Oleh : Hadi Priyanto
RMP Sosrokartono lahir di Mayong Jepara pada hari Rabu Pahing tanggal 17 Rabiul Awal 1297 atau dalam penanggalan Jawa 27 Mulud 1806, bertepatan dengan 10 April 1877 Masehi. Ia anak ketiga dari pasangan Raden Mas Samingun dan MA Ngasirah. Saat itu Raden Mas Samingun menjabat sebagai Wedono Mayong dan kemudian tanggal 29 Desember 1880 diangkat menjadi Bupati Jepara denggan gelar Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat.
Selepas menyelesaikan pendidikan di Hogere Burger School Semarang tahun 1897, Sosrokartono kemudian melanjutkan pendidikan ke Belanda dan berhasil lulus dari Universitas Leiden dengan gelar Doktorandus In de Oesterche Talen dan predikat summa cumlaude. Saat di Belanda ia juga turut membentuk Indische Vereeniging yang kemudian berubah menjadi gerakan politik saat Gunawan Mangunkusumo menjadi ketuanya.
Sosrokartono tercatat pernah bekerja sebagai wartawan The New York Herald, Juru Bicara Sekutu, Atase Kedutaan Perancis dan menjadi juru bahasa di Volken Bond atau Liga Bangsa-Bangsa di Genewa Swiss. Kedudukan ini diperoleh karena kakak kandung dan mentor RA Kartini ini menguasai 26 bahasa timur dan barat.
Namun setelah malang melintang di Eropa selama 28 tahun, Sosrokartono merasakan panggilan ibu pertiwi terlalu kuat. Ia meningalkan Belanda tahun 1925 sekaligus meninggalkan kemewahan yang telah ia dapat. Juga semua peluang yang bisa dimanfaatkan dengan kepandaiannya dan pengalaman kerja yang diperoleh.
Pertama-tama ia mengunjungi ibundanya, M.A. Ngasirah yang waktu itu tinggal di Salatiga, di rumah adik tercintanya, R.A. Kardinah Reksonegoro. Ditumpahkannya rasa kangen pada ibundanya tercinta yang telah ditinggal begitu lama. Dimohonlah restu ibu untuk memulai pengabdiannya, Ngawoelo marang Kawoelaning Goesti.
la kemudian mengunjungi makam leluhurnya di makam Sidomukti Kudus di mana ayah, kakek dan eyang buyutnya disemayamkan. Ia juga mengunjungi makam adik yang sangat dikasihi, R.A Kartini di makam Bulu, Rembang. Setelah itu ia berangkat ke arah Timur, ke daerah Mojowarno dan Jombang, ke tempat beberapa kyai yang telah dikenalnya.
Sosrokratono juga bertemu dengan Ki Ageng Soerjomentaram. Ia putra ke – 5 pasangan Sri Sultan Hamengku Buwono VII dengan Bendoro Raden Ayu Retnomandoyo dan bertemu dengan Semono Sastrohadidjoyo di Purworejo. Tokoh spiritual ini kemudian dikenal dengan nama Romo Heru Cokro Semono.
Para tokoh spiritual Jawa sepakat untuk melakukan laku spiritual untuk mengawal perjuangan dan cita-cita luhur pemuda pergerakan. Ia juga mengunjungi beberapa pesantren dan akhirnya menetap di Bandung.
Saat berada di Bandung Sosrokartono tinggal di hotel Trio di kampung Babadan dan beberapa saat dan kemudian pindah ke hotel Pasundan di kawasan Kebonsirih, Bandung. Tentu kehadiran Sosrokartono disambut hangat oleh para pemuda pergerakan yang ada di sana, termasuk dr. Cipto Mangunkusumo, Douwes Dekker dan Suwardi Surjaningrat yang telah mengenalnya saat mereka diasingkan ke Belanda tahun 1913. Juga Muhammad Hatta yang tahun 1921 belajar di Rotterdam Belanda. Bahkan menjadi anggota Indische Vereniging, organisasi yang didirikan para mahasiswa Hindia Belanda, salah satunya adalah Sosrokartono
Kepulangan Sosrokartono ke tanah air dan tinggal di Bandung tentu diketahui oleh pemerintah Hindia Belanda dan sekaligus dipandang sebagai ancaman. Sebab semangat kebangsaan dan jiwa patriotisme Sosrokartono yang telah mulai disuarakan di Belanda dikawatirkan akan mengganggu kesetiaan rakyat pulau Jawa pada pemerintahan kolonialisme Apalagi di berbagai wilayah Hindia Belanda telah mulai muncul embrio pergerakan nasional yang dimoton oleh kelompok muda terpelajar
Sosrokartono memang begitu menarik perhatian pemerintah Belanda. Sebab ia seorang sarjana yang pintar dengan sederet jabatan yang pernah disandangnya mulai wartawan perang surat kabar New York Herald, juru bahasa tunggal blok Sekutu dan kemudian Atase pada Kedutaan Besar Perancis di Belanda hingga penterjemah utama di Volken Bond atau Liga Bangsa-Bangsa di Genewa Swiss.
