JEPARA (SUARABARU.ID)- Dalam Amicus Curiae pada Perkara Nomor: 14/Pid.Sus/2024/PN Jpa atas nama Daniel Frits Maurits Tangkilisan yang telah dikirimkan kepada Majelis Hakim, Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) menyebut bahwa terdakwa adalah seorang Pembela HAM, khususnya Pejuang Lingkungan Hidup yang baik dan sehat. Karena itu tindakan Terdakwa dalam postingan di media sosialnya merupakan bentuk kepedulian untuk menyuarakan situasi HAM dan lingkungan hidup di Karimunjawa.
Dalam Amicus Curiae nya, Kontras juga menilai pasal yang didakwakan dan dituntut kepada Terdakwa tidak terpenuhi, baik unsur dalam pasal Pasal 45A ayat (2) Juncto Pasal 28 ayat (2) maupun unsur dalam pasal 27 ayat (3) UU Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.
Bahwa objek yang memberatkan Terdakwa ialah penggunaan istilah kiasan “masyarakat otak udang”. Namun, selama peradilan berlangsung dan berdasarkan pada surat tuntutan JPU, tidak diketahui secara jelas subjek korban yang merasa dihina maupun dicemarkan nama baiknya oleh Terdakwa.
Hal ini mengakibatkan salah satu unsur di dalam Pasal 27 ayat (3) tidak terpenuhi, sebagaimana yang telah dijelaskan pula di dalam SKB UU ITE yang menyebutkan bahwa korban pencemaran nama baik harus orang perorangan dengan identitas spesifik, bukan institusi, pejabat, maupun badan hukum. Di dalam SKB UU ITE ini juga dijelaskan bahwa komentar yang ditujukan untuk kepentingan umum, maka tidak dapat dipidana;
Bahwa tindakan JPU yang menginterpretasikan penggunaan kalimat kiasan dalam postingan Terdakwa sebagai sebuah bentuk ujaran kebencian dan penghinaan sehingga menjadi dasar perbuatan pidana yang mana menurut JPU telah Terdakwa langgar dan harus dipertanggungjawabkan secara pidana, selain secara nyata telah melanggar angka 3 huruf b SKB Nomor 229 Tahun 2021/ Nomor 154 Tahun 2021/ Nomor SKB/2/V1/2021 tentang Pedoman Implementasi Atas Pasal Tertentu Dalam UU ITE, juga melanggar prinsip dasar dalam hukum pidana yang disebut dengan lex scripta yang berarti hukum pidana harus tertulis, lex stricta yang berarti rumusan pidana harus dimaknai tegas tanpa ada analogi dan, lex certa yang berarti rumusan dalam delik pidana harus jelas;
Merujuk pada pasal 66 UU PPLH, Jaksa Agung telah membuat Pedoman Jaksa Agung Nomor 8 Tahun 2022 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana Di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun sayangnya, dalam perkara ini, JPU tidak mempertimbangkan hal-hal seperti yang diatur dalam Pedoman Jaksa Agung.
Hal tersebut terlihat dalam surat tuntutannya yang justru mengabaikan keterangan-keterangan para saksi dan sama sekali tidak mempertimbangkan serta melihat kontekstual Terdakwa sebagai seorang Pembela HAM, terkhususnya Pejuang Lingkungan Hidup yang baik dan sehat
Lebih lanjut Kontras menyebut, Mahkamah Agung juga telah menerbitkan pedoman menangani perkara yang berhubungan dengan lingkungan hidup termasuk SLAPP melalui Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup Pasal 77 Perma No. 1 Tahun 2023.
Dalam Perma ini menyatakan, dalam hal setelah memeriksa pokok perkara, Hakim menyimpulkan bahwa perbuatan yang didakwakan penuntut umum terbukti, tetapi terdakwa terbukti pula sebagai pejuang hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, hakim menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum”;
Menurut Kontras, terdakwa telah terbukti sebagai Pembela HAM, terkhususnya Pejuang Lingkungan Hidup sehingga sudah seharusnya komentar dari Terdakwa tidak dapat dianggap sebagai bentuk melawan hukum dan Terdakwa harus dibebaskan dari segala tuntutan yang mewujud pembungkaman.
Dalam rekomensinya yang disampaikan kepada majelis hakim, Kontras juga menyatakan berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman telah memberikan kewajiban pada hakim untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Karena itu dalam memeriksa dan memutus perkara hakim wajib menggali, mengikuti, dan melihat fakta, klasifikasi, dan prinsip-prinsip hukum terkait perkembangan implementasi peraturan dalam kasus yang berdampak langsung kepada masyarakat sehingga Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri Jepara yang memeriksa dan mengadili perkara terdakwa Daniel dapat menyatakan menerima dan mempertimbangkan Amicus Curiae ini secara keseluruhan.
Disamping itu hakim direkomendasikan untuk menolak Dakwaan dan/atau Tuntutan Jaksa Penuntut Umum secara keseluruhan; menyatakan Terdakwa Daniel Frits Maurits Tangkilisan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan; serta membebaskan Terdakwa Daniel Frits Maurits Tangkilisan dari seluruh dakwaan (vrijspraak) atau melepaskan Terdakwa dari segala tuntutan hukum (onstlag van alle rechtsvervolging).
Hadepe