Salah seorang peserta membaca puisi dalam acara bertajuk “Minggu Berpuisi di Medini,” digelar pada Ahad atau Minggu 31 Desember 2023. (DOK: Komunitas Sastra Lereng Medini)

KENDAL (SUARABARU.ID) – Dari atas ketinggian lebih dari 1.000 meter di atas permukaan laut (mdpl) beberapa orang meriung bersama buku-buku puisi. Di tengah Kebun Teh Medini, mereka tak sekadar menikmati udara segar gunung Ungaran. Tak ada penonton. Tak ada sorak sorai, yang ada hanya nyanyian alam, burung-burung, dan puisi.

Mereka sedang merayakan puisi di tengah hamparan Perkebunan Teh Medini, atau di kaki sebelah Utara Gunung Ungaran.  Acara bertajuk “Minggu Berpuisi di Medini,” digelar pada Ahad atau Minggu 31 Desember 2023. Mereka memanfaatkan sebidang kebun di eks Kampung Babadan, Kebun Teh Medini yang berada di Desa Ngesrepbalong Kecamatan Limbangan Kabupaten Kendal Jateng. Acara dihelat Komunitas Sastra Lereng Medini (KLM) bekerja sama dengan Sangkar Arah Pustaka, Jarak Dekat Art Production, Pelataran Sastra Kaliwungu, dan Pondok Baca Ajar.

Di pagi yang berkabut, beberapa orang duduk beralas rerumputan di areal bekas mushala yang kini sudah dipenuhi pelbagai jenis tanaman tak terawat. Satu per satu maju di depan panggung ala kadarnya. Memilih puisi dari penyair yang sama, Iman Budhi Santosa (1948-2020). Pujangga kenamaan asal Yogyakarta kelahiran Magetan itu dahulu pada tahun 1971-1975 pernah bermukim di Kampung Babadan sebagai sinder Afdeling Babadan.

Salah satu peserta adalah Kartikawati, pegiat Teater Gema dan Kias Universitas PGRI Semarang. Ia membaca puisi Perempuan Mata Dadu di buku Kumpulan Puisi Asam Garam: Ramayana – Mahabharata (Interlude, 2019).

Semalaman Pandawa luluh, dan Kurawa/ bersorak-sorai hambata rubuh// “Akankah sampai di sini, Puntadewa?” Sengkuni menantang sekalian mendesak ke bibir jurang// “Kami ksatria, kalah menang kehendak dewata.”/ “Pandawa memang satria, Paman Sengkuni.”/ Duryudana memancing, seluruh mata Kurawa pun mengerling, menuding Drupadi memaksa Puntadewa harus berani//

Puisi yang dibawakan dengan nuansa teatrikal dan dibubuhi tembang itu, ditulis Iman Budhi Santosa (IBS) pada titimangsa 2008 silam. Menceritakan tragedi Pandawa kalah dadu dengan Kurawa dalam epos Mahabharata.

Acara Berpuisi di Medini merupakan rangkaian acara Residensi Akhir Pekan ke-5 yang digelar di Gedung Sastra dan Sosial Kebun Sastra Guyub Bebengan Boja Kendal sehari sebelumnya, Sabtu 30 Desember 2023. Selain Kartikawati, acara juga diikuti antara lain Anis Hidayati, Zuraida Jihan Annisa (Kendal),  Radit Bayu Anggoro (Pekalongan), dan Heri CS (KLM).

Tak hanya peserta yang sebagian mahasiswa, turut membersamai rombongan, Hastra Indriyana, penyair asal Yogyakarta yang kini mukim di Muntilan Magelang.  Hasta sebelumnya, selama sehari menjadi pemateri dalam residensi akhir pekan dan diskusi bersama belasan peserta.

Hasta Indriyana oleh sebagian orang, disebut-sebut sebagai salah satu “anak emas” atau cantrik dari IBS selama di Yogyakarta. Diketahui, IBS, dianggap seperti guru oleh banyak anak muda, bahkan orangtua kedua. Ia menjadi tempat diskusi hingga curhat. Malah, ada yang menyebutnya, “Romo”—saking dihormati dan berjasa dalam proses asah-asih-asuh berpuisi di Yogyakarta.

Babadan menjadi salah satu wilayah di Perkebunan Teh Medini. Kebun Teh Medini sudah ada sejak zaman Belanda. Kebun Teh Medini mempunyai luas sekitar 386 hektar dengan ketinggian 1.000 mdpl. Suhu udara di tempat tersebut sangat dingin, bahkan area kebun teh kerap tertutup kabut hingga siang hari. Kebun Teh Medini menyajikan berupa hamparan luas tanaman teh yang berbukit-bukit. Jika pengunjung datang pada pagi hingga siang, biasanya akan berpapasan dengan para perempuan pemetik teh yang membawa karung.

Anis Hidayati (42) mengatakan merasa beruntung bisa mengikuti kegiatan ini. Sebelumnya, ia pernah ke Medini tetapi hanya untuk piknik menikmati suasana sejuknya kebun teh. Kali ini, ia pun berpuisi di tengah kebun teh dan disaksikan penyair kondang.

“Sebuah pengalaman yang mengesankan,” ujar Anis, perempuan asal Desa Getas, Singorojo ini.  Dalam kesempatan itu, Anis juga mengajak putri semata wayangnya,  Zuraida Jihan Annisa (17).

Menurut Perwakilan Penyelenggara, Heri Condro Santoso, acara ini menjadi salah satu ikhtiar mendekatkan aktivitas sastra dengan alam. Sebab, alam adalah sumber intuisi. Selain itu juga napak tilas jejak penyair IBS, yang pernah tinggal di Kampung Babadan, Kebun Teh Medini. Saat ini, kampung Babadan tak lagi berpenghuni dan tak terawat. Meski demikian, jejak-jejak bahwa pernah menjadi permukiman masih ada. Bekas pondasi rumah, dinding batu bata bekas mushala, hingga tanaman-tanaman hias “khas” pekarangan rumah.

“Setidaknya, peserta memahami. Di tanah ini, pernah tinggal salah satu sastrawan Indonesia mumpuni. Atau bisa disebut maestro di bidangnya. Harapannya peserta turut menghikmati riwayat dan proses kreatifnya selama hidup. Serta, yang tak kalah penting—seperti selalu disampaikan almarhum, merawat patembayatan (kekerabatan) di antara sesama,” ujar Heri, koordinator KLM dan Pondok Baca Ajar Boja.

Medini dan Secuil Riwayat Iman Budhi Santosa

Mengenai sosok IBS dan Medini, Heri menjelaskan, pujangga yang lahir di Magetan, 28 Maret 1948 itu, pertama kali datang ke Medini pada Minggu kliwon, 28 Maret 1971 usai mendapat panggilan dari PT Rumpun setelah lamarannya diterima.

Di awal bekerja, ia ditugaskan sebagai karyawan bagian pembibitan. Usai menjalani masa percobaan tiga bulan di pembibitan, ia ditugaskan memegang Afdeling Babadan selama 3 tahun. Tahun 1974 pindah ke Afdeling Medini.

“Pada 1975 ia mengundurkan diri karena terjadi  konflik kecil dalam pekerjaan, selain ingin mencari lahan pekerjaan baru yang lebih menjanjikan,” jelas Heri dengan merujuk pada buku Merajut Sunyi, Membaca Nurani: Napak Tilas Jejak Penyair Iman Budhi Santosa di Medini (KLM, 2012).

Heri menambahkan, selama bekerja di Medini, ada beberapa teman sastrawan yang sempat mengunjungi IBS. Di antaranya, Umbu Landu Paranggi, F. Rahardi, Ragil Suwarno Pragolapati, Darmanto Yatman, dan Linus Suryadi AG.

“Setelah keluar dari Medini, sepuluh bulan ia mengungsi ke rumah orangtua di Solo. Beliau mengandalkan hidup dari menulis buku novel dan cerita silat yang diterbitkan di Yogyakarta,” ujar Heri yang menyebut ayah IBS juga seorang pengarang.

Selang beberapa waktu, lanjut Heri, IBS—yang bersama Umbu mendirikan Persada Studi Klub Yogyakarta, sempat bekerja di PG Cepiring Kendal. Ia ditugaskan melaksanakan  mekanisasi pembukaan lahan tebu, tanah kering di Kabupaten Batang. Baru bekerja satu bulan, lamaran dia ke Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah diterima. Akhirnya, ia memilih meninggalkan PG Cepiring. Lagi-lagi ia ditugaskan mengurusi tanaman teh di sentra pengembangan teh rakyat Jawa Tengah yang dipusatkan di gunung Merbabu Boyolali.

Heri melanjutkan, selama 14 tahun mengabdi sebagai pegawai negeri, banyak tugas jabatan yang sempat ia laksanakan. Dari sentra teh rakyat di Gunung Merbabu pindah ke kantor Disbun Kabupaten Boyolali (1979). Kemudian, mendapat tugas khusus menangani supervisi pembibitan teh rakyat di Kabupaten Brebes, Pemalang, Tegal, dan Batang (1980-1981).

