blank
Di Bulan Ruwah, banyak masyarakat Jawa yang melakukan tradisi adat Ruwahan atau Nyadran. Yakni nyekar ke makam untuk mendoakan para leluhurnya.(SB/Bambang Pur)

WONOGIRI (SUARABARU.ID) – Terhitung sejak Hari Minggu (11/2) yang lalu, sudah memasuki Bulan (Sasi) Ruwah (Sya’ban), dan ini akan berlangsung sampai dengan Hari Minggu (10/3) mendatang. Bagi masyarakat Jawa, Ruwah dimaknai sebagai bulan untuk Meruhi (memaknai) RUh arWAH.

Karena itu, setiap datang Bulan Ruwah, banyak orang Jawa yang melakukan ritual nyekar atau nyadran ke makam para leluhurnya. Ini disebut sebagai budaya tata adat tradisi Ruwahan, untuk melakukan ritual pemanjatan doa, guna memohonkan ampun para leluhur yang telah meninggal dunia.

Dalam Buku ‘Bauwarna Adat Tata Cara Jawa’ karya Drs R Harmanto Bratasiswara, terbitan Yayasan Surya Sumirat Jakarta-2000, disebutkan, tradisi Ruwahan di Bulan Sya’ban, merupakan upacara penghormatan kepada para arwah leluhur atau keluarga yang sudah berpulang.

Budayawan Jawa penerima Anugerah Bintang Budaya, Kanjeng Raden Arya (KRA) Pranoto Adiningrat, menyatakan, berdasarkan kepercayaan Kejawen, puncak ritual Ruwahan lazim dilakukan sejak Tanggal 15 sampai dengan akhir Bulan Ruwah. Selama rentang waktu tersebut, dinilai sebagai tempo yang tepat untuk menjalin hubungan spiritual mengadakan Pamulen (penghormatan) Ruwahan.

KRA Pranoto Adiningrat yang juga Abdi Dalem Keraton Surakarta ini, menyatakan, untuk melakukan Pamulen, biasa ditandai dengan melakukan ritual Nyekar. Yakni menaburkan bunga ke pusara makam para leluhur, atau ke nisan kubur keluarga yang sudah berpulang. ”Sekaligus disertai pemanjatan doa, untuk memintakan ampunan segala dosa dan kesalahan arwah para leluhur,” tegasnya.

Mulanira

Harapannya, setelah para roh arwah leluhur diampuni dosa dan kesalahannya, diberikan anugerah dapat diterima kembali ke Alam Gusti Murbeng Dumadi, atau masuk dalam Kaswargan Jati. Ini sinergi dengan pemahaman Mulih marang mulanira atau Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un (Kita ini milik Allah, dan kepada-Nya kita kembali).

Selain sebagai sarana untuk mendoakan arwah, Ruwahan ada yang dikemas sebagai tradisi Nyadran. Kata Nyadran berasal dari Bahasa Sanskerta Sraddha (keyakinan). Melalui tradisi Nyadran, digelar acara saling berbagi sedekah dengan tujuan untuk menjaga kerukunan, persatuan, dan tenggangrasa antarsaudara dan sesama warga.

Dalam melaksanakan Nyadran, masyarakat yang datang ke makam, membawa serta aneka makanan sebagai sesaji kenduri. Yakni untuk didoakan bersama, untuk kemudian dibagikan sebagai menu makan bersama.

Nyadran memiliki makna spiritual yang dimensional. Satu sisi menjadi adat tradisi mendoakan leluhur. Di sisi lain, menjadi momentum untuk mengingat kematian, yang akan dialami oleh siapa pun. Juga menjadi ajang tali silaturahmi menjaga kerukunan persaudaraan antarsesama.

Tradisi Ruwahan atau Nyadran, biasa diawali dengan Bersih Kubur. Yakni kerja bakti gotong royong warga masyarakat, untuk lebih dulu membersihkan lokasi makam. Ini dilakukan, pada Tempat Pemakaman Umum (TPU) yang tidak memiliki Juru Kunci atau Juru Makam.
Bambang Pur