blank
Ilustrasi. Foto: Dokumentasi Masruri

blank

ILMU kesaktian adalah bagian dari sejarah masa lalu. Tahun 1981 hingga 1995, saya familier dengan berbagai ilmu itu, hingga mencapai titik jenuh ketika memasuki dunia baru sebagai penulis kolom di sebuah harian.

Ketika media memosisikan saya sebagai “pengamat masalah metafisika” secara tidak langsung saya harus lebih rasional dalam menyikapi berbagai fenomena mistis atau sebatas yang seperti mistis.

Berbeda dengan pelaku mistik yang lebih mengedepankan “otak percaya”dan  tanpa analisisa, sosok penulis dan pengamat lebih mengedepankan logika dan analisisnya. Maka otak pengamat  tidak nyambung dengan otak pelaku yang bersifat metafisis.

Misalnya, bagaimana seseorang mampu demo ilmu kebal, jika logikanya masih aktif? Maka, pengalaman mistis itu jarang atau bahkan mustahil terjadi pada mereka yang masih berpikir sesuai hukum sebab akibat.

Untuk melakukan demo ilmu kebal, tidak mungkin disertai berpikir tentang tajamnya pisau, tipisnya kulit, dan kerasnya sabetan pisau atau golok. Karena itu, walau meraka yang sudah mengoleksi puluhan ilmu kebal sekalipun, dia tidak akan berhasil selagi logikanya masih diaktifkan.

Nonaktifkan Logika

Walau secara keilmuan, referensi saya terus bertambah, namun sebagai pelaku mistis justru mulai menipis. Keasyikan menulis dan menganalisis justru saya tidak berani demo lagi bermain-main seperti zaman saat otak saya bisa diseret ke dengkul.

Karena untuk melakukan “kegilaan” seperti itu logika harus ditidurkan. Dan ilmu dan wawasan seputar dunia metafisis itu termasuk aset mahal yang sayang untuk diabaikan, saya pun menemukan cara lain agar objek “pengamatan” itu terus berjalan.

Caranya? Saya memanfaatkan beberapa ABG – Anak Baru Gede. Pada awal tahun 1990 ada beberapa anak usia SD, SLTP dan SLTA yang sering bermain di rumah saya. Dua dari sembilan anak itu ada yang berbakat dan juga memiliki ketertarikan terhadap ilmu kanuragan.

Salah satu dari anak itu bernama Saiful Anam. Suatu saat, SA dan satu temannya  saya provokasi untuk belajar ilmu kebal. Tetangga itu sudah mengamalkan ilmu kebal “Asmak Malaikat” tingkat III, dan tipikal orangnya masuk kategori “sami’na wa atho’na” mendengarkan lalu menjalankan, dan tanpa mikir.

Yang kemudian terjadi, ketika Anam dan teman sebayanya datang ke rumah orang yang percaya diri itu, sebelum pengisian ilmu dilakukan, tetangga itu memberi keyakinan, ilmu kebalnya itu luar biasa.

Dia mengatakan, jika ada 40 orang saling bergandeng tangan dengannya, maka orang yang paling ujung (walau tidak punya ilmu kebal) dia juga menjadi kebal. Dan itu boleh dicoba, bahkan andaikan dia membaca mantranya dan ada orang lain yang mendengar, maka selama 40 hari orang bisa ikut menjadi kebal.

Guru muda itu mengambil golok panjang yang biasa digunakan untuk menguji orang yang sudah diisi. Sebagai bukti golok itu benar-benar tajam, diangkatnya setinggi satu meter lalu dijatuhkan pada balok kayu. Dan ujung golok itu menancap pada kayu hingga dia kesulitan saat diminta mencabutnya.

Uji coba kedua, sama. Tetapi ketinggian goloknya dikurangi, hanya separonya. Dan golok itu pun menancap pada balok saat dijatuhkan.

Anam dan satu teman yang ikut pengisian langsung dibabat golok. Hal itu dilakukan berkali-kali dan hanya meninggalkan bekas merah pada tubuhnya.

Digambarkan, ketajaman dari golok yang digunakan untuk uji coba  kekebalan kulit itu, saat bagian tajam digosok dengan ibu jari, terdengar suara kriiss… kriiss.. Merasa dapat pengalaman baru, salah satu dari anak itu segera pulang.

Sesampai di rumah, Ayahnya heran melihat wajah anaknya tampak ceria. Ketika ditanya ada kabar apa? Dia menceritakan barusan diisi ilmu kebal, gratis, dan uji cobanya luar biasa!

Ayah Anam yang sudah paham kebiasaan anaknya itu main di rumah siapa dan siapa pula “gerombolan”-nya, Ayahnya minta anaknya membuktikan keampuhan ilmunya. Awalnya Anam mencari golok, dan karena yang dicari itu tidak ketemu, dia menggunakan silet.

Di depan ayahnya, dia memperagakan ilmu kebalnya. Berawal dari goresan pelan dan semakin kuat, dan lebih kuat lagi, ternyata tidak merobek kulitnya. Melihat itu, Ayah Anam masih meledek anaknya bahwa silet itu kan benda kecil.

Anaknya yang telanjur semangat lalu pinjam gergaji milik tukang kayu yang sedang merenovasi ruang dapur. Untuk kedua kalinya, Anam  membuktikan kekebalannya dengan menggergaji tangan kirinya. Uji coba berhenti ketika Ayahnya ngeri dan minta uji yang dilakukan anaknya dihentikan.

Masruri, penulis buku praktisi dan konsultan metafisika tinggal di Sirahan Cluwak, Pati