Dalam dokumen bahasa Inggris dan Perancis yang masih tersimpan di Perpustakaan Genewa, Sosrokartono tercatat sebagai Ketua Juru Bahasa dalam segala bahasa atau Penterjemah Bahasa di lembaga yang menjadi embrio organisasi PBB, pada tahun 1919 – 1921
Oleh karena luasnya pengalaman itu, maka sangat beralasan pada waktu Sosrokartono kembali ke tanah air, pemerintah Hindia Belanda segera ingin mendekatinya. Berbagai jabatan yang dapat mengikatnya ditawarkan oleh pemerintah Hindia Belanda yaitu sebagai Bupati, Adviser to Inlandsche Zaken atau Penasehat urusan Bumiputera, direktur Museum Bataviaasch Genootschap van Kusten en Weteshappen di Betawi. Namun semua jabatan yang memikat itu ditolaknya dengan alasan ia ingin beristirahat setelah lebih 28 tahun ia berada di luar negeri.
Penolakan Sosrokartono atas tawaran yang diberikan oleh Pemerintah Hindia Belanda semakin menambah kecurigaan pemerintah Belanda terhadap gerakan yang dilakukan oleh Sosrokartono sebagai seorang nasionalis. Sebab saat berada di Belanda telah mengembangkan paham kebangsaan. Untuk itu semua kegiatan Sosrokartono sejak tinggal di Bandung tahun 1925 terus menerus diawasi dengan ketat oleh sebuah badan rahasia.
Saat-saat awal berada di Bandung, Sosrokartono pada malam hari sering berkunjung ke rumah tokoh-tokoh Budi Utomo Cabang Bandung seperti Soenodo, Soelarjo, Soerjadi dan Asmono Pringgodigdo. Mereka adalah sahabat-sahabat Sosrokartono. Ia sering berada di rumah tersebut hingga larut malam untuk membicarakan berbagai hal tentang masa depan bangsa.
Sosrokartono juga sering mengunjungi rumah Ny Abdul Rochim, ibunya Rahmiyati, istri Muhammad Hatta yang memang sering menerima para sarjana di rumahnya. Mereka mengundang secara khusus Sosrokartono sebab mereka semua ingin belajar bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya.
Sebagai guru bahasa dari para pemuda progresif ini dengan cepat Sosrokartono membangun jaringan. Apalagi kemudian dalam pertemuan materinya tidak hanya belajar bahasa, tetapi mereka juga mendiskusikan paham kebangsaan dan perlu dikembangkannya nasionalisme Indonesia.
Juga usaha untuk melepaskan diri dari penjajahan yang telah berabad-abad membelenggu bangsa Indonesia. Salah satu jalan yang mereka anggap tepat adalah membangun dan memperkuat jaringan para pemuda terdidik Bukan hanya di Bandung dan Batavia, tetapi dikota-kota lain seperti Yogyakarta dan Surabaya.
