Shin Tae-yong (kiri), memperhatikan Muhammad Ferarri (putih), dalam mengawal penyerang Guinea di laga playoff Olimpiade 2024, di Clairefontaine, Paris. Foto: dok/pssi

Oleh: Amir Machmud NS

// ke mana bola bergulir/ : pada semata-mata selimut takdirkah?/ atau dia selalu riang bergerak/ bersama semesta riak?/ atau dia menutup diri/ agar tak terbaca/ ke mana membawa nasib fana…//
(Sajak “Selimut Takdir Sepak Bola”, 2024)

TUAN-TUAN, benarkah bola nasib bergerak menggulir dalam rahasia selimut takdir?

Tak ada yang tahu. Tak ada yang secara presisi mampu sepenuhnya mengantisipasi. Tak pula ada yang tepat membingkai: peristiwa sepak bola bakal melahirkan kepastian yang seperti apa.

Apakah kegembiraan, kebahagiaan. Apakah kegetiran, luka, dan kepedihan…

Pun takkan ada yang tepat memastikan apakah dalam sepak bola bisa diterapkan teori politik Harold Laswell — siapa mendapatkan apa, kapan, dan dengan cara bagaimana?

Seni dalam rahasia sepak bola, bukankah ada di balik ketidakpastiannya? Prediksi, analisis, kalkulasi statistika, dan hipotesis hanya membantu, juga memperkuat sisi-sisi mediatika untuk merebut ruang viralitas dalam kemeruyakan budaya pop.

Pundit bola, ahli-ahli statistik, eksplorasi analis, dan eksploitasi media, pada akhirnya adalah sirkulasi ikhtiar untuk menggali dan menemukan eksepsionalitas apa pun yang berdenyut di sekeliling sepak bola.

Demikian pulakah sikap kita dalam merespons hasil playoff tiket terakhir Olimpiade Paris 2024 untuk cabang olahraga sepak bola, 9 Mei 2024 kemarin? Dan, kebetulan melibatkan tim nasional Indonesia?

Pastilah Anda sudah mencatat — mungkin dengan kesedihan mendalam, — Witan Sulaeman dkk kalah 0-1 dari Guinea dalam laga penentuan di Clairefontaine, Paris, sehingga gagal pulalah Indonesia meraih tiket Olimpiade.

Menyikapi Hasil
Sempatkah Anda mencermati Instagram timnas Indonesia yang menampilkan haru-biru kekecewaan pemain lewat wajah-wajah sembab dan tangis mengibakan?

Saya mencoba untuk melihat dari sejumlah sisi. Pertama, Rafael Struick cs bersedih karena gagal meraih jalan yang sudah di depan mata. Dari semifinal Piala Asia U23 melawan Uzbekistan, perebutan tempat ketiga versus Irak, dan terakhir playoff menghadapi Guinea. Timnas Garuda gagal mengulang historika Maulwi Saelan dkk yang tampil di Olimpiade Melbourne 1956.

Kedua, untuk kali kesekian, tim asuhan Shin Tae-yong merasa “terganggu” oleh kepemimpinan wasit. Dari sejak melawan tuan rumah Qatar di Piala AFC U23 (wasit Nasrullo Kabirov), ketika menghadapi Uzbekistan (Shen Yinhao dan wasit VAR Sivakorn u-Udom), dan laga versus Irak (Majed Al-Shamrani dan VAR Sivakorn).

Sejumlah kontroversi menguji “daya tahan mental” para pemain kita, yang menyiratkan keterpupusan sekian persen peluang menang karena keputusan yang dipersoalkan. Dan, dalam playoff melawan Guinea pun anak-anak Garuda merasa dirugikan oleh keputusan wasit Francois Letexier, antara lain ketika memberikan hukuman penalti atas pelanggaran Witan Sulaeman yang sebenarnya terjadi di luar kotak 12 pas.

Ketiga, impresi permainan Indonesia, apakah memang sudah mencapai peak-nya pada laga melawan Korea Selatan di perempatfinal? Berturut-turut, setelah kalah dari Qatar, Indonesia mencatat kemenangan lewat permainan mengesankan melawan Australia, Yordania, dan Korea Selatan.

Terlepas dari kontroversi wasit, determinasi anak-anak Indonesia menurun saat menghadapi Uzbekistan dan Irak. Ketika menuju Clairefontaine, kondisi fisik sudah terkuras di Piala Asia. Mental juga terpengaruh oleh catatan kontroversi wasit, sorotan netizens khususnya kepada Marselino Ferdinand, juga harapan lolos ke Olimpiade yang pasti menggelayut sebagai beban.

Keempat, coach Shin Tae-yong terganggu oleh ketidaklengkapan tim, terutama soliditas di lini belakang lantaran absennya kapten Rizky Ridho yang terkena akumulasi kartu, Justin Hubner yang tidak dilepas klubnya, Cerezo Osaka, dan Elkan Baggot yang secara personal tidak memberi kepastian datang walaupun klubnya, Bristol Rovers dan Ipwich Town sudah tidak terikat jadwal kompetisi.

Fondasi Kuat
Rangkaian perjalanan dari Piala Asia U23 ke playoff Olimpiade Paris ini patut kita lihat tidak hanya dari hasil-hasilnya, tetapi bagaimana performa tim yang bahkan disimpulkan oleh banyak analis sepak bola sebagai progres “naik kelas”.

Determinasi saat melawan Australia, Yordania, dan Korea Selatan menjadi “aset keberanian” dan konfidensi atas kemampuan diri. Artinya, kita berada dalam level yang setara apabila modal-modal yang ada kita kelola secara tepat.

Program perekrutan pemain berdarah Indonesia dan diaspora masih akan berjalan, namun pada sisi lain otoritas sepak bola kita mesti mengimbangi dengan peningkatan level kompetisi liga, yang idealnya memang menjadi sumber utama pemain nasional. Manajemen teknis dan nonteknis, penegakan hukum, serta pengembangan kekuatan magnet industrial menjadi bagian dari ikhtiar eksplorasi yang tak boleh berkurang intensitasnya.

Pastilah kita menangkap kemerebakan kondisi euforiatika di tengah penampilan Rizky Ridho dkk di Qatar 2024. Harapannya, gelombang dukungan dan kritik kepada sepak bola nasional tak boleh mengendur, walaupun Indonesia gagal meraih tiket ke Olimpiade.

Keberadaan STY yang terbukti memberi nyala kegairahan dan harapan, juga menaikkan standar timnas — termasuk dalam up grade peringkat FIFA — betul-betul kita manfaatkan untuk menguatkan pembangunan timnas di berbagai kelompok usia. Euforia yang berlangsung harus dirawat dengan penuh intensitas.

Tentulah tak pernah ada yang tahu takdir apa yang membentang di depan. Dan, yang terdekat untuk dinanti adalah babak kualifikasi Piala Dunia 2026.

Jadikan Olimpiade 2024 sebagai lembaran sejarah yang sudah berlalu. Kita tertakdirkan tersisih oleh Guinea. Rajutan harapan berikut kita sampirkan di pundak Asnawi Mangkualam dkk dalam tugas menghadapi Irak dan Filipina untuk menguak pintu nasib ke babak ketiga kualifikasi.

Nasib itu fana, tetapi manusia punya ikhtiar untuk memperjuangkan keberpihakan takdirnya…

Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah