Widayat Basuki Dharmowiyono/Tan Tjoan Pie (78), Generasi ketiga Rumah Kopi legendaris Margo Redjo, menemani pegawainya Ahmad Agung, saat menyangrai 5 Kg biji kopi, menggunakan alat tua berbahan gas elpiji 12 kg. Foto: Diaz Azminatul Abidin

“Rumah Kopi Margo Redjo berusia satu abad itu masih menjaga ruhnya. Eksistensi Rumah Kopi itu mewariskan mesin sangrai tua memanfaatkan energi gas dari zaman kolonial Belanda hingga sekarang. Jatidirinya juga bertransformasi mengikuti zaman, hingga menarik perhatian lintas generasi dari 1928 hingga hari ini, dalam menikmati kopi…”

ADITYO (42), duduk santai menyeruput secangkir kopi di lorong jalan dengan lebar tak lebih dari 1,5 m. Jalan kecil itu berada di sisi kanan ruang workshop yang sekaligus Rumah Kopi Margo Redjo yang kini sejak 2016 berubah nama menjadi Dharma Boutique Roastery. Rumah Kopi ini dahulu pabrik terbesar di Kota Semarang, yang berada di kawasan Pecinan Jalan Wotgandul Barat nomor 14, Jawa Tengah.

Area workshop itu berada satu tempat dengan bangunan tua dengan arsitektur masa kolonial Belanda. Bangunan yang berlantai dua itu bergaya arsitektur Art Deco Eropa dengan pilar-pilar beton. Rumah inilah yang lama ditinggali oleh Widayat Basuki Dharmowiyono/Tan Tjoan Pie (78), generasi ketiga Rumah Kopi Margo Redjo.

Jelang tengah hari, Selasa (24/10/2023), Ryan Renaldi salah satu barista bercengkerama menemani Adityo yang ternyata seorang pelanggan baru di Dharma Boutique Roastery. Adityo ternyata juga mahir bermain gitar akustik, dan bersama dua barista mereka menyanyikan beberapa lagu.

”Saya itu pecinta kopi betul mas, jenis apa saja saya hajar kopi sachet juga. Karena saya dulu suka fitnes, kalau konsumsi kopi powernya keluar. Tapi suatu saat saya tipes, mungkin berlebihan asam lambung saya naik saya gak tahu. Jantung berdebar, tepar saya dan dibawa ke rumah sakit. Berkali-kali saya begitu, itu tahun 2012 langsung saya berhenti kopi,” kata sosok yang cukup hafal seluk beluk Kota Semarag itu.

Ketidaktahuan Adityo perihal cara mengonsumsi kopi yang benar itu membuatnya harus rutin konsumsi obat dan berhenti minum kopi selama enam tahun. Hingga pada 2018 dia kembali berani menyeruput kopi dengan cara yang berbeda.

”Saya diajak teman saya barista yang ngerti kopi. Dia bilang kalau minum kopi kapan waktu yang pas, seperti apa cara menyeduhnya, dan memang harus makan dulu ya perut harus terisi. Yang baik dua kali pas pagi dan malam,” katanya.

Adityo juga baru tahu keberadaan Dharma Boutique Roastery sekira satu bulan terakhir, usai diajak temannya.

”Tapi akhirnya saya hampir tiap hari kesini terus. Saya ngopi di sini itu beda mulai cara mengolahnya, seperti yang saya minum ini bisa keluar seperti rasa jeruknya. Saya lama di Semarang, Saya jatuh cinta lagi sama kopi padahal sebelumnya membenci karena sakit itu,” kata dia.


Widayat Basuki Dharmowiyono/Tan Tjoan Pie (78), Generasi ketiga Rumah Kopi legendaris Margo Redjo, saat menemani sejumlah tamu. Foto: Diaz Azminatul Abidin

Menyangrai Kopi dengan Mesin Tua
Di jarak tiga meter dari tempat duduk Adityo, Ahmad Agung pegawai di Rumah Kopi itu bersiap menyangrai 5 kg biji-biji kopi Kintamani FW. Sesuai dengan namanya biji-biji kopi mentah itu berasal dari Kintamani Bali.

