WONOGIRI (SUARABARU.ID) – Tugu Pusaka Sambernyawa dibangun di depan Kantor Kecamatan Selogiri, Kabupaten Wonogiri, Jateng. Bangunan monumental untuk menyimpan tiga pusaka andalan Raden Samnbernyawa tersebut, dilengkapi dengan prasasti Sangkalan berhuruf Jawa.
Tulisan Sangkalan ”Rakseksa Hamajari Guwa Sela,” dipahatkan pada dinding bagian bawah. Budayawan Jawa Peraih Anugerah Bintang Budaya, KRA Pranoto Adiningrat, menyatakan, Sangkalan adalah penanda waktu atau tahun yang disandikan dalam kata-kata, kalimat atau dalam bentuk gambar.
Bila mengacu pada peredaran matahari (syamsiyah), Sangkalan disebut sebagai Surya Sangkala (Surya Sengkala), dan bila menganut peredaran bulan (khomariyah) disebut Canda Sangkala (Candra Sengkala).
Sangkalan yang tertulis pada prasasti Tugu Pusaka Nglaroh (Selogiri), menganut versi Surya Sangkala dan menjadi penunjuk tahun pembuatan (pembangunan)-nya. Raseksa (5), Hamajari (3), Guwa (9) dan Sela (1). Cara membaca Sangkalan dari belakang atau dari kanan ke kiri, sehingga bermakna 1935 (telah 88 tahun).
Pembangunan Tugu Pusaka tersebut memiliki ukuran Panjang (bawah) 8,9 Meter (M), Lebar 6 M dan Tinggi 5 M serta memiliki ruang inti sedalam 4 M. (Sumber: Ceritera Rakyat Kabupaten Wonogiri, Suatu Kajian Strukturalisme dan Nilai Edukatif, Karya Sri Suparmi 2009).
Andesit
Konstruksinya dibuat mengerucut ke bagian atas dan puncaknya melebar lagi selebar bagian bawah. Ini mirip bangunan Candi Sukuh di Kabupaten Karanganyar, Jateng. Pembangunannya, berlangsung pada masa tahta Sampeyan Dalem Ingkang Jumeneng (SIJ) Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara VII (berkuasa di Praja Mangkunegaran Tahun 1916-1944).
Pembangunannya, mendapat dukungan dari Wedana Selogiri, Panewu Pangreh Praja Raden Ngabehi (RNg) Harjo Surana. Bahan yang digunakan adalah batuan jenis Andesit warna kehitam-hitaman. Batuan Andesit, dikenal memiliki komposisi kandungan kimia terdiri dari unsur-unsur utama yaitu silikat, aluminium, besi, kalsium, magnesium, natrium, dan kalium. Yang dapat erat menyatu saat disusun secara vertikal maupun horisontal, meski tanpa adonan Portland Cement (PC).
Tugu tersebut memiliki lubang pintu di bagian atas. Lempengan batu penutup pintu, setiap datang Bulan Sura dibuka untuk pengambilan tiga pusaka yang tersimpan di dalamnya. Kabid Kebudayaan Dikbud Wonogiri, Eko Sunarsono, menyatakan ketiga pusaka itu terdiri atas sebuah keris Kiai Karawelang dan dua tombak (Kiai Totog dan Kiai Jaladara).
Tiga pusaka tersebut menjadi andalan Raden Mas (RM) Said saat melancarkan perang Sambernyawan selama 16 tahun (1749-1757), untuk melawan ketidakadilan Keraton dan Penjajah Belanda. Perangnya dikenal Jejemblungan (gila-gilaan pantang menyerah) dengan sesanti Tiji Tibeh (Mati Siji Mati Kabeh, Mukti Siji Mukti Kabeh).
Perang Sambernyawa (RM Said), dipuji Gubernur Jawa, Baron van Hohendorff dan Pemimpin VOC di Semarang, Nicolaas Hartingh. Yang kemudian menjuluki RM Said sebagai Sambernyawa. Itu karena RM Said menjadi tokoh penyebar kematian (Sambernyawa) saat memimpin perang.
Bambang Pur