Di samping itu, juga ditugaskan membina UPP Teh Paguyangan (Brebes) dan UPP Teh Wanayasa (Banjarnegara). Tahun 1982 ditugaskan sebagai pembantu  Pimpinan Proyek Peremajaan Rehabilitasi, dan Perluasan Tanaman Ekspor (PRPTE) Disbun Provinsi Jawa Tengah di Ungaran. Tahun 1986 pindah ke Subdin Penyuluhan dan tahun 1987 ditugaskan menjadi staf khusus Kadisbun Provinsi Jawa Tengah di Bidang Kehumasan.

“Ternyata,  Bidang Kehumasan inilah tugas pekerjaan Pak Iman yang terakhir sebagai pegawai negeri. Setelah itu ia mengundurkan diri dari profesi yang kini menjadi idaman banyak orang. Mungkin, puisi adalah jalan kehidupan sosok IBS, bukan jalan PNS,” tutur Heri. Pada tahun 2020, tepatnya, 10 Desember 2020, IBS wafat di rumahnya.

Foto bersama peserta acara bertajuk “Minggu Berpuisi di Medini,” digelar pada Ahad atau Minggu 31 Desember 2023. (DOK: Komunitas Sastra Lereng Medini)

IBS di Mata Hasta Indriyana

Sementara itu, di mata Hasta Indriyana, salah satu kelebihan IBS adalah sosok yang terbuka bagi siapapun. Ia tak ambil jarak dengan siapapun. Dari orang-orang kesohor yang dikenalnya, juga terhadap anak-anak muda yang belum dikenal.

Ia selalu menyediakan waktu untuk melek. Bahkan, hingga semalam suntuk dari habis isya sampai subuh untuk menemani tamu-tamu termasuk anak muda yang hendak curhat atau melepas beban hidup.

“Hampir tiap hari, rumahnya selalu dikunjungi orang. Ada orang-orang terkenal seperti Emha Ainun Najib hingga anak-anak muda yang belum dikenal,” kata Hasta yang sejak SMP sudah mulai mengakrabi puisi-puisi IBS di surat kabar.

Menurut Hasta, IBS tak hanya memiliki kecakapan dalam hal bersastra ataupun berpuisi. Ia juga sosok yang ngemong. Hasta mengibaratkan, IBS menjadi bahu bersandar bagi orang-orang yang memerlukan sandaran spiritual. Ia bak sumur yang selalu digali ilmunya dan tak habis-habis. Ia bak orangtua kedua yang akrab bagi anak muda di Jogja yang berproses.

“Sekadar curhat pun dilayani oleh Pak Iman. Berkeluh kesah tentang beban hidup. Jadi, memang benar bahwa beban kehidupan harus diceritakan. Diselehke untuk melanjutkan hidup. Dan, mas Iman jadi tempat seperti itu, bahu tempat bersadar,” ujar penulis buku puisi Piknik yang Menyenangkan dan Belajar Lucu dengan Serius.

Menurut Hasta, ia sebenarnya seperti halnya anak-anak muda yang lain. Menjadikan IBS tempat ngobrol dan diskusi banyak hal. Justru jarang membincangkan secara khusus tentang pelajaran mencipta puisi ataupun cerpen.

“Kalau teman-teman bilang, saya anak emasnya, ndak juga. Ada yang lebih emas dari saya. Bahkan, saya itu, watu wae durung. Selama ini, saya menganggap bahwa Mas Iman itu adalah guru saya. Saya ‘ngaku-ngaku’ jadi muridnya,” ujar Hasta merendah.

Apakah Hasta secara khusus  diajari IBS tentang menulis puisi? Hasta mengatakan, belum pernah. “Belum pernah. Beliau bagi saya itu sebagai tempat curhat, saling berbagi, ngomong tentang keluh kesah, beban hidup. Atau hal-hal sepele seperti peristiwa ayam masuk ke pekarangan orang.

Dari perbincangan kecil itu, kemudian berkembang menjadi obrolan banyak hal. Tentang tepa selira, menjaga lingkungan, hingga menghidupi modal sosial. Dari itu, kemudian, secara eksplisit teori-teori yang saya baca, keluar dengan sendirinya, meskipun tak disinggung oleh IBS.

“Bahwa masyarakat kita, di Jawa, sudah ada termasuk teori-teori canggih dari luar negeri yang sebenarnya kita sudah menjalankan itu selama ratusan tahun,” ujar Hasta yang salah satu karyanya meraih Buku Puisi Terbaik, Balai Bahasa Yogyakarta (2018).

Hasta menyampaikan, mengapresiasi ada KLM yang diinisiasi Sigit Susanto dan Heri Condro Santoso. Ia seperti melanjutkan spirit yang selama ini dipraktikkan dalam laku sastra IBS. Gerakan semacam ini bagian dari menghidupi modal sosial. “Ini akan menjadi semacam mata air literasi yang akan terus mengalir. Agar masyarakat belajar sastra dengan guyub,” kata dia.

Diaz Aza