Diakuinya, memang ada Bawaslu. Namun menurut dia, yang paling efektif adalah keberadaan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan media.
”Wartawan atau jurnalis itu sudah terdoktrin bagaimana menyajikan berita yang imbang. Media akan melakukan klarifikasi dengan banyak pihak yang terlibat dalam Pemilu. Inilah potensi media. Kalau pengawasan itu lemah, maka kelemahan itu bisa jadi ada pada media,” terangnya.
Selain media, LSM juga punya peran penting, karena kinerjanya itu hitam putih. Artinya, dia punya otoritas untuk melakukan investigasi sesuai kapasitasnya. Mereka bekerja tidak by design atau pun by order.
”Jadi, apakah ada kesadaran kita untuk melakukan ‘pressure’ atau tekanan-tekanan untuk melakukan fungsi pengawasan. Itu yang membuat penyelenggara Pemilu akan berhati-hati dalam melakukan tugasnya. Pengawasan bukan berarti mendukung salah satu paslon, tapi keberpihakan pada persoalan, transparansi, keadilan, kebenaran, dan keadilan,” katanya.
Jawade juga menilai, kualitas Pemilu bukan ditentukan seberapa banyak pelanggaran yang berhasil ditangani Bawaslu, tapi pada seberapa intens partisipasi masyarakat terhadap pengawasan untuk sebuah pemilu bukan saja berprinsip Luber, tapi juga Jurdil.
Dikatakannya, sudah saatnya dibangun paradigma baru tentang politik uang. Dijelaskan dia, ruang lingkup money politics, hendaknya tidak saja berupa uang tapi juga barang.
”Media harus bisa menyuarakan, misalnya adanya temuan seorang kontestan yang memberikan barang mahal, tapi posisinya masih sebagai penyelengara pemerintahan. Ini bentuk pelanggaran, karena menggunakan uang rakyat dan mengusik rasa keadilan,” ujarnya.