Uniknya, alat sangrai kopi yang dipakai Ahmad Agung merupakan mesin tua berkapasitas 5 kg yang usianya masuk seabad. Satu lagu alat sangrai kuno itu berkapasitas 500 gram, yang berada di dalam workshop.

Ada dua alat penyangraian kopi manual tua yang bermerk Henneman konon buatan Belanda. Sebuah alat dari Eropa, cikal bakal merek Probat. Dua alat sangrai tua berbeda ukuran masih digunakan, dengan teknik pembakaran kopi mengenakan gas.

Ahmad Agung memasukkan 5 kg kopi ke dalam alat sangrai tua itu. Di mana alat itu sudah tersambung ke tabung gas biru Pertamina berukuran 12 Kg.

Setelahnya, dia memantik api yang dinyalakan ke sumbu alat sangrai itu. Mesin ini memadukan dua energi, yakni gas untuk pembakaran biji kopi dan listrik untuk memutar tungku putar.

Sesekali Ahmad Agung menyusupkan besi untuk menjumput beberapa biji kopi yang disangrai. Hal itu dilakukannya untuk mengetahui tingkat kematangan kopi.

”Rata-rata butuh 20 menit untuk biji kopi ini matang. Tapi memang sesekali dicek sudah sejauh apa tingkat kematangannya, karena alat ini manual, ya jadi pakai perasaan juga. Kalau mesin modern itu kan sudah tahu berapa suhu tungkunya ada indikatornya, jadi pasti tahu sudah matang atau belum biji kopi itu,” jelas dia.

Mbak Sri pegawai Rumah Kopi Margo Redjo secara menual menyangrai biji kopi ukuran 500 gram menggunakan alat tua memanfaatkan energy gas elpiji. Foto: Diaz Azminatul Abidin

Hal yang sama dilakukan Mbak Sri, satu-satunya pegawai perempuan Dharma Boutique Roastery itu juga menyangrai kopi di dalam workshop. Namun kapasitas alat sangrai itu hanya berkapasitas 500 gram. Adapun metodenya sama menggunakan pembakaran tabung gas 12 kg.

”Tapi ini harus diputar manual pakai tangan. Diputar terus biar matang merata, ya kira-kira lima menit matang,” paparnya.

Basuki, generasi ketiga Kopi Margo Redjo bilang, bisnis Rumah Kopi yang kini dijalankannya sejak 2016 itu, telah berganti nama menjadi Dharma Boutique Roastery, agar lekat di benak kalangan milenial.

Dharma Boutique Roastery setidaknya memiliki 60 jenis kopi dari berbagai wilayah Nusantara. Mulai dari Sabang sampai Merauke. Misalnya untuk kopi yang dinamai Ciwidey Honey, Ijen Natural, Papua Paniai, Kintamani Honey, Bajawa Arabica, Toba Arabica, dan lainnya.

”Kalau kopi dari sekitar Semarang itu ada yang dinamai Temanggung Rob, Temanggung Honey, Temanggung SW, Candiroto Wone, Banjarnegara, Merbabu, hingga Posong Anaerob N,” lanjut dia.

Suasana museum Rumah Kopi Margo Redjo, penuh dengan mesin-mesin sagrai atau roasting kopi raksasa yang memanfaatkan energi gas dan kayu bakar digerakkan mesin kapal. Foto: Diaz Azminatul Abidin

Sejarah Rumah Kopi dari Marga Tan
Pada 1928 Rumah Kopi Margo Redjo telah mendapat izin dari pemerintah di masa itu untuk izin usaha pabrik sangrai kopi. Bahkan menjadi pabrik kopi terbesar di masanya yang mampu untuk skala ekspor.

Basuki menceritakan, leluhur pertamanya yang datang ke Nusantara kala itu merupakan marga Tan dari Hokkian/Fujian, Tiongkok bernama Tan Bing atau Juragan Bing pada 1790-an.

