BATANG (SUARABARU.ID) – Semerbak harum bunga tujuh rupa, beserta juwadah pasar melingkupi area salah satu los di Pasar Batang. Dengan penuh ketelatenan tangan renta Mbah Tumari itu mulai sejumput demi sejumput menata kembang setaman lengkap dengan juwadah pasar sebagai ubo rampe dalam sebuah upacara adat Jawa, sesuai pesanan pembeli.
Ya, puluhan tahun sudah Mbah Tumari bergelut dengan kesibukannya itu. Bukan hanya demi sesuap nasi, namun alasan terbesarnya menekuni profesi itu, karena ingin melestarikan tradisi leluhur sebagai pedagang kembang sesaji.
Tak hanya kembang tujuh rupa yang sering dipesan, namun juwadah pasar seperti kembang telon, kinang, kupat (ketupat), lepet, tak lupa ragam pisang seperti klutuk, raja, emas dan ampyang, adalah ubo rampe yang tidak boleh terlupakan sebagai syarat utama, apabila seseorang akan menggelar sebuah hajatan besar.
“Paling murah Rp 10 ribu sampai Rp 20 ribu, isinya pisang raja, klutuk, emas, ampyang, kinang, kupat sama rokok layar. Pernah juga melayani juwadah pasar termahal sampai Rp 200 ribu, semua ubo rampenya lengkap dan ukuran besar, untuk hajatan pengantin,” katanya, saat ditemui sambil menata ubo rampe ke atas daun pisang sesuai takaran di Pasar Batang, Kabupaten Batang, Jumat (31/5/2024).
Pekerjaan sebagai pedagang juwadah pasar atau kembang sesaji, tak hanya dilakoninya sendiri. Namun ada rekan sebayanya yang juga tetap melestarikan adat budaya, sekaligus memenuhi kebutuhan bagi warga yang menganggap penting juwadah pasar sebagai syarat setiap kali menggelar hajatan besar.
“Ya kalau tidak disyarati (diberi sesaji), wah mesti ada bala’ (kesulitan). Makanya biar acaranya lancar harus disyarati,” tuturnya.
Hal itu dibenarkan oleh Kunaenah, salah satu warga yang hampir setiap kali ada hajatan besar tak meninggalkan juwadah pasar beserta kembang tujuh rupa, sebagai ubo rampe wajib.
Ia mengaku telah dua kali membeli perlengkapan ubo rampe di los milik Mbah Tumari itu. “Ya ini sudah dua kali beli di sini, tahun kemarin buat hajatan sunatan anak, sekarang untuk pernikahan anak. Ini bisa habis sampai Rp 200 ribu untuk beli ubo rampe lengkap, yang mau ditaruh di tempat tertentu seperti kamar, waktu menggelar selamatan,” terangnya.
Ia meyakini jika syarat-syarat tidak terpenuhi, akan ada bala’ yang muncul. Tradisi itu akan terus disampaikan ke anak cucunya, agar selain tradisi leluhur tetap lestari, tujuan utamanya adalah supaya acara yang digelar tetap terlaksana dengan lancar sampai usai.
“Itulah serba serbi adat Jawa yang masih tetap dilestarikan di tengah modernisasi. Para pelestari itu, tetap meyakini bahwa salah satu upaya agar hajatan yang mereka gelar dapat berjalan lancar, tanpa halangan apapun,” ungkapnya.
Bagaimana pun juga, modernisasi dan tradisi akan tetap berjalan pada relnya masing-masing. Tanpa saling mengganggu.
Nur Muktiadi