blank
Silhouette illustration of man figure giving a speech on stage. Audience, seminar, conference theme

Oleh: Gunawan Witjaksana

blank
Foto: dok

HAMPIR setiap saat melalui media, utamanya media sosial (medsos), setiap ada peristiwa atau kejadian, selalu dikaitkan dengan nama Jokowi. Baik itu peristiwa ekonomi, sosial, terlebih peristiwa politik.

Yang paling aktual dukungan Golkar dan PAN ke Capres Prabowo Subianto pun, ada yang menduga adanya campur tangan Jokowi.

Di alam reformasi dimana menganut perlunya perbaikan pada sektor tertentu, biasanya bila berhasil ataupun ada yang menilai gagal, maka yang disalahkan adalah individu yang berpartisipasi.

Itu menurut Individual Blame Theory, sebagai salah satu teori pembangunan. Kelebihannya atau bisa juga celakanya, baik bila berhasil ataupun gagal, yang disalahkan adalah Top Manager, yang bagi Indonesia saat ini tentu Presiden Jokowi.

Contoh yang paling konkret adalah, penilaian terhadap capaian kinerja pemerintahan Jokowi menunjukkan angka di atas 80 persen. Namun sebaliknya, kegiatan apapun yang lain juga dikaitkan terhadap Jokowi, termasuk hinaan yang sangat kurang pantas terhadapnya.

Itulah risiko seorang pemimpin di era reformasi. Karena itu, sangat wajar jika Presiden Jokowi selalu menerimanya dengan legowo, sekaligus lembah manah, dan beliau selalu mengatakan, akan terus bekerja untuk rakyat, bangsa dan negara.

Pertanyaannya, tidakkah sebenarnya para elit serta intelektual paham pada Teori Penyalahan Individu, sebagai salah satu Teori Pembangunan? Sehingga ketika akan melontarkan pernyataan mempertimbangkan teori itu, tidakkah sebaiknya mereka saling bahu membahu, dan kalau toh mengritik menggunakan bahasa santun serta didukung oleh data yang akurat?

Pemisahan
Mestinya para elit sadar, bahwa telah ada pembagian kinerja antara Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif, sehingga bila ada ketidakpuasan, mestinya alamat yang dituju itu jelas.

UU Cipta Kerja misalnya, itu merupakan kolaborasi antara pemerintah dengan DPR. Sehingga tidaklah pas bila ada protes, yang dituju hanya Presiden. Terlebih, kerja sama antar- partai politik, di mana Jokowi bukan anggota salah satunya. Jelas sangatlah kurang pas, bila itupun dikaitkan dengannya.

Tapi itulah kenyataan yang sering mengherankan kita. Harga cabai, telor, daging naik pun Presiden yang disalahkan. Padahal sebenarnya kan ada para pembantu Presiden bersama jajarannya. Demikian juga dengan hal-hal kecil lainnya.

Di sisi lain, tingginya apresiasi rakyat terhadap kinerja pemerintahan Jokowi, menyebabkan banyak juga pihak yang memanfaatkannya, terlebih menjelang tahun politik.

Di berbagai kawasan telah banyak spanduk ataupun baliho dan sejenisnya, baik dari capres dan timsesnya, ataupun calon anggota legislatif yang ikut menyertakan gambar Presiden Jokowi.

Dari sisi komunikasi, sebenarnya hal itu ada kelebihan, namun juga ada kekurangannya. Kelebihannya dari Metode Asosiasi, diharapkan calon pemilih mengasosiasikan dukungan Jokowi terhadap mereka, sehingga harapannya pada meningkatnya elektabilitas yang bersangkutan.

Kekurangannya, justru hal tersebut menunjukkan kekurangpedean yang bersangkutan, karena mungkin saja mereka tidak memiliki program kerja yang menarik bagi calon pemilih.

Bagi kelompok ini, bisa saja nanti elektabilitasnya akan kempes kembali, tatkala Jokowi sebagai individu yang punya hak di luar tugas serta kewenangannya, menyatakan dukungannya pada figur serta parpol tertentu, setelah KPU resmi menetapkannya.

Pendidikan Politik
Karena itu, senyampang waktunya masih cukup dan tujuan mereka secara ideal sama, alangkah indahnya bila masing-masing kandidat saling menyodorkan program yang aplikatif, sehingga calon pemilih akhirnya dapat memilihnya dengan cermat dan seksama.

Kiranya bukanlah hal yang tepat, bila hanya menyodorkan program normatif, misalnya perubahan atau lanjutkan, tanpa menjelaskan apa yang mereka akan lakukan untuk itu, termasuk caranya, langkahnya, hingga pendanaannya. Tidak cukup misalnya, menyebut BPJS gratis, tanpa memerinci langkahnya secara detail dan logis.

Dari sisi Ilmu komunikasi, maka menyampaikan informasi yang informatif dalam arti menghilangkan kebingungan masyarakat, mutlak perlu dilakukan.

Itupun tidak bisa sembarangan, karena para calon pemilih yang makin cerdas akan dengan mudahnya membandingkannya dengan data dari berbagai sumber yang tersedia.

Akhirnya kita berharap, pemilu cerdas akan terjadi bila para kandidat dan pendukungnya mengurangi melontarkan pernyataan manipulatif, dengan memanfaatkan atau sebaliknya menyalahkan Jokowi, dan menggantinya dengan pemaparan program yang informatif, emphatik, persuasif, sekaligus mencerdaskan.

Drs Gunawan Witjaksana MSi, Dosen Tetap Ilkom USM dan Dosen Ilkom Udinus