Tan Bing belum memulai usaha kopi saat itu. Sosok cicit Tan Bing bernama Tan Ing Tjong (1837-1899) lantas membeli rumah di kawasan Pecinan itu, dari kerabat yang merugi atas usahanya. Tan Ing Jong dahulu pemegang pacht garam dan opium pada akhir abad ke-19.

”Lalu anak dari Tan Ing Jong bernama Tan Tjien Gwan (1861-1914) mewariskan rumah itu,” jelasnya.

Anak Tan Tjien Gwan, yakni Tan Tiong Le (1883-1949), merupakan sosok pertama yang memulai bisnis Kopi Margo Redjo, namun tidak di Semarang. Tan Tiong Le adalah generasi pertama, sekaligus kakek dari Widayat Basuki Dharmowiyono.

Menurut Basuki, Tan Tiong Le merantau pada 1916 dan membuat usaha Margo Redjo di Cimahi, Jawa Barat. Sekira hampir sepuluh tahun kemudian sekira 1925, Tan Tiong Le memboyong segala peralatan pabrik sangrai kopi untuk kembali ke Semarang.

”Kakek saya berganti usaha di Cimahi. Mulai dari usaha roti, kayu, dan beberapa lainnya. Pernah merugi. Terakhir mendirikan Margo Redjo ini dan dibawa ke Semarang. Pabriknya di belakang Rumah Kopi ini. Peralatan-peralatan tua masih di simpan,” ungkap Basuki.

Pabrik penyangraian kopi sebetulnya bernama Eerste Bandoengsche Electrische Koffiebranderij “Margo-Redjo”. Dalam bahasa Jawa, kata Basuki, Margo Redjo, berarti “jalan kemakmuran”, bisnis kopi.

”Dulu memproduksi jenis-jenis merek kopi bubuk kemasan. Di antaranya, Tjap Grobak Idjo, Tjap Pisau, Tjap Orang-Matjoel, Koffie Sentoso, Koffie Mirama, dan Koffie Sari Roso, hingga Tjap Margo Redjo. Saat ini merek Mirama digunakan untuk merek kecap produksi adik dari kakek saya,” cerita Basuki lagi.

Lebih jauh, saat ini Margo Redjo tidak lagi membuat kopi saset bermerek. Pangsa pasarnya berubah dari Consumer Good, menjadi Lifestyle Good. Dengan nama baru Dharma Boutique Roastery, ia mewariskan ragam rasa kepada generasi milenial.

”Sekarang bukan lagi orang tua yang menikmati kopi. Minum kopi bukan untuk kenyang, tapi gaya hidup. Namun tetap sederhana, karena kita bicara rasa dan makna. Dharma Boutique Roastery ini tidak memaksa orang meminum kopi, tapi menceritakan sebuah riwayat rasa,” kata dia mengibaratkan.

Apalagi sejak booming film Filosofi Kopi, membuat pangsa pasarnya semakin bergairah menjangkau kalangan anak muda.

”Sebelum ini, Rumah Kopi sangrai punya pelanggannya tersendiri, ya sudah lama. Namun sejak adanya Filosofi Kopi, memang menjadi tren tersendiri. Kami coba berkembang, sekarang pengunjung banyak yang datang dari luar kota. Ya mencoba melihat sejarah tempat ini, sekaligus melihat proses menyangrai kopi hingga menyeruputnya,” ujarnya.

Pak Basuki begitu nama akrab generasi ketiga dari pendiri Pabrik Kopi/Rumah Kopi Margo Redjo, sengaja tetap mewariskan alat-alat kuno dalam menyangrai kopi. Mayoritas alat-alat itu berasal dari Belanda.

Selain alat sangrai kopi, di dalam museum yang terletak di belakang rumah terdapat mesin dua mesin sangrai raksasa berbahan bakar gas. Satu alat berkapasitas 120 Kg, satu lainnya 60 Kg.

Kemudian ada tiga alat sangrai kopi lain menggunakan kayu bakar. Dua alat berkapasitas 60 kg, satu lainnya 30 kg. Semua mesin-mesin itu digerakkan dengan mesin kapal.

Adapun untuk proses penggilingan kopi juga menggunakan beberapa mesin tua, di mana masih menggunakan gerinda batu sebagai penghancurnya.