Semua kegiatan Sosrokartono sejak tinggal di Bandung tahun 1925 terus menerus diawasi dengan ketat oleh sebuah badan rahasia. Hasil pengamatan itu pada pada tahun 1927 dibuat laporan oleh Ch.O.r. d Plas, seorang pejabat Adviseur Inlandsche Zaken, tentang kegiatan Sosrokartono. Isi laporannya antara lain: Drs Sosrokartono pelopor gerakan Nasional Indonesia sehingga tidak boleh dipercaya oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Pada tahun 1927 oleh komisi istimewa yang terdiri dari Herwarden dan Tesopeus, Sosrokartono langsung dilaporkan kepada Ratu Wihelmina. Pokok laporan tersebut Sosrokartono adalah penganjur kampanye Swadesi yang berisi anjuran kepada masyarakat untuk tidak membeli barang yang dihasilkan oleh Belanda. Ini tentu sangat berbahaya bagi kelangsungan dan ketentraman pemerintah Hindia Belanda.
Sosrokartono sadar bahwa kehadirannya di Bandung menarik perhatian pemerintah Hindia Belanda. Karena itu ia sangat hati-hati melakukan gerakan politik. Ia memilih melakukan diskusi-diskusi dengan kalangan terbatas yang terdiri dari tokoh-tokoh pemuda pergerakan waktu itu. Ia tidak ingin kehadirannya justru akan menjadi penghalang bagi pemuda pergerakan dalam menyusun kekuatan.
Namun dia sadar, bahwa kepulangannya ke tanah air adalah untuk memenuhi panggilan Ibu Pertiwi. Karena in setelah berulang kali menolak tawaran pemerintah Hindia Belanda, pada tahun 1927, Sosrokartono justru menerima tawaran dari R.M. Soertiman, adik Ki Hajar Dewantoro sebagai Kepala Sekolah Nationale Middelbare School. Sekolah ini baru saja didirikan oleh Ki Hajar Dewantoro.
Sedangkan guru yang mengajar di sekolah ini antara lain Ir Sukarno, Dr Samsi, Mr Sunario, Soeswadi, Mr Usman Sastroamidjoyo dan Iskandar Kartomenggolo. Mereka adalah pemuda-pemuda pergerakan yang progresif dan aktif berjuang untuk kemerdekaan bangsanya. Mereka tidak hanya mengajar untuk mengasah kecerdasan para menanamkan semangat kebangsaan dan nasionalisme.
Saat memimpin sekolah ini, Sosrokartono dikenal sangat keras. la ingin para siswa di sekolah ini benar-benar menjadi anak yang pandai dan mencintai bangsa dan negerinya.
Namun Sosrokartono memilih meninggalkan Perguruan Nationale Middelbare School, karena dapat sekolah ini terus diawasi dan ditekan oleh pemerintah. la meninggalkan sekolah tersebut agar sekolah ini berkembang. Ia tidak ingin karena dirinya, sekolah ini ditutup seperti sekolah yang dikelola oleh Kaum Merah tahun 1920-an.
Sejak mengundurkan diri dari Taman Siswa, Sosrokartono tidak lagi muncul di depan umum dan tidak menulis di surat-surat kabar. Sejak saat itu ia melakukan laku tarak brata. Berhari-hari bahkan berbulan-bulan ia berpuasa, tanpa makan. Ia juga berjalan-jalan pada waktu malam ke tempat-tempat yang sepi dan wingit. Biasanya ia mengajak Oesman Sastroamidjoyo, S.H. Hal itu dilakukan Sosrokartono hingga tanggal 30 April 1930 saat ia membuka Dar Oes-Salam. Tujuannya untuk memberikan pertolongan pada orang- orang sakit yang membutuhkan.
Di tengah-tengah orang yang berobat, banyak pula pimpinan pergerakan nasional yang datang ke sana, termasuk Ir. Soekarno. Sikap Sosrokartono ini justru membuat pemerintah Hindia Belanda semakin curiga.. Untuk itu pemerintah Hindia Belanda menugaskan Mr. Dr. Ir. Kievet de Jonge, yang pernah menjadi teman kuliahnya di Universitas Leiden, untuk mengawasi gerakan Sosrokartono. Namun laporan Kiever de Jonge yang juga menjabat urusan umum di Volskraad ini tidak diketahui orang.
