blank
Anggota Bawaslu Kabupaten Wonogiri, Mayaris Kusdi (duduk menghadap lensa paling kiri), membuka sosialisasi pengawasan partisipatif Pemilu serentak 2024.(SB/Bambang Pur)

WONOGIRI (SUARABARU.ID) – Anggota Bawaslu Kabupaten Wonogiri, Mayaris Kusdi, berharap, masyarakat dapat bersikap kritis dan waspada terhadap kemunculan black campagne (kampanye hitam), money politics (politik uang) dan ujaran kebencian (hate speech).

Tiga hal ini, tambah Mayaris, berpotensi dapat muncul di tahapan Pemilu Serentak 2024. Menyikapi hal tersebut, Bawaslu Wonogiri berupaya menggandeng kelompok masyarakat untuk dapat secara aktif memberikan peran pengawasan secara partisipatif.

Peran masyarakat melalui kelompok-kelompoknya, oleh Mayaris dinilai efektif dalam memberikan pengawasan. Mengingat personel Bawaslu termasuk Panwascam dan Pengawas Desa/Kelurahan di Kabupaten Wonogiri, jumlahnya terbatas dengan medan geografis yang begitu luas.

Menyikapi hal tersebut, Bawaslu Kabupaten Wonogiri, Kamis sore (12/10), menggelar Sosialisasi Pengawasan Pemilu Partisipatif. Kegiatan ini, dikemas dengan tema: ”Pentingnya Peran Kelompok Masyarakat dalam Pengawasan Partisipatif pada Pemilu Serentak 2024.”

Sosialisasi ini menampilkan dua nara sumber, yakni Turtiantoro (Dosen Ilmu Pemerintah UNDIP Semarang) dan Slamet Mugiyono (Komisioner Bawaslu Wonogiri, Divisi Pencegahan Partisipasi Masyarakt dan Humas), dengan moderator Mamik dari RGS Wonogiri.

Ikut hadir para komisioner Bawaslu, para Ketua Panwascam dari 25 kecamatan se Kabupaten Wonogiri, para tokoh agama, tokoh pemuda dan pemuka masyarakat serta para pimpinan Ormas.

Ada Harganya

Menurut Turtiantoro, praktik money politics telah menyubur sejak sebelum era refomasi. ”Sebab, hak politik dan hak suara pemilih memang ada harganya,” tegasnya. Yang bila itu dibeli, tambahnya, dapat mendukung sukses pencalonan.

Diingatkan, azas Pemilu Luber (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia) harus dilaksanakan oleh masyarakat pemilih. Tapi untuk azas Jurdil (Jujur dan Adil) melekat erat pada penyelenggara, dalam hal ini KPU dan Bawaslu serta Pemerintah.

Untuk mewujudkan itu semua, memang diperlukan peran pengawasan partisipatif dari masyarakat. Kata Turtiantoro, pemahaman partisipasi di sini tidaklah sama dengan ketika Orde baru. Yang saat itu, partisipasi dipahami sebagai bentuk mobilisasi.

Kepada peserta sosialisasi, Turtiantoro, membeberkan sejumlah potensi pelanggaran Pemilu yang perlu dicermati untuk pengawasannya. Terdiri atas pemalsuan dokumen dukungan dengan mendasarkan fotocopu KTP warga, peng-input-an hasil Pemilu, netralitas ASN.

Juga tentang kemunculan pelanggaran pemasangan alat peraga kampanye, penyalahgunaan fasilitas negara dan pemanfaatan tempat ibadah untuk kampanye. Berikut praktik kampanye yang digelar di luar jadwal, manipulasi pemungutan suara dan penghitungan hak pilih, sikap keberpihakan pejabat pada salah satu kandidat dan praktik mencoblos lebih dari satu kali.
Bambang Pur