SEMARANG (SUARABARU.ID) – Savitri Kartika Dewi mengaku siap menghadapi kasasi yang diajukan oleh JPU atas vonis Majelis Hakim PN Semarang yang membebaskan dirinya dalam kasus dugaan penggunaan dokumen palsu pada penggurusan sertifikat tanah miliknya.
“Saya sejak awal siap menghadapi segala kemungkinan. Karena saya tidak menguasai hukum, maka segala upaya mempertahankan hak saya, saya serahkan sepenuhnya kepada tim kuasa hukum. Soal hasil, saya pasrahkan kepada Sang Maha Adil, Allah Subhanahu Wata’ala,” ucap Savitri kepada awak media, belum lama ini.
Dirinya berharap, sebagaimana Majelis Hakim di tingkat pertama, Majelis Hakim di Mahkamah Agung yang memeriksa dan mengadili kasasi ini akan mengambil keputusan yang seadil-adilnya, sesuai fakta- fakta hukum dalam persidangan.
“Saya bersyukur, ternyata masih ada keadilan dalam hukum kita. Terbukti, saya yang memang tidak bersalah, dibebaskan sebagaimana putusan Majelis Hakim PN Semarang. Semoga di tingkat kasasi juga demikian. Jangan sampai ada yang tidak bersalah masuk penjara,” tegasnya.
Savitri mengaku heran, mengapa JPU bersikeras ingin memenjarakannya. “Bukankah fakta dalam persidangan jelas terbukti saya tidak bersalah. Ada apa di balik semua ini. Mudah-mudahan bukan karena intervensi dari tokoh yang melaporkan saya itu,” harap Savitri.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Lembaga Peduli Hukum Indonesia (LPHI), Balia Reza Maulana SH, MKn menyatakan, pihaknya bakal mengawal perkara ini sampai tuntas.
Reza mengatakan, dalam kasus ini dirinya melihat banyak kejanggalan dalam proses penanganan perkara Savitri. “Mengapa Savitri bisa dipenjara terkait sengketa tanah yang belum dibuktikan keabsahannya dari sertifikat tersebut. Padahal sudah ada surat edaran dari jaksa agung, jika terkait objek perkara tanah, jangan terburu-buru dipertanggungjawabkan pasal tindak pidananya. Harus perdatanya dulu,” terang Reza kepada awak media, Jumat (3/11/2023).
Reza mengungkapkan, awalnya pada tahun 1995 Savitri membeli tanah di daerah Tembalang Semarang seluas 5.000 meter. Tanah tersebut kemudian dibangun sebuah mushola dan bangunan lain sebagai tempat kos-kosan. Selanjutnya pada tahun 2017 Savitri mulai mensertifikatkan tanah tersebut pada notaris, dan tidak ada masalah.
“Namun pada tahun 2020 tiba-tiba muncul sertifikat lain atas nama Anastasia yang dibuat notaris lain. Sertifikat tersebut menunjukkan kepemilikan sebagian dari hak tanah yang dimiliki Savitri,” tambah Reza.
Mulanya dilakukan mediasi, sambung Reza, namun mediasi belum kelar Savitri malah dilaporkan kasus penggunaan dokumen palsu dan dituntut Pasal 263 dengan tuntutan penjara selama 2,6 tahun.
“Sebagai lembaga yang ingin mewujudkan hukum berkeadilan, LPHI merasa perlu mengawal perkara ini. Sejak awal kita temui kejanggalan-kejanggalan yang seolah-olah ada pihak-pihak yang memaksakan kehendak. Ini tidak boleh dibiarkan. Hukum harus betul-betul berkeadilan. Jangan sampai orang yang tidak bersalah dipenjara. Kita akan dukung betul kasus ini,” kata Reza.
Dia juga telah menginstruksikan kepada Dewan Pimpinan Daerah (DPD) LPHI DKI Jakarta untuk bergerak mengawal perkara ini. “Ada indikasi pihak pelapor memaksakan kehendak agar keputusan Majelis Hakim PN Semarang yang sudah adil itu diubah oleh Majelis Hakim di MA melalui cara-cara yang tak sesuai tatanan hukum kita,” tegas Reza.
Sementara itu Penasihat Hukum Savitri, Rudi Wahyu Irianto menjelaskan, pihaknya sudah mengirimkan kontra memori kasasi sebagai respon atas memori kasasi yang diajukan JPU. Menurutnya, alasan-alasan JPU mengajukan kasasi tak sesuai ketentuan hukum yang ada. “Secara rinci sudah kami sampaikan dalam kontra memori kasasi, guna bahan pertimbangan Majelis Hakim di MA,” ungkapnya.
Dari fakta-fakta persidangan di PN Semarang dan menyimak memori kasasi dari JPU, Rudi meyakini Majelis Hakim MA yang memeriksa dan mengadili perkara aquo akan ditolak. “Harusnya ditiolak untuk keseluruhan, karena putusan PN Semarang sudah sesuai ketentuan hukum yang berlaku,” terangnya.
Terkecuali, tambah Rudi, indikasi adanya pihak-pihak yang mengintervensi sebagaimana disinyalir benar adanya, boleh jadi putusannya akan berbeda. “Jika itu yang terjadi, quo vadis hukum Indonesia sungguh menyedihkan dan menyesatkan. Kasihan orang jujur dan benar jadi korban,” ucap Rudi.
Selaku Penasihat Hukum, Rudi meyakini bahwa para hakim di MA adalah orang-orang yang berintegritas. “Para hakim tentu tak ingin menggadaikan harga diri, harkat dan martabat dengan satu milliar rupiah misalnya,” tandas Rudi.
Ning S