”Semua alat ini termasuk sangrai kopi yang kecil itu, merupakan alat paling modern di masa itu. Semua masih terawat. Namun sekarang hanya dua alat sangrai kopi kecil saja yang digunakan, yakni kapasitas 5 kg, dan 500 gram. Itu sudah cukup,” tutur dia.

Basuki menjelaskan, dahulu Rumah Kopi Margo Redjo dalam menyangrai kopi menggunakan pasokan energi gas, dari pabrik gas di Jalan Sleko, Kota Semarang.

”Sejak dahulu ya pakai gas. Dahulu suplainya dari Gas Kota (pabrik Gas Sleko kini menjadi PT PGN) sejak zaman kolonial hingga mandeg di era 1980-an,” sambung dia.

Basuki menerangkan, Gas Kota yang dimaksudnya dahulu tersambung ke pipa-pipa dan digunakan sejumlah kalangan masyarakat Kota Semarang, hingga industri bahkan rumah sakit.

”Tapi dahulu kan gasnya kotor ya, berpengaruh pada kopinya. Karena dibuat dari pembakaran batu bara. Kalau gas sekarang pakai gas tabung, sekarang lebih bersih dan lebih aman untuk kopi yang disangrai,” lanjutnya.

Suasana bekas pabrik gas era kolonial Belanda di Jalan Sleko dulu milik Nederlandsch Indische Gas Maatschappij (NIGM), hingga dinasionalisasi PT Perusahaan Gas Negara (PT PGN) sebagai anak usaha PT Pertamina pada 1965. Foto: Diaz Azminatul Abidin

Gas Kota
Rumah Kopi Margo Redjo yang berubah nama menjadi Dharma Boutique Roastery merupakan saksi transformasi energi gas dari masa ke masa. Dimulai dari suplai gas era kolonial yang dimiliki perusahaan konsesi asal Belanda Nederlandsch Indische Gas Maatschappij (NIGM), hingga dinasionalisasi PT Perusahaan Gas Negara (PT PGN), sebagai anak usaha PT Pertamina pada 1965.

Pegiat sejarah Kota Semarang, Rukardi, mengamini hal tersebut. Di mana dahulu gas yang dikelola NIGM menyuplai kebutuhan energi di Kota Semarang.

Metamorfosis energi dimulai dari energi kotor batubara, hingga kini menjadi yang lebih ramah lingkungan yakni gas alam yang disuplai PT PGN.

”NIGM itu perusahaan gas swasta dari Belanda, berdiri di beberapa daerah selain Semarang, ada di seperti Cirebon, Makassar, dan Jakarta. Dahulu di Semarang itu mensuplai energi untuk lampu jalanan kota, rumah sakit juga, dan beberapa kalangan industri,” kata dia.

NIGM itu, lanjutnya, memulai pendirian konsesi di Rotterdam, Belanda pada 1863 dan selesai pada 1896. Begitu mendapatkan konsesi, NIGM memulai pengelolaan industri gas di Semarang. Prosesnya berlanjut membangun gedung di Sleko itu pada 1897,” imbuh dia.

Rukardi melanjutkan, NIGM tak langsung memproduksi gas. Namun dimulai dengan proses pendirian infrastruktur dan lainnya. Barulah sekira 1898 produksi dimulai dengan menggunakan bahan bakar batu bara.

Melansir laman cagarbudaya.semarangkota.go.id, di era masa perang dunia, produksi gas dari pabrik gas Sleko NIGM telah menyuplai kebutuhan masyarakat Kota Semarang, mulai dari penggunaan rumah tangga, hotel, barak, rumah yatim piatu, rumah sakit, hingga, penjara.

Seiring dengan pertumbuhan industri, maka kebutuhan gas sebagai sumber energi meningkat tajam. Setelah proklamasi kemerdekaan, maka pemerintahan RI membentuk Jawatan Listrik dan Gas di bawah Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga, dan ketika dilaksanakan nasionalisasi maka PN Gas mengambil alih pengelolaannya.