Aktif di Pergerakan
Setelah Ir. Soekarno menikah dengan Inggit Ganarsih dan menetap di jalan Ciateul No. 8 Bandung, rumah mereka sering menjadi tempat berkumpul para tokoh pemuda pergerakan diantaranya Ki Hajar Dewantara, Agus Salim, H.O.S. Cokroaminoto, K.H. Mas Mansur, dr Tjipto Mangunkusuma, Muhammad Hatta, Moh. Yamin, Tri Murti, Oto Iskandardinata, Dr. Sutomo, MH. Tamrin, Abdul Muis, Asmara Hadi, dan Drs. RMP Sosrokartono.
Mereka mulai membicarakan ide dan gagasan kemerdekaan bangsa Indonesia. Para pemuda pergerakan kemudian mulai dibicarakan rencana berdirinya Perserikatan Nasional Indonesia, gerakan Sumpah Pemuda, dan juga dasar dan bentuk negara jika merdeka.
Akhirnya mereka sepakat. Pada tanggal 4 Juli 1927, di Bandung mereka mendeklarasikan berdirinya Perserikatan Nasional Indonesia, dengan ketua dr Tjipto Mangunkusuma, Mr Sartono, Mr Iskak Tjokrohadisuryo, Mr. Budiarto, dan Mr. Sunaryo. Selain itu para pelajar yang bergabung di Algemeene Studie Club yang diketuai oleh Ir. Soekarno juga bergabung di perserikatan ini.
Mereka semakin intens mendiskusikan paham-paham kebangsaan hingga gerakan untuk merdeka semakin kuat. Setahun kemudian mereka sepakat untuk merubah perserikatan menjadi partai. Jadilah mereka mendirikan Partai Nasionalis Indonesia (PNI) dengan ketua Ir. Soekarno..
Pemerintah Hindia Belanda sudah lama mencium adanya gerakan yang dinilai sangat membahayakan kedudukan Pemerintah Hindia Belanda ini. Hasil pengamatan itu pada pada tahun 1927 dibuat laporan oleh Ch.O.r. d Plas, seorang pejabat Adviseur Inlandsche Zaken, tentang kegiatan Sosrokartono. Isi laporannya antara lain: Drs Sosrokartono pelopor gerakan Nasional Indonesia sehingga tidak boleh dipercaya oleh Pemerintah Hindia Belanda
Karena perkembangan Partai Nasional Indonesia semakin menguat, akhirnya dikeluarkan surat penangkapan terhadap tokoh-tokoh PNI pada tanggal 24 Desember 1929. Namun saat itu mereka sedang mengkonsolidasikan kekuatan di Yogyakarta. Karena itu penangkapan baru dapat dilakukan pada tanggal 29 Desember 1929. Mereka yang ditangkap adalah Ir. Soekarno, Gatot Mangkupraja, Supriyadinata dan Maskun Sumadireja. Mereka dimasukkan ke penjara Sukamiskin, Bandung.
Ketika tahun 1942 Jepang menduduki Indonesia, mereka juga ingin memanfaatkan pengaruh Sosrokartono untuk memikat hati rakyat. Pada bulan April 1942, datang seorang perwira Jepang di Dar Oes-Salam, untuk mengajak Sosrokartono ke wisma Villa Isola, guna membicarakan hal-hal penting tentang kemajuan bangsa Bumiputera. Namun ajakan perwira Jepang itu ditolaknya. Sikap ini tentu membuat pemerintah Jepang semakin curiga pada gerakan Sosrokartono yang memiliki pengaruh kuat bukan saja di Bandung tetapi juga kota lain.
Dari rangkaian peristiwa di itu nampak betapa peran besar Drs RMP Sosrokartono dalam pergerakan nasional, memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Walau pun ia tidak ikut mengangkat senjata, namun dari sikap dan perbuatannya nampak benar, bahwa Sosrokartono ikut memberi warna. Bukan saja di dalam ruang-ruang diskusi, tetapi juga mempersembahkan kekuatan spiritualnya untuk bangsa.
Menurut Taufiq Rahzen seorang pakar filsafat Jawa yang lahir di Sumbawa dan pernah tinggal di Bandung, pengaruh Sosrokartono dalam pergerakan kebangsaan Indonesia sangat luar biasa. Caranya dengan mempengaruhi pikiran tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia agar memiliki keberanian, tekad, semangat dan rasa persatuan untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsanya.
Penulis adalah Penulis Buku Drs RMP Sosrokartono Biografi dan Ajaran-ajarannya