah penjelmaan partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan. Lewat gotong royong, kita bisa mendengar, melihat dan mengalami bagaimana susahnya bertahan hidup dalam ketidakberuntungan.

Namun, kadang beberapa pihak, gotong royong masih dilihat dalam kerangka mencari legitimasi dan pembenaran, padahal yang lebih penting adalah melihatnya sebagai alat pendobrak mentalitet feodal dan kolonial, sehingga terjadi pemberdayaan masyarakat warga untuk membangun dirinya sendiri dan lingkungannya.

Rasa Baru

Rupanya tradisi gotong royong belum cukup ampuh untuk membuat masyarakat ikut bergerak menjaga dan menghidupkan kembali sifat, sikap dan semangat itu. Seremoni gotong royong hanya sampul dari nilai-nilai spirit  leluhur yang menjadi substansi dari tradisi. Problema utama kita adalah memikirkan dan membentuk kembali sekaligus meng-update nilai-nilai dasar masa silam itu ke dunia masyarakat sekarang.

Kita tidak perlu malu menghadirkan budaya yang acap diberi label ndeso ke tengah modernitas dan globalisasi. Lihat saja film, sinetron, komik dan dunia sastra justru getol mengangkat tema-tema bernuansa kearifan lokal (gotong royong), bahkan urusan perut dalam warung ndeso banyak yang dimigrasi ke hiruk pikuk masyarakat kota. Koalisi politik pun juga dibangun atas ruh gotong royong.

Suasana penuh kebersamaan lewat gotong royong menjadi sesuatu yang kita rindukan namun bukan dalam pengertian sebatas romantic-nostalgic. Aksi-aksi nyata lebih berharga daripada retorika. Artinya gotong royong menjadi mukjizat mengatasi kompleksitas persoalan. Karena melaluinya, kita beroleh didikan khidmat soal tenggangrasa dan humanitas universal yang semakin tebal.

Menjadi tugas bersama kita bagaimana mengemas brand image gotong royong yang jauh dari label “uang rokok,” “milik orang desa,” “pekerjaan pengangguran,” “instan,” “rekayasa”  dan sebagainya. Semua itu butuh kerja keras, karena itu jangan sampai branding tersebut jatuh, blunder dan ditinggalkan masyarakat.

Dalam dunia perpolitikan, beberapa caleg harus kehilangan “suara,” setelah image caleg (calon legislative) maupun parpol memburuk akibat korupsi yang dipraktikannya. Berakhir kecewa. Dan lebih kecewa dari Gendari, yang seratus anaknya, buta hati dan jiwanya.

Akhirnya, dalam rangka menyukseskan Pilkada 2024 kita motivasi, dorong, gerakkan, dan kita berikan awaraness untuk menjadikan budaya gotong royong sebagai character and nation building bangsa. Tanpa komando mobilisasi, gotong royong harus tumbuh mengakar, hidup dan berevolusi dalam masyarakat.

Sekolah hidup yang bernama gotong royong, menjadi mesin pengerak kemajuan, keberdayaan, kebangkitan pemerintah, stakeholders dan civil society sekaligus mengasah kepekaan sosial untuk kemanusiaan.

Marjono, penulis lepas tinggal di Slawi