Kemudian berubah nama menjadi Perusahaan Gas Negara pada tahun 1965, perusahaan tersebut kini menjadi PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk. Ketika sumber energi beralih ke gas cair, maka pabrik gas berbahan baku batu bara tersebut berhenti beroperasi dan pemanfaatan bangunan beralih menjadi gudang LNG.

 

Suasana rumah warga Kota Semarang memasak menggunakan energi gas dari jaringan gas PT PGN. Foto: dok/kemenesdm

Gaskita
PT PGN sebagai subholding PT Pertamina (Persero), menghadirkan alternatif energi biru melalui gas alam. Salah satu program yang dimiliki yakni Gaskita, untuk mendukung kebutuhan rumah tangga maupun industri kecil.

Penggunaan energi biru ramah lingkungan untuk skala rumah tangga (SR) dan industri kecil dengan gas alam, dimulai dengan pembangunan jaringan gas atau jargas di sejumlah kota-kota di Indonesia. Salah satu kota yang sudah menikmati Gaskita yakni Kota Semarang.

Melansir laman Kementerian ESDM, Pejabat Pembuat Komitmen Jargas Kota Semarang dan Kabupaten Blora, Risris Risdianto, menjelaskan, pada tahun 2020 lalu misalnya, Pemerintah melalui Kementerian ESDM membangun 11.325 SR jargas di Kota Semarang dan Kabupaten Blora.

Jumlah jargas yang dibangun di Kota Semarang sebanyak 7.106 SR dan tersebar di tujuh kelurahan, yaitu Krobokan 1.019 SR, Karangayu 878 SR, Anjasmoro 624 SR, Bojong Salaman 1.019 SR, Puspowarno 815 SR, Gisikdrono 1.000 SR, Kalibanteng 1.751 SR.

”Jargas Kota Semarang telah rampung dibangun pada Desember tahun 2020, serta mengalir secara bertahap sejak Januari 2021. Hingga saat ini, seluruh rumah telah teraliri. Sumber gas untuk jargas Kota Semarang dan Kabupaten Blora berasal dari CPP Gundih-Blora,” tambahnya.

Sosialisasi manfaat jargas juga dilakukan, agar infrastruktur yang dibangun dengan dana APBN ini, dapat digunakan masyarakat untuk mengakses energi biru itu.

Masyarakat juga bisa memantau berapa penggunaan besaran gas bumi yang dipakainya sehari-hari melalui aplikasi PGN Mobile.

Lebih jauh, masih menurut laman Kementerian ESDM, pemerintah dengan dana APBN sejak 2009 dan hingga 2020, telah membangun jargas sebanyak 535.555 SR. Kemudian tahun 2021 direncanakan dibangun 120.776 SR di 21 kabupaten/kota.

Adapun Pembangunan jargas dilakukan di daerah yang memiliki sumber gas, atau dekat dengan sumber gas. Misalnya di Kota Semarang, mendapat suplai dari Kabupaten Blora.

Dengan begitu, jargas yang dibangun PT PGM hingga 2022 di Kota Semarang ini, mendapat pasokan gas dari CPP Gundih, PT Pertamina EP 4 Cepu, dengan alokasi sebesar 0,25 MMSCFD.

Selain mendukung suplai gas skala rumah tangga, PT PGN secara Nasional juga menyuplai kebutuhan gas untuk skala industri hingga transportasi.

Lebih jauh, PT PGN juga melebarkan sayapnya. Pada 26 Juni 2012, didirikan PT PGN LNG Indonesia (PGN LNG), yang merupakan anak perusahaan dari PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN).

Adapun tujuan membangun bisnis LNG, yang terdiri dari LNG Liquifection, penyimpanan dan pengiriman LNG, dan regasifikasi gas alam, untuk mendukung bisnis utama PGN, dalam transportasi dan distribusi gas kepada konsumen.

Sejak Juli 2014, PGN LNG telah mengoperasikan Floating Storage Regastification Unit (FSRU), yang terletak kurang lebih 21 Km lepas pantai dari Labuhan Maringgai, Lampung, dengan kapasitas 1,5-2 MTPA, dengan limit pengiriman hingga 250 MMSCFD.

Diaz Azminatul Abidin