Oleh: Amir Machmud NS
// semua berlomba/ mencari dan menemukan sang pencerah/ hari ini mencercah harapan/ esok bisa meluncur ke keterpurukan/ semua berpacu merajut terang cahaya//
(Sajak “Sang Peracik Taktik”, 2024)
BEGITULAH manajemen klub-klub sepak bola berburu peracik taktik. Sebegitu rumitkah mendapatkan pelatih yang awet dan dipercaya mendampingi pemain?
Lebih gampang memvonis kegagalan seorang pelatih hanya dari performa yang tak menjanjikan di sejumlah laga, lalu memastikan memecatnya; lalu terburu-buru mencari penggantinya, lalu tak jarang sebegitu cepat harus berburu lagi…
Tak sedikit manajemen klub yang tidak matang berpikir tentang risiko spekulasi. Sepintas tampak cocok dari kalkulasi reputasi dan harapan, atau diperkirakan sebagai figur tepat pengganti; namun bukankah sejatinya pelatih dihadapkan pada dua hamparan?
Ya, antara cocok dan kemelesetan, antara ekspektasi dan realitas, antara chemistry dan telepati hati yang sulit bertaut. Apalagi ketika sudah terkait dengan keyakinan filosofi.
Hari-hari ini, setidak-tidaknya empat klub besar berancang-ancang ganti nakhoda. Bayern Muenchen diperkirakan mengakhiri kontrak Thomas Tuchel yang belum lama menggantikan Julien Nagelsman, Manchester United mencari pembanding untuk Eric Ten Hag, sementara dua klub lain sudah pasti ditinggalkan pelatihnya: Liverpool bakal kehilangan Juergen Klopp, Barcelona harus rela melepas Xavi Hernandez. Padahal, dua klub tersebut sebenarnya “baik-baik saja”.
Pada saat yang sama, mengapung nama-nama calon yang digadang-gadang sejumlah klub. Xabi Alonso yang menukangi Bayer Leverkusen dengan rekor kinclong dari 33 laga, berada di rating tertinggi. Selain Bayern, Alonso diincar Liverpool dan Barcelona. Bahkan Mikael Arteta yang sedang dalam fase impresif bersama Arsenal juga masuk dalam radar idaman.
Terdapat pula Roberto de Zerbi yang memoncerkan Brighton and Hove Albion, lalu si genius Zinedine Zidane yang sedang tak bekerja di klub mana pun. Hansi Flick, Antonio Conte, Jose Mourinho, Stevan Gerrard dan Ole Gunnar Solskjaer juga masuk di bursa incaran.
Faktor “Kecocokan”
Dalam khazanah manajemen kepelatihan, faktor “kecocokan” berandil besar untuk sebuah kisah sukses. Faktor ini bisa dibentuk oleh banyak hal. Kekuatan pendekatan kepemimpinan, karisma, kreativitas taktik, ketepatan rekrutmen pemain, serta pengenalan sejarah dan filosofi klub.
Visi penerapan taktik jelas membutuhkan supporting materi pemain. Dia butuh pemain bertipe apa dalam penerjemahan skema taktiknya? Karakter yang seperti apa? Tentu ini juga terkait dengan keyakinan filosofis ketika pelatih mengusung visi tertentu.
Sir Alex Ferguson, Arsene Wenger, dan Pep Guardiola adalah sebagian pelatih yang mendapat kemewahan dari sisi kepercayaan waktu untuk menerjemahkan “ideologi” sepak bolanya. Bandingkan dengan rata-rata pelatih yang begitu mudah diberhentikan karena hasil-hasil kurang memuaskan.
Padahal, bukankah waktu pula yang akan membantu menentukan untuk menemukan stabilitas sentuhan sang pengubah keadaan?
Liverpool sukses bangkit setelah menemukan Juergen Klopp sebagai “sang pencerah”. Barcelona sebenarnya juga mulai establish di tangan Xavi Hernandez setelah sempat terpuruk di bawah Ronald Koeman. Akan tetapi, masalahnya, yang menghendaki mundur justru kedua pelatih itu sendiri.
Bayern Muenchen-lah yang rupanya terongrong oleh pasang naik Bayer Leverkusen. Apakah faktornya hanya ada pada Thomas Tuchel dan Xabi Alonso? Atau ini sesungguhnya gambaran rivalitas antara jiwa status quo dan spirit challenger?
Hari-hari menuju ke penobatan peracik skema di sejumlah klub menjadi semacam keputusan penghakiman yang mendebarkan, sekaligus penuh spekulasi harapan. Siapa yang meneruskan Klopp di Anfield? Siapa pengganti Xavi di Camp Nou? Siapa yang mendampingi FC Hollywood di Muenchen? Apakah Ten Hag bakal mengamankan waktu di Old Trafford?
Spekulasinya: akan adakah “kecocokan”, tautan telepati, dan chemistry yang tertakdirkan?
— Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah —