blank
Selebrasi Claudio Echeverri, saat memngalahkan Brazil di Piala Dunia U17. Foto: fifa

blankOleh: Amir Machmud NS

// dia hadir dalam misteri semesta/ senyumnya siap melukai/ aura yang membawa bahagia/ terempas pula dalam durja/ o, iblis kecil/ kaukah yang bakal mengguncang dunia?//
(Sajak “El Diablito”, 2023)

GENERASI selalu datang dan pergi. Maharaja takkan selamanya bertahta. Bintang sepak bola sekelas Pele, Maradona dan Messi pun tahu diri untuk menyurut dari edar alamiah di semestanya.

Siapa mampu melawan usia?

Siapa mampu melawan edar waktu?

Manusia dibatasi oleh “saat”, dengan segala dinamikanya.

Dan, simaklah nama ini: Claudio Echeverri. Ketika hari-hari ini nama Echeverri mengapung di langit sepak bola dunia, pernahkah Anda memberi perhatian kepada Etcheverry (memakai huruf “t” dan “y”) lainnya, dengan nama lengkap Marco Antonio Etcheverry Vargas?

Marco Antonio, dia pilar tim nasional Bolivia era 1990-an. Kecepatan, kemampuan mengatur serangan, dan dribel licin yang ditakuti lawan menghadirkan predikat El Diablo atau Si Iblis. Jejuluk mediatika itu menunjukkan jejak kengerian terhadap kemampuannya.

Etcheverry menjadi andalan klub DC United di MLS dari 1996 hingga 2003.

Dua Puluh Tahun
Siapa mengira, 20 tahun-an kemudian, seorang bocah yang diberi nama Claudio Echeverri — orang tuanya terinspirasi kehebatan Marco Antonio — menyemburatkan cahaya terang dalam putaran final Piala Dunia U17 di Indonesia?

Dan, usia 17 menandai labilitas naik-turun performa. Kapten tim Argentina itu membubung, lalu bagai diempaskan oleh kenyataan yang berkebalikan. Di perempatfinal dia bahagia, di semifinal dirundung nestapa.

Dalam laga melawan juara bertahan Brazil, dia mencetak semua gol kemenangan 3-0. Ketiga gol itu dicetak dengan teknik berkelas. Bukan sekadar gol klinis yang text book, melainkan lewat kemampuan “seni” berbasis talenta.

Sayang, di semifinal, Albiceleste dihempaskan Jerman 5-7 lewat adu penalti. Dan, betapa muram Echeverri: dia menjadi salah satu eksekutor yang gagal.

Terlepas dari drama itu, Indonesia beruntung menjadi penyaksi pemunculan calon bintang masa depan ini, yang memang dijuluki “Next Messi”. Bahkan, penemu bakat Claudio, Daniel Brizuela tak ragu menyebut bocah asal Resistencia itu merupakan kombinasi dua legenda: Diego Armando Maradona dan Lionel Andres Messi.

Brizuela menemukan bakat Echeverri pada 2016, dan memboyongnya ke River Plate. Ketika itu Echeverri sedang bermain untuk salah satu klub di kota kelahirannya di Resistencia.

“Hari ini saya sangat senang, sama seperti ketika melihat Echeverri di Resistencia. Saya bilang: ‘Pemain ini, pemain ini’. Dia selalu senang menjalani pertandingan seperti itu [Brazil vs Argentina]. Echeverri selalu menjadi lebih kuat,” ujar Brizuela kepada TyC Sports seperti dikutip cnnindonesia.com.

Brizuela tak tanggung-tanggung memuji. Dia menyebut Echeverri sebagai kombinasi Maradona dan Messi.

“Ketika datang di Resistencia dan melihat dia, saya bilang kepada salah satu pelatih di sana: ‘Dia kombinasi Maradona dan Messi’. Pelatih itu bertanya, ‘Kenapa?’. Saya jawab, ‘Dia memiliki sifat, kepribadian dan karakter Maradona, dan ciri-ciri permainan mirip Messi’”.

Titisan Messi
Sama dengan sejumlah nama yang pernah disemati harapan sebagai “titisan Maradona”, media mulai mematut-matut bakat yang pantas diberi predikat sebagai “titisan Messi”.

Uniknya, di era pasca-Maradona, yang riil tumbuh dan berkembang hanya seorang Leo Messi, untuk menjajari, bahkan dalam beberapa segi melewati Maradona.

Rata-rata pemain Argentina penyandang harapan itu berpostur kecil, atau pendek. Pablo Aimar misalnya, Ariel Ortega, Xavier Saviola, Carlos Tevez, dan Diego Lattore.

Bagai jejak sejarah yang berulang, peroketan Echeverri di Piala Dunia U17 mirip dengan pertunjukan Maradona dan Leo Messi.

Dalam Piala Dunia U19 di Tokyo 1979, El Pibe de Oro memimpin Tim Tango sebagai kapten. Permainannya menginspirasi dengan leadership, seni gol, dan aksi-aksi eksepsional. Sedangkan Messi menjadi pusat pembeda permainan Albiceleste dalam tim Piala Dunia U20 2005, dan Olimpiade 2008.

Maradona dan Messi betul-betul menjadi faktor determinan dengan skill langka. Claudio Echeverri juga mempertontonkan kemampuan serupa, terutama ketika tiga golnya mengoyak gawang Brazil.

Ketika dunia membuat gambaran siapa kandidat pengganti La Pulga yang kini berusia 36, tak pelak lagi Echeverri-lah yang diapungkan. Dari El Pibe de Oro, ke La Pulga, tampuk kemaharajaan akan beralih ke Iblis Kecil atau El Diablito. Sayang memang, dia gagal mengulang keberhasilan dua pendahulunya itu membawa pulang trofi dunia ke Buenos Aires.

Dan, waktu pulalah yang menjadi penyaksi: akankah Claudio Echeverri berjalan konsisten di trek harapan dan pembandingan, atau seperti para titisan Maradona sebelumnya dia hanya moncer di media lalu memudar dari terang cahaya…

Atau jangan-jangan berhenti di level maksimal Marco Antonio Etcheverry Vargas…

Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah