“Agar anak tidak stunting, ibu wajib memberikan ASI ekslusif selama 6 bulan. Sementara, hak cuti melahirkan pegawai yang ditanggung negara hanya 3 bulan. Artinya, selama 3-4 bulan selanjutnya, para ibu bekerja ini harus berjuang sendiri demi memberikan ASI, bisa tuntas bisa juga gagal bila tidak memiliki support system yang baik. Yang lebih memprihatinkan adalah perempuan dan ibu yang bekerja sebagai buruh pabrik, lebih minim lagi perlindungannya. Ada sekitar 20% atau 10 juta perempuan bekerja sebagai tenaga produksi (pabrik), artinya, anak-anak dari 10 juta ibu ini beresiko tidak mendapatkan ASI secara ekslusif,” terang Marni.
Marni berharap pemerintah dan juga para stakeholder dapat mengatasi persoalan ASI dan stunting dari akarnya seperti ekonomi, edukasi masyarakat serta lingkungan dan support system yang baik untuk ibu. “Tidak hanya perempuan yang bekerja, bahkan ibu rumah tanggapun beresiko gagal memberikan ASI ekslusif, karena banyak faktor. Karena itu yang dibutuhkan adalah regulasi yang melindungi perempuan terutama ibu bekerja,” imbuhnya.
Nurul Yani misalnya. Penjual perabot rumah tangga ini mengaku mengalami kesulitan memberikan ASI eksklusif untuk putrinya karena ASI nya terus menerus berkurang. Ia bahkan sudah berupaya memenuhi asupan gizi dengan tambahan booster ASI. Namun, tuntutan dan lingkungan kerja tidak leluasa bagi Yani untuk melalukan pumping ASI. Ia pun akhirnya terpaksa menambahkan susu formula agar kebutuhan gizi putrinya terpenuhi. “Bagaimanapun saya juga harus bekerja, tidak bisa hanya mengandalkan penghasilan suami saja,” ujar Yani.
Tak jauh berbeda, Nurlaila seorang karyawan perusahaan teknologi di Jakarta mengaku akhirnya memberikan susu formula untuk anak keduanya saat harus kembali bekerja. “Awalnya sempat berusaha pumping ASI di kantor. Tapi lama-lama stress juga, rajin pumping tapi ASI semakin sedikit dan tidak cukup. Akhirnya saya menguatkan diri untuk mengabaikan perkataan orang lain yang menyayangkan saya terpaksa memberikan susu tambahan. Saya pikir, ketenangan ibu lebih penting daripada memaksakan hal yang malah membuat pikiran saya menjadi berantakan,” jelas Nurlaila.
Suci, seorang guru paruh waktu dari desa Curug Bitung Nanggung, juga menghadapi tantangan saat harus kembali bekerja setelah cuti melahirkan 3 bulan. Minim fasilitas penyimpanan ASI perah membuatnya memberikan susu formula untuk anaknya. “Pasti semua ibu ingin yang terbaik untuk anaknya, semua ingin kaish ASI. Tapi kalau tidak memungkinkan bagaimana? Yang penting anak saya dapat tumbuh dengan sehat,” jelas Suci.