blank
Ilustrasi. Reka: wied SB

JAKARTA (SUARABARU.ID) – Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Antonius Benny Susetyo mengingatkan agar anak-anak muda tidak melupakan sejarah.

“Seperti kata Bung Karno, jangan pernah lupakan sejarah. Jika kita ingin mengetahui apa Pancasila, kita harus mengerti bahwa Pancasila adalah berasal dari tradisi dan kearifan lokal yang dijumpai di agama-agama dan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat Indonesia. Pancasila berasal dari masyarakat Indonesia sendiri, bukan adopsi dari pihak lainnya,” ujarnya dalam seminar di Universitas Bhakti Kencana, Jakarta, Jumat (22/12/2023).

Seminar bertema “Inovasi Pembelajaran Pancasila dan Kewarganegaraan” dilaksanakan secara daring. Benny menjelaskan sejarah pergerakan nasionalisme di Indonesia. “Pergerakan nasional dimulai dari dibentuknya Boedi Oetomo, lalu berlanjut ke Sumpah Pemuda, dan sampai pada Sidang PPKI tanggal 18 Agustus 2023,” tuturnya.

blank
Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Antonius Benny Susetyo . Foto: rb

Boedi Oetomo itu muncul karena kesadaran untuk berbangsa Indonesia timbul, Sumpah Pemuda melegitimasi persatuan bangsa, pada sidang BPUPK yang pertama, dan saat itu Jepang mulai terdesak dalam Perang Pasifik sehingga bayang-bayang bahwa kekuatan Belanda akan kembali untuk menguasai Indonesia terbayang, dan saat itulah Soekarno menyatakan lima pilar bangsa, yang sekarang kita ketahui sebagai Pancasila.

“Itu semua merupakan satu rangkaian,” kata Benny.

Dia pun berpesan agar rangkaian sejarah ini tidak dilupakan, dan bahwa Pancasila lahir dari bangsa Indonesia sendiri.  Doktor komunikasi politik tersebut menyatakan, Pancasila adalah dasar berbangsa dan bernegara.

“Dasar kita, ya Pancasila, juga dasar hukum kita Pancasila. Kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Pancasila juga harus menjadi living and working ideology. Itu yang harus disadari oleh semua pihak,” tegasnya.

Menurut Benny, situasi yang dihadapi anak muda Indonesia akibat globalisasi perlu mendapat perhatian. Pasalnya, globalisasi membawa paham-paham transnasional yang informasinya mudah dijangkau oleh anak muda.

“Globalisasi itu menghilangkan batas-batas. Teknologi memudahkan informasi  mengalir. Nah, disinilah yang harus menjadi perhatian: paham-paham transnasional, gaya hidup hedonisme, serta budaya-budaya dari negara luar, jika tanpa filter, masuk, akan menjadi panutan anak-anak muda kita, sehingga mereka kehilangan identitas bangsa Indonesia, mereka kehilangan kemampuan untuk mengerti dan menghargai nilai-nilai dan budaya bangsa Indonesia sendiri,” tambah Benny.

Budayawan itu pun menyatakan bahwa filter yang dimaksud adalah Pancasila.  “Sekali lagi saya katakan, Pancasila asalnya dari budaya, nilai yang ada dalam hidup masyarakat Indonesia, jauh sebelum Soekarno memaparkannya pada sidang pertama BPUPK. Nilai-nilai Pancasila, yaitu Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan, itu semua memang ada dalam Indonesia sendiri,” tuturnya.

Oleh karena itu, Benny mengajak agar anak-anak muda menjadi pelaku Pancasila sehari-hari.

Dikatakan, Pancasila harus diwujudkan, menjadi ideologi dalam hidup dan bekerja. Setiap kegiatan kita sebagai masyarakat Indonesia harus memiliki nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Itulah filter kita. Anak-anak muda harus ikut globalisasi, tetapi akar anak muda kuat pada nilai dan budaya Indonesia.”

“Anak-anak muda harus dulu bangga dengan menjadi orang Indonesia. Bangga dengan budayanya, bangga dengan nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakatnya, bangga terhadap barang dan produk buatan Indonesia. Dan saya mengharapkan, kebanggaan itu disebarkan lewat media sosial, agar anak-anak muda di tempat lainnya juga merasakan kebanggaan dan ikut turut serta,” ajaknya.

Jangan Berdasar Gimmick

Berbicara soal pemilu yang akan datang, pakar komunikasi politik ini juga menyerukan agar anak muda memilih bukan berdasarkan gimmick semata, tetapi setelah proses pemikiran yang kritis.

“Setiap calon, baik presiden wakil presiden dan para anggota legislatif, pasti menawarkan sesuatu. Telitilah semuanya itu, dan timbang apa pro dan kontra dari janji-janji kampanye mereka. Jangan ‘asal’ pilih calon karena dia terlihat asyik, gaul, atau ‘dekat’ dengan anak-anak muda. Tetap cerdas dan kritis dalam mengikuti pesta demokrasi ini. Dan yang penting, cari calon mana yang menjalankan nilai-nilai Pancasila secara konkrit dan nyata. Itu wujud pemilu berlandaskan nilai Pancasila,” tutupnya.

wied